Perang Dunia I
Perang Dunia I (PDI) adalah sebuah
perang global terpusat di Eropa yang dimulai pada tanggal 28 Juli 1914 sampai
11 November 1918. Perang ini sering disebut Perang Dunia atau Perang
Besar sejak terjadi sampai dimulainya Perang Dunia II pada tahun 1939, dan Perang
Dunia Pertama atau Perang Dunia I setelah itu. Perang ini melibatkan semua
kekuatan besar dunia, yang terbagi menjadi dua aliansi bertentangan, yaitu
Sekutu (berdasarkan Entente Tiga yang terdiri dari Britania Raya, Perancis, dan
Rusia) dan Kekuatan Sentral (terpusat pada Aliansi Tiga yang terdiri dari
Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia; namun saat Austria-Hongaria melakukan
serangan sementara persekutuan ini bersifat defensif, Italia tidak ikut
berperang). Kedua aliansi ini melakukan reorganisasi (Italia berada di pihak
Sekutu) dan memperluas diri saat banyak negara ikut serta dalam perang. Lebih
dari 70 juta tentara militer, termasuk 60 juta orang Eropa, dimobilisasi
dalam salah satu perang terbesar dalam sejarah. Lebih dari 9 juta prajurit
gugur, terutama akibat kemajuan teknologi yang meningkatkan tingkat
mematikannya suatu senjata tanpa mempertimbangkan perbaikan perlindungan atau
mobilitas. Perang Dunia I adalah konflik paling mematikan keenam dalam sejarah
dunia, sehingga membuka jalan untuk berbagai perubahan politik seperti revolusi
di beberapa negara yang terlibat.
Pada tanggal 28 Juli, konflik ini dibuka dengan
invasi ke Serbia oleh Austria-Hongaria, diikuti invasi Jerman ke Belgia,
Luksemburg, dan Perancis; dan serangan Rusia ke Jerman. Setelah pawai Jerman di
Paris tersendat, Front Barat melakukan pertempuran atrisi statis dengan jalur
parit yang mengubah sedikit suasana sampai tahun 1917. Di Timur, angkatan darat
Rusia berhasil mengalahkan pasukan Kesultanan Utsmaniyah, namun dipaksa mundur
dari Prusia Timur dan Polandia oleh angkatan darat Jerman. Front lainnya dibuka
setelah Kesultanan Utsmaniyah ikut serta dalam perang tahun 1914, Italia dan
Bulgaria tahun 1915, dan Rumania tahun 1916. Kekaisaran Rusia runtuh bulan Maret
1917, dan Rusia menarik diri dari perang setelah Revolusi Oktober pada akhir
tahun itu. Setelah serangan Jerman di sepanjang front barat tahun 1918, Sekutu
memaksa pasukan Jerman mundur dalam serangkaian serangan yang sukses dan
pasukan Amerika Serikat mulai memasuki parit. Jerman, yang bermasalah dengan
revolusi pada saat itu, setuju melakukan gencatan senjata pada tanggal 11
November 1918 yang kelak dikenal sebagai Hari Gencatan Senjata. Perang ini
berakhir dengan kemenangan di pihak Sekutu.
Peristiwa di front Britania sama rusuhnya seperti
front depan, karena para pihak terlibat berusaha memobilisasi tenaga manusia
dan sumber daya ekonomi mereka untuk melakukan perang total. Pada akhir perang,
empat kekuatan imperial besar—Kekaisaran Jerman, Rusia, Austria-Hongaria, dan
Utsmaniyah—bubar. Negara pengganti dua kekaisaran yang disebutkan pertama tadi
kehilangan banyak sekali wilayah, sementara dua terakhir bubar sepenuhnya.
Eropa Tengah terpecah menjadi beberapa negara kecil. Liga Bangsa-Bangsa
dibentuk dengan harapan mencegah konflik seperti ini selanjutnya. Nasionalisme
Eropa yang muncul akibat perang dan pembubaran kekaisaran, dampak kekalahan
Jerman dan masalah dengan Traktat Versailles diyakini menjadi faktor penyebab
pecahnya Perang Dunia II.
Nama
Di Kanada, Maclean's Magazine pada bulan
Oktober 1914 menuliskan, "Sejumlah perang memberi namanya sendiri. Perang
ini namanya Perang Besar." Sejarah asal usul dan bulan-bulan pertama
perang diterbitkan di New York pada akhir 1914 dengan judul The World War
(Perang Dunia). Selama periode antarperang, perang ini lebih sering disebut Perang
Dunia dan Perang Besar di negara-negara berbahasa Inggris.
Setelah pecahnya Perang Dunia Kedua tahun 1939,
istilah Perang Dunia I atau Perang Dunia Pertama menjadi standar,
dengan sejarawan Britania dan Kanada yang lebih suka Perang Dunia Pertama,
dan Amerika Perang Dunia I. Kedua istilah ini juga dipakai selama
periode antarperang. Frasa "Perang Dunia Pertama" pertama dipakai
bulan September 1914 oleh filsuf Jerman Ernest Haeckel, yang mengklaim bahwa
"tidak ada keraguan bahwa alur dan tokoh 'Perang Eropa' yang dikhawatirkan
... akan menjadi perang dunia pertama dalam arti sepenuhnya." The First
World War (Perang Dunia Pertama) juga merupakan judul buku sejarah tahun
1920 karya perwira dan jurnalis Charles à Court Repington.
Latar belakang
Pada abad ke-19, kekuatan-kekuatan besar Eropa
berupaya keras mempertahankan keseimbangan kekuatan di seluruh Eropa, sehingga
pada tahun 1900 memunculkan jaringan aliansi politik dan militer yang kompleks
di benua ini. Berawal tahun 1815 dengan Aliansi Suci antara Prusia, Rusia, dan
Austria. Kemudian, pada Oktober 1873, Kanselir Jerman Otto von Bismarck
menegosiasikan Liga Tiga Kaisar (Jerman: Dreikaiserbund) antara monarki
Austria-Hongaria, Rusia, dan Jerman. Perjanjian ini gagal karena
Austria-Hongaria dan Rusia tidak sepakat mengenai kebijakan Balkan, sehingga
meninggalkan Jerman dan Austria-Hongaria dalam satu aliansi yang dibentuk tahun
1879 bernama Aliansi Dua. Hal ini dipandang sebagai metode melawan pengaruh
Rusia di Balkan saat Kesultanan Utsmaniyah terus melemah. Pada tahun 1882,
aliansi ini meluas hingga Italia dan menjadi Aliansi Tiga.
Setelah 1870, konflik Eropa terhindar melalui
jaringan perjanjian yang direncanakan secara hati-hati antara Kekaisaran Jerman
dan seluruh Eropa yang dirancang oleh Bismarck. Ia berupaya menahan Rusia agar
tetap di pihak Jerman untuk menghindari perang dua front dengan Perancis dan
Rusia. Ketika Wilhelm II naik tahta sebagai Kaisar Jerman (Kaiser),
Bismarck terpaksa pensiun dan sistem aliansinya perlahan dihapus. Misalnya,
Kaiser menolak memperbarui Perjanjian Reasuransi dengan Rusia pada tahun 1890.
Dua tahun kemudian, Aliansi Perancis-Rusia ditandatangani untuk melawan
kekuatan Aliansi Tiga. Pada tahun 1904, Britania Raya menandatangani
serangkaian perjanjian dengan Perancis, Entente Cordiale, dan pada 1907,
Britania Raya dan Rusia menandatangani Konvensi Inggris-Rusia. Meski perjanjian
ini secara formal tidak menyekutukan Britania Raya dengan Perancis atau Rusia,
mereka memungkinkan Britania masuk konflik manapun yang kelak melibatkan
Perancis dan Rusia, dan sistem penguncian perjanjian bilateral ini kemudian
dikenal sebagai Entente Tiga.
Kekuatan industri dan ekonomi Jerman tumbuh pesat
setelah penyatuan dan pendirian Kekaisaran pada tahun 1871. Sejak pertengahan
1890-an sampai seterusnya, pemerintahan Wilhelm II memakai basis industri ini
untuk memanfaatkan sumber daya ekonomi dalam jumlah besar untuk membangun Kaiserliche
Marine (Angkatan Laut Kekaisaran Jerman), yang dibentuk oleh Laksamana
Alfred von Tirpitz, untuk menyaingi Angkatan Laut Kerajaan Britania Raya untuk
supremasi laut dunia. Hasilnya, setiap negara berusaha mengalahkan negara lain
dalam hal kapal modal. Dengan peluncuran HMS Dreadnought tahun
1906, Imperium Britania memperluas keunggulannya terhadap pesaingnya, Jerman.
Perlombaan senjata antara Britania dan Jerman akhirnya meluas ke seluruh Eropa,
dengan semua kekuatan besar memanfaatkan basis industri mereka untuk
memproduksi perlengkapan dan senjata yang diperlukan untuk konflik pan-Eropa.
Antara 1908 dan 1913, belanja militer kekuatan-kekuatan Eropa meningkat sebesar
50 persen.
Austria-Hongaria mengawali krisis Bosnia
1908–1909 dengan menganeksasi secara resmi bekas teritori Utsmaniyah di Bosnia
dan Herzegovina, yang telah diduduki sejak 1878. Peristiwa ini membuat Kerajaan
Serbia dan pelindungnya, Kekaisaran Rusia yang Pan-Slavik dan Ortodoks berang.
Manuver politik Rusia di kawasan ini mendestabilisasi perjanjian damai yang
sudah memecah belah apa yang disebut sebagai "tong mesiu Eropa".
Tahun 1912 dan 1913, Perang Balkan Pertama pecah
antara Liga Balkan dan Kesultanan Utsmaniyah yang sedang retak. Perjanjian
London setelah itu mengurangi luas Kesultanan Utsmaniyah dan menciptakan negara
merdeka Albania, tetapi memperbesar teritori Bulgaria, Serbia, Montenegro, dan
Yunani. Ketika Bulgaria menyerbu Serbia dan Yunani pada tanggal 16 Juni 1913,
negara ini kehilangan sebagian besar Makedonia ke Serbia dan Yunani dan Dobruja
Selatan ke Rumania dalam Perang Balkan Kedua selama 33 hari, sehingga
destabilisasi di wilayah ini semakin menjadi-jadi.
Pada tanggal 28 Juni 1914, Gavrilo Princip,
seorang pelajar Serbia Bosnia dan anggota Pemuda Bosnia, membunuh pewaris tahta
Austria-Hongaria, Adipati Agung Franz Ferdinand dari Austria di Sarajevo,
Bosnia. Peristiwa ini memulai satu bulan manuver diplomatik di antara
Austria-Hongaria, Jerman, Rusia, Perancis, dan Britania, yang disebut Krisis
Juli. Ingin mengakhiri intervensi Serbia di Bosnia, Austria-Hongaria
mengirimkan Ultimatum Juli ke Serbia, yaitu sepuluh permintaan yang sengaja
dibuat tidak masuk akal dengan tujuan memulai perang dengan Serbia. Ketika
Serbia hanya menyetujui delapan dari sepuluh permintaan, Austria-Hongaria
menyatakan perang pada tanggal 28 Juli 1914. Strachan berpendapat,
"Tanggapan ragu dan awal oleh Serbia yang mampu membuat perubahan terhadap
perilaku Austria-Hongaria bisa diragukan. Franz Ferdinand bukan sosok yang gila
popularitas, dan kematiannya tidak membuat kekaisaran ini berduka
sedalam-dalamnya".
Kekaisaran Rusia, tidak ingin Austria-Hongaria
menghapus pengaruhnya di Balkan dan mendukung protégé lamanya Serbia,
memerintahkan mobilisasi parsial sehari kemudian. Kekaisaran Jerman melakukan
mobilisasi tanggal 30 Juli 1914, siap menerapkan "Rencana Shlieffen"
berupa invasi ke Perancis secara cepat dan massal untuk mengalahkan Angkatan
Darat Perancis, kemudian pindah ke timur untuk melawan Rusia. Kabinet Perancis
bergeming terhadap tekanan militer mengenai mobilisasi cepat, dan memerintahkan
tentaranya mundur 10 km dari perbatasan untuk menghindari insiden apapun.
Perancis baru melakukan mobilisasi pada malam tanggal 2 Agustus, ketika Jerman
menyerbu Belgia dan menyerang tentara Perancis. Jerman menyatakan perang
terhadap Rusia pada hari itu juga. Britania Raya menyatakan perang terhadap
Jerman tanggal 4 Agustus 1914, setelah "balasan tidak memuaskan"
terhadap ultimatum Britania bahwa Belgia harus dibiarkan netral.
Teater konflik
Serangan pembuka
Kebingungan Blok Sentral
Strategi Blok Sentral mengalami miskomunikasi.
Jerman telah berjanji mendukung invasi Austria-Hongaria ke Serbia, namun
penafsiran maksudnya berbeda. Rencana penempatan pasukan yang sebelumnya diuji
telah diganti pada awal 1914, namun penggantian tersebut tidak pernah diuji
dalam latihan. Para pemimpin Austria-Hongaria yakin Jerman akan melindungi
perbatasan utaranya dari serbuan Rusia. Meski begitu, Jerman mengharapkan
Austria-Hongaria mengarahkan sebagian besar tentaranya ke Rusia, sementara
Jerman menangani Perancis. Kebingungan ini mendorong Angkatan Darat
Austria-Hongaria membagi pasukannya antara front Rusia dan Serbia.
Pada tanggal 9 September 1914, Septemberprogramm,
sebuah rencana memungkinkan yang menyebutkan tujuan perang tertentu Jerman dan
persyaratan yang dipaksakan Jerman terhadap Blok Sekutu, dibuat oleh Kanselir
Jerman Theobald von Bethmann-Hollweg. Rencana ini tidak pernah dilaksanakan
secara resmi.
Kampanye Afrika
Sejumlah pertempuran pertama dalam perang
melibatkan kekuatan kolonial Britania, Perancis, dan Jerman di Afrika. Tanggal
7 Agustus, tentara Perancis dan Britania menyerbu protektorat Togoland Jerman.
Tanggal 10 Agustus, pasukan Jerman di Afrika Barat Daya menyerang Afrika
Selatan; pertempuran sporadis dan sengit berlanjut sampai akhir perang. Pasukan
kolonial Jerman di Afrika Timur Jerman, dipimpin Kolonel Paul Emil von
Lettow-Vorbeck, melakukan kampanye peperangan gerilya selama Perang Dunia I dan
baru menyerah dua minggu setelah gencatan senjata diberlakukan di Eropa.
Kampanye Serbia
Austria menyerbu dan memerangi pasukan Serbia
pada Pertempuran Cer dan Pertempuran Kolubara yang dimulai tanggal 12 Agustus.
Sampai dua minggu berikutnya, serangan Austria dipatahkan dengan kerugian
besar, yang menandakan kemenangan besar pertama Sekutu dalam perang ini dan
memupuskan harapan Austria-Hongaria akan kemenangan mulus. Akibatnya, Austria
harus menempatkan pasukan yang memadai di front Serbia, sehingga melemahkan
upayanya membuka perang dengan Rusia. Kekalahan Serbia dalam invasi
Austria-Hongaria tahun 1914 tergolong sebagai kemenangan terbalik besar dalam
abad terakhir.
Pasukan Jerman di Belgia dan Perancis
Pada awal pecahnya Perang Dunia Pertama, angkatan
darat Jerman (di sebelah barat terdiri dari tujuh pasukan lapangan)
melaksanakan versi modifikasi Rencana Schlieffen, yang dirancang untuk
menyerang Perancis secara cepat melalui Belgia yang netral sebelum berbelok ke
selatan untuk mengepung pasukan Perancis di perbatasan Jerman. Karena Perancis
telah menyatakan bahwa mereka akan "bertindak sebebasnya andai terjadi
perang antara Jerman dan Rusia", Jerman memperkirakan kemungkinan serangan
di dua front. Jika terjadi hal seperti itu, Rencana Schlieffen menyatakan bahwa
Jerman harus mencoba mengalahkan Perancis secara cepat (seperti yang terjadi
pada Perang Perancis-Prusia 1870-71). Rencana ini menyarankan bahwa untuk
mengulangi kemenangan cepat di barat, Jerman tidak usah menyerang melalui
Alsace-Lorraine (yang memiliki perbatasan langsung di sebelah barat sungai
Rhine), tetapi mencoba memutuskan Paris secara cepat dari Selat Inggris
(terputus dengan Britania Raya). Kemudian pasukan Jerman dipindahkan ke timur
untuk menyerbu Rusia. Rusia diyakini membutuhkan persiapan lama sebelum bisa
menjadi ancaman besar bagi Blok Sentral.
Jerman ingin bergerak bebas melintasi Belgia (dan
Belanda juga, meski ditolak Kaiser Wilhelm II) untuk bertemu Perancis di
perbatasannya. Jawaban dari Belgia netral tentu saja "tidak". Jerman
kemudian merasa perlu menyerbu Belgia, karena inilah rencana satu-satunya yang
ada andai terjadi perang dua front di Jerman. Perancis juga ingin menggerakkan
tentara mereka melintasi Belgia, tetapi Belgia menolak untuk menghindari
pecahnya perang apapun di tanah Belgia. Pada akhirnya, setelah serbuan Jerman,
Belgia mencoba menggabungkan pasukan mereka dengan Perancis (namun sebagian
besar pasukan Belgia mundur ke Antwerpen tempat mereka dipaksa menyerah ketika
semua harapan bantuan pupus).
Rencana ini meminta agar sisi kanan Jerman
bergerak ke Paris, dan awalnya Jerman berhasil, terutama pada Pertempuran
Frontiers (14–24 Agustus). Pada 12 September, Perancis, dengan bantuan dari
pasukan Britania, menghambat pergerakan Jerman ke timur Paris pada Pertempuran
Marne Pertama (5–12 September) dan mendorong pasukan Jerman 50 km ke belakang.
Hari-hari terakhir pertempuran ini menandakan akhir dari peperangan bergerak di
barat. Serangan Perancis ke Alsace Selatan, dimulai tanggal 20 Agustus dengan
Pertempuran Mulhouse, mengalami sedikit kesuksesan.
Di sebelah timur, hanya satu pasukan lapangan,
yaitu pasukan ke-8, yang bergerak cepat melalui kereta api melintasi Kekaisaran
Jerman. Pasukan yang dulunya cadangan di barat ini dipimpin oleh Jenderal Paul
von Hindenburg untuk mempertahankan Prusia Timur, setelah berhasil melakukan
serbuan awal ke Rusia dengan dua unit pasukan. Jerman mengalahkan Rusia dalam
serangkaian pertempuran yang secara kolektif disebut Pertempuran Tannenberg
Pertama (17 Agustus – 2 September). Akan tetapi, invasi Rusia yang gagal
lebih disebabkan oleh berhentinya serangan Jerman di barat dan kekalahan taktis
oleh Angkatan Darat Perancis di Marne. Pasukan Jerman semakin lelah dan pasukan
cadangannya dipindahkan untuk menangani invasi ke Rusia. Staf Jenderal Jerman
di bawah Jenderal Helmuth von Moltke yang Muda juga telah memperhitungkan bahwa
pemanfaatan transportasi tentara cepat melalui kereta api tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan di luar Kekaisaran Jerman. Blok Sentral gagal
mendapatkan kemenangan cepat di Perancis dan terpaksa berperang di dua front.
Pasukan Jerman mengambil posisi defensif yang baik di dalam Perancis dan
berhasil melumpuhkan mobilisasi 230.000 tentara Perancis dan Britania secara
permanen. Meski begitu, masalah komunikasi dan keputusan komando yang bisa
dipertanyakan menggagalkan impian kemenangan awal Jerman.
Asia dan Pasifik
Selandia Baru menduduki Samoa Jerman (kemudian
Samoa Barat) pada tanggal 30 Agustus 1914. Tanggal 11 September, Pasukan
Ekspedisi Laut dan Militer Australia mendarat di pulau Neu Pommern (kemudian
Britania Baru), yang merupakan wilayah Nugini Jerman. Tanggal 28 Oktober, kapal
jelajah SMS Emden menenggelamkan kapal jelajah Jerman Zhemchug pada
Pertempuran Penang. Jepang merebt koloni Mikronesia Jerman dan, setelah
Pengepungan Tsingtao, pelabuhan batu bara Jerman di Qingdao di semenanjung Shandong,
Cina. Dalam beberapa bulan, pasukan Sekutu telah merebut semua teritori Jerman
di Pasifik; hanya pos dagang terisolasi dan sedikit wilayah di Nugini yang
bertahan.
Front Barat
Awal peperangan parit (1914–1915)
Taktik militer sebelum Perang Dunia I gagal
menyamai kemajuan teknologi. Kemajuan ini memungkinkan terciptanya sistem
pertahanan canggih yang tidak mampu disamai taktik militer lama sepanjang
perang. Kawat berduri merupakan penghalang efektif terhadap pergerakan
infanteri massal. Artileri, jauh lebih mematikan daripada tahun 1870-an,
ditambah senjata mesin, menjadikan pergerakan di daratan terbuka sangat sulit
dilakukan. Jerman memperkenalkan gas beracun; teknik ini kelak dipakai oleh
kedua pihak, meski tidak pernah terbukti menentukan dalam memenangkan suatu
pertempuran. Dampaknya sangat sadis, menyebabkan kematian yang lama dan
menyakitkan, dan gas beracun menjadi salah satu hal terburuk yang paling
ditakuti dan diingat dalam perang ini. Komandan di kedua sisi gagal
mengembangkan taktik mematahkan posisi parit dengan tanpa kerugian besar.
Sementara itu, teknologi mulai menciptakan senjata-senjata ofensif baru,
seperti tank.
Setelah Pertempuran Marne Pertama (5–12 September
1914), baik pasukan Entente dan Jerman mengawali serangkaian manuver mengepung
dalam peristiwa yang disebut "Perlombaan ke Laut". Britania dan
Perancis kelak menyadari bahwa mereka menghadapi pasukan parit Jerman dari
Lorraine sampai pesisir Belgia. Britania dan Perancis berupaya melakukan
serangan, sementara Jerman mempertahankan teritori yang diduduki. Akibatnya,
parit-parit Jerman lebih kokoh ketimbang milik musuhnya, parit Inggris-Perancis
hanya bersifat "sementara" sebelum pasukan mereka mematahkan
pertahanan Jerman.
Kedua sisi mencoba memecah kebuntuan menggunakan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tanggal 22 April 1915 pada
Pertempuran Ypres Kedua, Jerman (melanggar Konvensi Den Haag) memakai gas
klorin untuk pertama kalinya di Front Barat. Tentara Aljazair mundur ketika
digas sehingga terbentuk celah sepanjang enam kilometer (empat mil) terbuka di
lini Sekutu yang segera dimanfaatkan Jerman, mengadakan Pertempuran Kitchener's
Wood, sebelum ditutup oleh tentara Kanada. Tank pertama dipakai dalam
pertempuran oleh Britania pada Pertempuran Flers-Courcelette (bagian dari
serangan Somme yang lebih besar) pada tanggal 15 September 1916 dengan sedikit
keberhasilan; Perancis memperkenalkan meriam putar Renault FT pada akhir 1917;
Jerman memanfaatkan tank-tank Sekutu yang ditangkap dan sejumlah kecil tank
mereka sendiri.
Kelanjutan peperangan parit (1916–1917)
Kedua sisi tidak mampu memberi pukulan menentukan
selama dua tahun berikutnya. Sekitar 1,1 sampai 1,2 juta tentara pasukan
Britania dan jajahannya berada di Front Barat pada satu waktu. Seribu batalion,
menempati sektor lini dari Laut Utara sampai Sungai Orne, melakukan sistem
rotasi empat tahap selama satu bulan, kecuali sebuah serangan sedang terjadi.
Front ini memiliki parit sepanjang 9.600 kilometer (5,965 mil).
Setiap batalion menduduki sektornya selama seminggu sebelum kembali ke lini
pendukung dan terus ke lini cadangan sebelum seminggu di luar lini, biasanya di
wilayah Poperinge atau Amiens.
Sepanjang 1915–17, Imperium Britania dan Perancis
mengalami lebih banyak korban daripada Jerman, karena sikap strategi dan taktik
yang dipilih oleh sisinya. Secara strategis, saat Jerman hanya melakukan satu
serangan tunggal di Verdun, Sekutu melakukan banyak upaya untuk mematahkan lini
Jerman.
Pada tanggal 1 Juli 1916, Angkatan Darat Britania
Raya mengalami hari paling mematikan dalam sejarahnya, dengan korban 57.470
jiwa, termasuk 19.240 gugur, pada hari pertama Pertempuran Somme. Kebanyakan
korban jatuh pada satu jam pertama serangan. Seluruh serangan Somme melibatkan
setengah juta prajurit Angkatan Darat Britania.
Serangan Jerman yang terus-menerus di Verdun
sepanjang 1916, ditambah Somme (Juli dan Agustus 1916), membawa pasukan
Perancis yang lelah di ambang perpecahan. Upaya sia-sia dalam serangan frontal
memakan banyak korban bagi Britania dan poilu Perancis dan mendorong
terjadinya mutini besar-besaran tahun 1917, setelah Serangan Nivelle (April dan
Mei 1917) yang gagal.
Secara taktis, doktrin komandan Jerman Erich
Ludendorff berupa "pertahanan elastis" cocok dipakai untuk peperangan
parit. Pertahanan ini terdiri dari posisi depan yang minim pertahanan dan
posisi utama jauh di belakang jangkauan artileri yang lebih kuat, yang dari
situlah serangan balasan cepat dan kuat bisa dilancarkan.
Ludendorff menulis tentang pertempuran tahun
1917,
25 Agustus mengakhiri
fase kedua pertempuran Flandria. Peristiwa ini memakan banyak korban dari pihak
kami ... Pertempuran Agustus mematikan di Flandria dan Verdun membawa
tekanan berat bagi tentara Barat. Meski di bawah perlindungan beton, semua
tampak kurang kuat menghadapi artileri musuh yang luar biasa. Pada beberapa
saat, mereka tidak lagi memiliki ketegasan yang saya, bersama para komandan
setempat, harapkan. Musuh berupaya mengadaptasikan diri mereka dengan metode
kakmi dalam melakukan serangan balasan ... Saya sendiri mengalami tekanan
luar biasa. Suasana di Barat tampak mencegah dilakukannya rencana-rencana kami
di manapun. Jumlah korban begitu banyak sehingga kami tidak sempat menguburkan
mereka secara layak, dan melebihi semua harapan kami.
Pada pertempuran Menin Road Ridge, Ludendorff
menulis,
Serangan besar lain
dilancarkan terhadap lini kami pada tanggal 20 September ... Serangan
musuh terhadap pasukan ke-20 berhasil, yang membuktikan superioritas serangan
terhadap pertahanan. Kekuatan mereka tidak melibatkan tank; kami melihat mereka
begitu tidak nyaman, tetapi terus mengerahkan semuanya. Kekuatan serangan
terletak di artileri, dan faktanya artileri kami tidak mampu memberi dampak
yang cukup untuk memecah infanteri saat mereka terus bersatu pada saat itu
juga.
Pada Pertempuran Arras 1917, satu-satunya
keberhasilan besar militer Britania adalah penaklukan Vimy Ridge oleh Korps
Kanada di bawah pimpinan Sir Arthur Currie dan Julian Byng. Tentara yang
menyerang, untuk pertama kalinya, mampu mengalahkan, bersatu dengan cepat, dan
mempertahankan pegunungan yang membatasi dataran Douai yang kaya akan kandungan
batu bara.
Perang laut
Pada awal perang, Kekaisaran Jerman memiliki
kapal jelajah yang tersebar di seluruh dunia, beberapa di antaranya dipakai
untuk menyerang kapal dagang Sekutu. Angkatan Laut Kerajaan Britania Raya
secara sistematis memburu mereka, meski menanggun malu akibat ketidakmampuannya
melindungi kapal Sekutu. Misalnya, kapal jelajah ringan Jerman SMS Emden,
bagian dari skadron Asia Timur yang berpusat di Tsingtao, menangkap atau
menghancurkan 15 kapal dagang, serta menenggelamkan sebuah kapal jelajah Rusia
dan kapal penghancur Perancis. Namun sebagian besar Skadron Asia Timur
Jerman—terdiri dari kapal jelajah lapis baja Scharnhorst dan Gneisenau,
kapal jelajah ringan Nürnberg dan Leipzig dan dua kapal
angkut—tidak diberi perintah mencegat jalur perkapalan dan malah diperintahkan
kembali ke Jerman ketika bertemu kapal perang Britania. Armada Jerman dan Dresden
menenggelamkan dua kapal jelajah lapis baja pada Pertempuran Coronel, namun
hampir hancur pada Pertempuran Kepulauan Falkland bulan Desember 1914, dengan Dresden
dan beberapa kapal pembantu berhasil kabur, tetapi pada Pertempuran Más a
Tierra kapal-kapal tadi akhirnya hancur atau ditangkap.
Sesaat setelah pecahnya pertempuran, Britania
memulai blokade laut Jerman. Strategi ini terbukti efektif, memutuskan suplai
militer dan sipil, meski blokade ini melanggar hukum internasional yang diatur
oleh beberapa perjanjian internasional selama dua abad terakhir. Britania
membuang ranjau di perairan internasional untuk mencegah kapal apapun memasuki
seluruh wilayah samudra, sehingga membahayakan kapal yang netral sekalipun.
Karena ada sedikit tanggapan terhadap taktik ni, Jerman mengharapkan taktik
yang sama terhadap peperangan kapal selamnya yang tidak terhambat.
Pertempuran Jutland (Jerman: Skagerrakschlacht,
atau "Pertempuran Skagerrak") 1916 berubah menjadi pertempuran laut
terbesar dalam perang ini, satu-satunya pertempuran kapal perang berskala besar
dalam Perang Dunia I, dan salah satu yang terbesar dalam sejarah. Pertempuran
ini terjadi pada tanggal 31 Mei – 1 Juni 1916 di Laut Utara lepas pantai
Jutland. Armada Laut Lepas Kaiserliche Marine, dipimpin Wakil Laksamana
Reinhard Scheer, berperang melawan Armada Besar Angkatan Laut Kerajaan,
dipimpin Laksamana Sir John Jellicoe. Pertempuran ini buntu, karena Jerman,
yang kalah jumlah dengan armada Britania, berhasil kabur dan mengakibatkan
kerusakan lebih banyak bagi armada Britania daripada yang mereka terima. Secara
strategis, Britania menguasai lautan, dan sebagian besar armada permukaan
Jerman masih tertahan di pelabuhan selama perang berlangsung.
Kapal-U Jerman berusaha memotong jalur suplai
antara Amerika Utara dan Britania. Sifat peperangan kapal selam berarti bawha
serangan bisa datang tanpa peringatan, sehingga memberi kemungkinan selamat
yang kecil bagi awak kapal dagang. Amerika Serikat mengeluarkan protes, dan
Jerman mengganti aturan pertempuran. Setelah penenggelaman kapal penumpang RMS Lusitania
tahun 1915, Jerman berjanji tidak lagi menyerang kapal penumpang, sementara
Britania mempersenjatai kapal-kapal dagangnya dan menempatkan mereka di luar
perlindungan "aturan kapal jelajah" yang meminta peringatan dan
penempatan awak di "tempat aman" (standar yang tidak dimiliki
sekoci). Akhirnya, pada awal 1917, Jerman menerapkan kebijakan peperangan kapal
selam tak terbatas, menyadari bahwa Amerika Serikat akan ikut berperang. Jerman
berupaya menghambat jalur laut Sekutu sebelum Amerika Serikat dapat memindahkan
pasukan dalam jumlah besar ke luar negeri, tetapi hanya mampu mengerahkan lima
kapal-U jarak jauh dengan dampak yang sedikit.
Ancaman kapal-U berkurang pada tahun 1917, ketika
kapal-kapal dagang mulai berlayar dalam bentuk konvoi dan dikawal kapal
penghancur. Taktik ini terbukti sulit bagi kapal-U untuk mencari target,
sehingga mengurangi kerugian; setelah hidrofon dan ranjau bawah air
diperkenalkan, kapal penghancur pengawal bisa menyerang kapal selam dengan
kemungkinan berhasil. Konvoi memperlambat aliran suplai, karena kapal harus
menunggu saat konvoi dibentuk. Solusi terhadap penundaan ini adalah program
pembangunan kapal angkut baru secara besar-besaran. Kapal tentara terlalu cepat
untuk dikejar kapal selam dan tidak berlayar di Atlantik Utara dalam konvoi.
Kapal-U telah menenggelamkan lebih dari 5.000 kapal Sekutu dengan kerugian
sebanyak 199 kapal selam.
Perang Dunia I juga menjadi peristiwa ketika
kapal angkut pesawat pertama kali dipakai dalam pertempuran, dengan HMS Furious
meluncurkan pesawat Sopwith Camels dalam serangan sukses terhadap hangar
Zeppelin di Tondern pada bulan Juli 1918, serta blimp untuk patroli antikapal
selam.
Teater Selatan
Perang di Balkan
Menghadapi Rusia, Austria-Hongaria hanya mampu
menyisihkan sepertiga pasukannya untuk menyerang Serbia. Setelah mengalami
kerugian besar, Austria sementara berhasil menduduki ibu kota Serbia, Belgrade.
Serangan balasan Serbia pada pertempuran Kolubara berhasil mengusir mereka dari
negara ini pada akhir 1914. Selama sepuluh bulan pertama 1915, Austria-Hongaria
memanfaatkan sebagian besar cadangan militernya untuk berperang dengan Italia.
Akan tetapi, diplomat Jermen dan Austria-Hongaria mengusulkan kudeta dengan
membujuk Bulgaria agar ikut menyerang Serbia. Provinsi Slovenia, Kroasia, dan
Bosnia menyediakan bala tentara untuk Austria-Hongaria, menyerbu Serbia
sekaligus menghadapi Rusia dan Italia. Montenegro berpihak pada Serbia.
Serbia dikuasai dalam kurun satu bulan lebih
sedikit, setelah Blok Sentral, sekarang mencakup Bulgaria, mengirimkan 600.000
tentara. Pasukan Serbia, berperang di dua front dan menghadapi kekalahan telak,
mundur ke Albania utara (yang sudah mereka duduki sejak awal perang. Serbia
kalah pada Pertempuran Kosovo. Montenegro melindungi mundurnya Serbia ke pantai
Adriatik pada Pertempuran Mojkovac tanggal 6–7 Januari 1916, namun Austria pada
akhirnya menduduki Montenegro. 70.000 tentara Serbia tersisa dievakuasi dengan
kapal ke Yunani.
Pada akhir 1915, satu pasukan Perancis-Britania
mendarat di Salonika, Yunani, untuk memberi bantuan dan menekan pemerintah
setempat untuk menyatakan perang terhadap Blok Sentral. Sayang sekali bagi
Sekutu, Raja Constantine I yang pro-Jerman membubarkan pemerintahan Eleftherios
Venizelos yang pro-Sekutu, sebelum pasukan ekspedisi Sekutu tiba. Pertentangan
antara raja Yunani dan Sekutu terus memuncak dengan terjadinya Skisma Nasional,
yang efektif membelah Yunani menjadi wilayah yang setia pada raja dan
pemerintahan sementara Venizelos di Salonika. Setelah negosiasi diplomatik
intensif dan konfrontasi bersenjata di Athena antara pasukan Sekutu dan royalis
(insiden Noemvriana), raja Yunani mundur dan putra keduanya, Alexander,
menggantikannya. Venizelos pulang ke Athena tanggal 29 Mei 1917 dan Yunani,
setelah bersatu, secara resmi bergabung di pihak Sekutu. Seluruh pasukan Yunani
dimobilisasi dan mulai berpartisipasi dalam operasi militer melawan Blok
Sentral di front Makedonia.
Setelah penaklukan, Serbia dibagi antara
Austria-Hongaria dan Bulgaria. Pada tahun 1917, Serbia melancarkan
Pemberontakan Toplica dan sempat membebaskan wilayah antara pegunungan Kopaonik
dan sungai Morava Selatan. Pemberontakan ini dipadamkan oleh pasukan gabungan
Bulgaria dan Austria pada akhir Maret 1917.
Front Makedonia pada awalnya cenderung statis.
Pasukan Perancis dan Serbia menduduki kembali sedikit wilayah Makedonia dengan
menaklukkan Bitola tanggal 19 November 1916 sebagai hasil dari Serangan
Monastir yang membawa kestabilan di front ini.
Tentara Serbia dan Perancis akhirnya membuat
terobosan, setelah sebagian besar tentara Jerman dan Austria-Hongaria ditarik.
Terobosan ini penting dalam mengalahkan Bulgaria dan Austria-Hongaria, yang
berujung pada kemenangan akhir PDI. Bulgaria mengalami kekalahan satu-satunya
dalam perang pada Pertempuran Dobro Pole, namun beberapa hari kemudian mereka
berhasil mengalahkan pasukan Britania dan Yunani pada Pertempuran Doiran demi
menghindari pendudukan. Setelah Serbia menerobos perbatasan Bulgaria, Bulgaria
menyerah pada tanggal 29 September 1918. Hindenburg dan Ludendorff menyimpulkan
bahwa keseimbangan strategi dan operasi sekarang telah beralih melawan Blok
Sentral dan sehari setelah kejatuhan Bulgaria, pada pertemuan pejabat-pejabat
pemerintahan, mereka mengupayakan penyelesaian secara damai secepat mungkin.
Hilangnya front Makedonia menandakan bahwa jalan
ke Budapest dan Wina terbuka untuk 670.000 tentara pimpinan Jenderal Franchet
d'Esperey setelah menyerahnya Bulgaria memberi Blok Sentral kerugian sebanyak
278 batalion infanteri dan 1.500 senjata (sama besar dengan 25 sampai 30 divisi
Jerman) yang sebelumnya mempertahankan perbatasan. Komando tinggi Jerman
merespon dengan mengirimkan tujuh infanteri dan satu divisi kavaleri saja,
tetapi pasukan ini terlalu jauh dari front dan sudah terlambat.
Kesultanan Utsmaniyah
Kesultanan Utsmaniyah bergabung dengan Blok
Sentral pada perang ini, Aliansi Utsmaniyah-Jerman yang rahasia telah
ditandatangani pada bulan Agustus 1914. Aliansi ini mengancam teritori Kaukasus
Rusia dan komunikasi Britania dengan India melalui Terusan Suez. Britania dan
Perancis membuka front seberang laut melalui Kampanye Gallipoli (1915) dan
Mesopotamia. Di Gallipoli, Kesultanan Utsmaniyah berhasil mengusir Britania,
Perancis, dan Korps Angkatan Darat Australia dan Selandia Baru (ANZAC). Di
Mesopotamia, sebaliknya, setelah Pengepungan Kut (1915–16) yang menghancurkan,
pasukan Imperium Britania melakukan reorganisasi dan menduduki Baghdad pada
bulan Maret 1917.
Jauh ke barat, Terusan Suez berhasil
dipertahankan dari serangan Utsmaniyah tahun 1915 dan 1916; pada bulan Agustus,
pasukan gabungan Jerman dan Utsmaniyah dikalahkan pada Pertempuran Romani oleh
Pasukan Berkuda Anzac dan Divisi Infanteri (Dataran rendah) ke-52. Setelah
kemenangan ini, Pasukan Ekspedisi Mesir Imperium Britania maju melintasi
Semenanjung Sinai, mendorong pasukan Utsmaniyah pada Pertempuran Magdhaba bulan
Desember dan Pertempuran Rafa di perbatasan antara Sinai Mesir dan Palestina
Utsmaniyah bulan Januari 1917.
Angkatan darat Rusia sedang jaya-jayanya di
Kaukasus. Enver Pasha, komandan tertinggi angkatan bersenjata Utsmaniyah,
sangat ambisius dan bermimpi menguasai kembali Asia Tengah dan wilayah-wilayah
yang diduduki Rusia sebelumnya. Akan tetapi, ia bukan komandan yang cerdas. Ia
melancarkan serangan terhadap Rusia di Kaukasus bulan Desember 1914 dengan 100.000
tentara; akibat memaksakan serangan frontal di kawasan pegunungan Rusia saat
musim dingin, ia kehilangan 86% pasukannya pada Pertempuran Sarikamish.
Jenderal Yudenich, komandan Rusia pada 1915
sampai 1916, mengusir Turki keluar dari sebagian besar Kaukasus selatan dengan
serangkaian kemenangan. Bulan 1917, Adipati Agung Nicholas dari Rusia mengambil
alih komando atas front Kaukasus. Nicholas berencana membangun rel kereta dari
Georgia Rusia ke teritori taklukan, sehingga suplai segar bisa dikirimkan ke
serangan baru tahun 1917. Sayangnya, pada bulan Maret 1917 (Februari dalam
kalender Rusia pra-revolusi), Tsar dijatuhkan dalam Revolusi Februari dan
Angkatan Darat Kaukasus Rusia mulai terpecah.
Dimulai oleh biro Arab dari Departemen Luar
Negeri Britania Raya, Pemberontakan Arab dimulai dengan bantuan Britania bulan
Juni 1916 pada Pertempuran Makkah, dipimpin Sherif Hussein dari Makkah dan
berakhir dengan penyerahan Damaskus oleh Utsmaniyah. Fakhri Pasha, komandan
Utsmaniyah di Madinah, bertahan selama lebih dari 2,5 tahun selama Pengepungan
Madinah.
Di sepanjang perbatasan Libya Italia dan Mesir
Britania, suku Senussi, didorong dan dipersenjatai Turki, melakukan perang
gerilya kecil terhadap tentara Sekutu. Britania terpaksa mengerahkan 12.000
tentaranya untuk menghadapi mereka dalam Kampanye Senussi. Pemberontakan mereka
dipatahkan pada pertengahan 1916.
Partisipasi Italia
Italia telah bersekutu dengan Kekaisaran Jerman
dan Austria-Hongaria sejak 1882 sebagai bagian dari Aliansi Tiga. Akan tetapi,
bangsa ini memiliki klaim tersendiri atas teritori Austria di Trentino, Istria,
dan Dalmatia. Roma memiliki pakta rahasia dengan Perancis tahun 1902, sehingga
efektif meniadakan aliansi ini. Pada awal perang, Italia menolak mengirimkan
tentara dengan alasan bahwa Aliansi Tiga bersifat defensif dan Austria-Hongaria
adalah agresor. Pemerintah Austria-Hongaria mulai bernegosiasi untuk
mengamankan kenetralan Italia dengan memberi imbalan koloni Perancis di
Tunisia. Sekutu memberi tawaran balasan bahwa Italia bisa memperoleh Tirol
Selatan, Padang Julian dan teritori pesisir Dalmatia setelah kekalahan
Austria-Hongaria. Tawaran ini diresmikan oleh Perjanjian London. Terdorong oleh
invasi Sekutu ke Turki bulan April 1915, Italia bergabung dengan Entente Tiga
dan menyatakan perang terhadap Austria-Hongaria pada tanggal 23 MEi. Lima belas
bulan kemudian, Italia menyatakan perang terhadap Jerman.
Secara militer, Italia memiliki superioritas
jumlah. Keuntungan ini akhirnya hilang, bukan hanya karena medan peperangan
yang sulit, tetapi juga karena strategi dan taktik yang dipakai. Marsekal
Lapangan Luigi Cadorna, seorang pendukung keras serangan frontal, ingin sekali
maju hingga plato Slovenia, menduduki Ljubljana dan mengancam Wina. Rencana
Cadorna tidak mencakup sulitnya medan Alpen yang bergunung-gunung, atau
perubahan teknologi yang menciptakan peperangan parit, sehingga memunculkan
serangkaian serangan mematikan dan buntu.
Di front Trentino, Austria-Hongaria memanfaatkan
daerah pegunungan yang menguntungkan pasukan Italia. Setelah kemunduran
strategis pertama, front ini masih belum berubah drastis, sementara
Kaiserschützen dan Standschützen Austria menghadapi Alpini Italia dalam
pertempuran alot sepanjang musim panas. Austria-Hongaria menyerang balik di
Altopiano Asiago, menghadap Verona dan Padua, pada musim semi 1916 (Strafexpedition),
namun hanya membuat sedikit kemajuan.
Berawal pada tahun 1915, Italia di bawah pimpinan
Cadorna mengadakan sebelas serangan di front Isonzo di sepanjang Sungai Isonzo,
timur laut Trieste. Kesebelas serangan tersebut digagalkan oleh
Austria-Hongaria, yang menguasai dataran yang lebih tinggi. Pada musim panas
1916, Italia menduduki kota Gorizia. Setelah kemenangan kecil ini, front tetap
statis selama setahun meski Italia melakukan beberapa serangan. Pada musim
gugur 1917, berkat situasi yang membaik di front Timur, tentara
Austria-Hongaria menerima banyak sekali bantuan, termasuk Stormtrooper dan
pasukan elit Alpenkorps Jerman.
Blok Sentral melancarkan serangan menghancurkan
pada tanggal 26 Oktober 1917 yang dipimpin oleh Jerman. Mereka menang di
Caporetto. Angkatan Darat Italia dialihkan dan mundur sejauh lebih dari
100 kilometer (62 mil) untuk reorganisasi, sehingga menstabilkan
front di Sungai Piave. Karena pada Pertempuran Caporetto AD Italia mengalami
kerugian besar, pemerintah Italia mengadakan wajib militer yang disebut '99
Laki-Laki (Ragazzi del '99): yaitu semua pria berusia 18 tahun. Pada
tahun 1918, Austria-Hongaria gagal menerobos pertahanan Italia dalam
serangkaian pertempuran di Sungai Piave, dan akhirnya dikalahkan pada
Pertempuran Vittorio Veneto bulan Oktober tahun itu. Tanggal 5–6 November 1918,
pasukan Italia dilaporkan telah mencapai Lissa, Lagosta, Sebenico, dan
permukiman lain di pesisir Dalmatia. Pada akhir perang bulan November 1918,
militer Italia memegang kendali atas seluruh Dalmatia yang telah dijanjikan
kepada Italia oleh Pakta London. Tahun 1918, Laksamana Enrico Millo menyatakan
dirinya sebagai Gubernur Dalmatia Italia. Austria-Hongaria menyerah pada awal
November 1918.
Partisipasi Rumania
Rumania telah bersekutu dengan Blok Sentral sejak
1882. Ketika perang dimulai, negara ini malah menyatakan netral dengan alasan
karena Austria-Hongaria sendirian menyatakan perang terhadap Serbia, Rumania
tidak wajib ikut serta dalam perang. Ketika Blok Entente menjanjikan Rumania
teritori besar di Hongaria timur (Transylvania dan Banat) yang memiliki
populasi Rumania besar dengan imbalan Rumania menyatakan perang terhadap Blok
Sentral, pemerintah Rumania menyatakan tidak lagi netral. Pada tanggal 27
Agustus 1916, Angkatan Darat Rumania melancarkan serangan terhadap
Austria-Hongaria dengan sedikit bantuan dari Rusia. Serangan Rumania awalnya
sukses, memukul tentara Austria-Hongaria di Transylvania, namun serangan
balasan oleh pasukan Blok Sentral memukul kembali pasukan Rusia-Rumania.
Sebagai akibat dari Pertempuran Bukares, Blok Sentral menduduki Bukares tanggal
6 Desember 1916. Peperangan di Moldova terus berlanjut tahun 1917 dan berakhir
dengan kebuntuan yang merugikan bagi Blok Sentral. Rusia menarik diri dari
perang pada akhir 1917 akibat Revolusi Oktober yang berarti Rumania terpaksa
menandatangani gencatan senjata dengan Blok Sentral pada tanggal 9 Desember
1917.
Bulan Januari 1918, pasukan Rumania menguasai Bessarabia
setelah AD Rusia meninggalkan provinsi tersebut. Melalui perjanjian yang
ditandatangani pemerintah Rumania dan Rusia Bolshevik pasca pertemuan tanggal
5–9 Maret 1918 tentang penarikan pasukan Rumania dari Bessarabia dalam kurun
dua bulan, pada tanggal 27 Maret 1918 Rumania memasukkan Bessarabia ke dalam
teritorinya, secara formal berdasarkan pada resolusi yang disahkan majelis
teritori setempat tentang penyatuan dengan Rumania.
Rumania secara resmi berdamai dengan Blok Sentral
dengan menandatangani Perjanjian Bukares tanggal 7 Mei 1918. Rumania wajib
mengakhiri perang dengan Blok Sentral dan membuat sedikit konsensi teritori ke
Austria-Hongaria, memberikan kendali atas sejumlah celah di Pegunungan
Carpathia, dan memberi konsesi minyak ke Jerman. Sebagai imbalannya, Blok
Sentral mengakui kedaulatan Rumania atas Bessarabia. Perjanjian ini dihapus
bulan Oktober 1918 oleh pemerintahan Alexandru Marghiloman, dan Rumania kembali
masuk kancah perang pada tanggal 10 November 1918. Keesokan harinya, Perjanjian
Bukares dinulifikasi sesuai ketentuan Gencatan Senjata Compiègne. Total korban
Rumania sejak 1914 sampai 1918, militer dan sipil di perbatasan lama
diperkirakan mencapai 784.000 jiwa.
Peran India
Berbeda dengan kekhawatiran Britania akan
terjadinya pemberontakan di India, pecahnya Perang Dunia I malah memunculkan
loyalitas dan niat baik terhadap Britania Raya. Para pemimpin politik India
dari Kongres Nasional India dan kelompok-kelompok lain mau mendukung upaya
perang Britania karena yakin bahwa dukungan kuat untuk perang akan mendorong
disetujuinya Pemerintahan Bebas India. Angkatan Darat India mengalahkan jumlah
Angkatan Darat Britania pada awal perang; sekitar 1,3 juta tentara dan
pekerja India tersebar di Eropa, Afrika, dan Timur Tengah, sementara pemerintah
pusat dan negara kepangeranan mengirimkan suplai makanan, uang, dan amunisi
dalam jumlah besar. Secara keseluruhan, 140.000 tentara ditempatkan di
Front Barat dan hampir 700.000 tentara di Timur Tengah. Total korban dari
tentara India sepanjang Perang Dunia I berjumlah 47.746 gugur dan 65.126
terluka. Penderitaan akibat perang serta kegagalan pemerintah Britania untuk
memberikan pemerintahan bebas kepada India setelah perang berakhir memunculkan
disilusi dan mendorong kampanye kemerdekaan penuh yang kelak dipimpin oleh Mohandas
Karamchand Gandhi dan teman-temannya.
Front Timur
Tindakan awal
Saat Front Barat mencapai kebuntuan, perang terus
berlanjut di Eropa Timur. Rencana awal Rusia adalah melakukan invasi bersamaan
terhadap Galisia Austria dan Prusia Timur Jerman. Meski serbuan awal Rusia ke
Galisia sukses besar, Rusia dipukul mundur dari Prusia Timur oleh Hindenburg
dan Ludendorff di Tannenberg dan Danau Masurian bulan Agustus dan September
1914. Basis industri Rusia yang kurang maju dan kepemimpinan militernya yang tidak
efektif juga memainkan peran dalam peristiwa selanjutnya. Pada musim semi 1915,
Rusia mundur ke Galisia, dan pada bulan Mei, Blok Sentral melakukan terobosan
luar biasa di front selatan Polandia. Pada tanggal 5 Agustus, mereka menduduki Warsawa
dan mengusir Rusia dari Polandia.
Revolusi Rusia
Meski berhasil pada Serangan Brusilov bulan Juni
1916 di timur Galisia, ketidakpuasan atas operasi perang pemerintah Rusia
muncul. Kesuksesan serangan ini dirusak oleh keengganan jenderal-jenderal lain
untuk mengirimkan pasukan mereka untuk mendukung kemenangan ini. Pasukan Sekutu
dan Rusia sementara terbangkitkan oleh masuknya Rumania ke Perang Dunia pada
tanggal 27 Agustus. Pasukan Jerman datag membantu Austria-Hongaria di Transylvania,
dan Bukares jatuh ke Blok Sentral pada tanggal 6 Desember. Sementara itu,
kerusuhan terjadi di Rusia saat Tsar masih berada di garis depan. Pemerintahan Permaisuri
Alexandra yang semakin tidak kompeten mendorong protes dan berujung pada
pembunuhan tokoh favoritnya, Rasputin, pada akhir 1916.
Bulan Maret 1917, demonstrasi di Petrograd
memuncak dengan pengunduran diri Tsar Nicholas II dan penyusunan Pemerintah
Darurat lemah yang berbagi kekuasaan dengan sosialis Petrograd Soviet.
Pembentukan ini menciptakan kebingungan dan kekacauan baik di garis depan dan
dalam negeri. Angkatan darat pun semakin tidak efektif.
Ketidakpuasan dan kelemahan Pemerintah Darurat
membuat Partai Bolshevik pimpinan Vladimir Lenin semakin populer, yang meminta
penghentian perang secepat mungkin. Pemberontakan bersenjata Bolshevik bulan
November yang sukses diikuti dengan gencatan senjata dan negosiasi dengan
Jerman pada bulan Desember. Awalnya, Bolshevik menolak permintaan Jerman, namun
ketika tentara Jerman mulai bergerak melintasi Ukraina tanpa perlawanan, pemerintahan
baru ini membuat Perjanjian Brest-Litovsk tanggal 3 Maret 1918. Perjanjian ini
menyerahkan banyak sekali teritori, termasuk Finlandia, provinsi-provinsi
Baltik, sebagian Polandia dan Ukraina ke Blok Sentral. Meski Jerman tampak
sukses besar, sumber daya manusia yang dibutuhkan Jerman untuk menduduki bekas
teritori Rusia mungkin turut berkontribusi pada kegagalan Serangan Musim Semi
dan mengamankan sedikit bahan pangan atau material lainnya.
Melalui adopsi Perjanjian Brest-Litovsk, Entente
tidak lagi berdiri. Pasukan Sekutu memimpin invasi kecil ke Rusia, pertama
untuk menghentikan Jerman mengeksploitasi sumber daya alam Rusia, dan kedua
untuk mendukung "Kaum Putih" (lawan dari "Kaum Merah") pada
Perang Saudara Rusia. Tentara Sekutu mendarat di Arkhangelsk dan Vladivostok.
Rencana Blok Sentral untuk negosiasi damai
Pada bulan Desember 1916, setelah sepuluh bulan
mematikan pada Pertempuran Verdun dan serangan sukses terhadap Rumania, Jerman
berupaya menegosiasikan perdamaian dengan Sekutu. Presiden A.S. Woodrow Wilson
segera berusaha mengintervensi selaku pencinta damai dan meminta kedua pihak
diberi catatan untuk menyatakan permintaan mereka. Kabinet Perang Lloyd George
menganggap tawaran Jerman sebagai jebakan untuk menciptakan perpecahan di kalangan
Sekutu. Setelah kemarahan awal dan banyak pertimbangan, mereka menganggap
catatan Wilson sebagai upaya terpisah yang menandakan bahwa A.S. berada di
ambang pintu perang melawan Jerman pasca-"kekejaman kapal selam".
Saat Sekutu mendiskusikan balasan terhadap tawaran Wilson, Jerman memilih untuk
mengabaikannya demi "pertukaran pandangan langsung". Mengetahui
tanggapan Jerman seperti itu, pemerintah Sekutu bebas membuat permintaan jelas
dalam balasan mereka tanggal 14 Januari. Mereka menuntut perbaikan kerusakan,
pengosongan teritori dudukan, biaya perbaikan untuk Perancis, Rusia, dan
Rumania, dan pengakuan prinsip kebangsaan. Hal ini meliputi pembebasan bangsa
Italia, Slavia, Rumania, Ceko-Slovak, dan pembentukan "Polandia bebas dan
bersatu". Tentang keamanan, Sekutu menuntut jaminan yang dapat mencegah
atau membatasi perang selanjutnya, lengkap dengan sanksi, sebagai persyaratan
penyelesaian damai apapun. Negosiasi ini gagal dan negara-negara Entente
menolak tawaran Jerman, karena Jerman tidak menyatakan permintaan spesifik
apapun. Kepada Wilson, negara-negara Entente menyatakan bahwa mereka tidak akan
memulai negosiasi damai sampai Blok Sentral mengosongkan seluruh teritori
Sekutu yang diduduki dan memberikan ganti rugi atas semua kerusakan yang
diperbuat.
1917–1918
Perkembangan tahun 1917
Peristiwa tahun 1917 terbukti menentukan dalam
mengakhiri perang, meski dampaknya tidak terasa penuh sampai 1918. Blokade laut
Britania mulai memberi dampak serius terhadap Jerman. Sebagai tanggapan, pada
bulan Februari 1917, Staf Jenderal Jerman meyakinkan Kanselir Theobald von
Bethmann-Hollweg untuk menggelar perang kapal selam tanpa batas, dengan tujuan
membuat Britania menarik diri dari perang. Para perencana Jerman memperkirakan
bahwa perang kapal selam tanpa batas akan merugikan Britania 600.000 ton kapal
per bulannya. Staf Jenderal mengakui bahwa kebijakan ini mungkin nyaris membawa
Amerika Serikat ke dalam konflik ini, namun memperkirakan bahwa kerugian
perkapalan Britania begitu tinggi sehingga mereka bisa dipaksa meminta
perdamaian setelah 5 sampai 6 bulan, sebelum intervensi Amerika Serikat
berpengaruh terhadap konflik. Kenyataannya, tonase kapal yang tenggelam di atas
500.000 ton per bulan mulai Februari sampai Juli. Jumlah ini meningkat
menjadi 860.000 ton pada bulan April. Setelah Juli, sistem konvoi baru
yang diperkenalkan kembali menjadi sangat efektif mengurangi ancaman kapal-U.
Britania selamat dari ketiadaan armada kapal, sementara produksi industri
Jerman jatuh, dan tentara Amerika Serikat ikut berperang dalam jumlah besar
lebih cepat daripada yang diperkirakan Jerman.
Tanggal 3 Mei 1917, selama Serangan Nivelle,
Divisi Kolonial ke-2 Perancis yang lelah, para veteran Pertempuran Verdun,
menolak perintah atasannya, tiba dalam keadaan mabuk dan tanpa membawa senjata.
Perwira mereka tidak berani menghukum seluruh divisi dan hukuman keras tidak
segera diberlakukan. Kemudian, pemberontakan militer dialami oleh 54 divisi
Perancis dan 200.000 prajuritnya desersi. Pasukan Sekutu lainnya menyerang,
namun menderita kerugian luar biasa. Akan tetapi, seruan patriotisme dan tugas,
serta penahanan dan pengadilan massal, membuat para prajurit kembali
mempertahankan parit, meski tentara Perancis menolak berpartisipasi dalam
operasi serangan selanjutnya. Robert Nivelle dicopot dari jabatannya pada 15
Mei, digantikan oleh Jenderal Philippe Pétain, yang menunda sejumlah serangan
mematikan berskala besar.
Kemenangan Austria-Hongaria dan Jerman pada Pertempuran
Caporetto mendorong Sekutu di Konferensi Rapallo membentuk Dewan Perang Agung
untuk mengoordinasikan perencanaan. Sebelumnya, pasukan Britania dan Perancis
beroperasi di bawah komando yang berbeda.
Bulan Desember, Blok Sentral menandatangani
gencatan senjata dengan Rusia. Perjanjian ini membebaskan sejumlah besar
tentara Jerman agar bisa dipakai di barat. Dengan bantuan Jerman dan tentara
Amerika Serikat baru masuk, hasil perang akan ditentukan di Front Barat. Blok
Sentral tahu bahwa mereka tidak mampu memenangkan perang yang berlarut-larut,
tetapi mereka memiliki harapan besar untuk berhasil berdasarkan serangan cepat
terakhir. Selain itu, para pemimpin Blok Sentral dan Sekutu semakin khawatir
terhadap kerusuhan sosial dan revolusi di Eropa. Karena itu, kedua sisi
berusaha meraih kemenangan menentukan dengan cepat.
Konflik Kesultanan Utsmaniyah 1917
Bulan Maret dan April 1917, pada Pertempuran Gaza
Pertama dan Kedua, pasukan Jerman dan Utsmaniyah menghentikan laju Pasukan
Ekspedisi Mesir yang telah dimulai bulan Agustus 1916 di Romani. Pada akhir
Oktober, Kampanye Sinai dan Palestina dilanjutkan setelah Korps XX, Korps XXI,
dan Korps Berkuda Gurun Jenderal Edmund Allenby memenangkan Pertempuran
Beersheba. Dua pasukan Utsmaniyah dikalahkan beberapa minggu kemudian pada Pertempuran
Yerusalem. Pada saat itu, Friedrich Freiherr Kress von Kressenstein
diberhentikan dari jabatannya sebagai komandan Angkatan Darat ke-8 dan
digantikan oleh Djevad Pasha, dan beberapa bulan kemudian komandan Angkatan
Darat Utsmaniyah di Palestina, Erich von Falkenhayn, digantikan oleh Otto Liman
von Sanders.
Keikutsertaan Amerika Serikat
Non-intervensi
Saat pecah perang, Amerika Serikat mengambil
kebijakan non-intervensi, yaitu menghindari konflik tetapi mencoba menciptakan
perdamaian. Ketika sebuah kapal-U Jerman menenggelamkan kapal pesiar Britania
RMS Lusitania tanggal 7 Mei 1915 yang juga menewaskan 128 warga negara
Amerika Serikat, Presiden Woodrow Wilson menegaskan bahwa "Amerika Serikat
terlalu bangga untuk berperang", tetapi menuntut berakhirnya serangan
terhadap kapal penumpang. Jerman patuh. Wilson gagal mencoba memediasi
penyelesaian. Akan tetapi, ia juga berkali-kali memperingatkan bahwa A.S. tidak
akan menoleransi perang kapal selam tanpa batas karena melanggar hukum
internasional. Mantan presiden Theodore Roosevelt menyebut aksi Jerman sebagai "pembajakan".
Wilson menang tipis dalam pemilu presiden 1916 karena para pendukungnya
menyatakan bahwa "ia menjauhkan kami dari perang".
Bulan Januari 1917, Jerman melanjutkan perang
kapal selam tanpa batasnya, menyadari bahwa Amerika Serikat kelak ikut dalam
perang. Menteri Luar Negeri Jerman, dalam Telegram Zimmermann, mengundang
Meksiko bergabung sebagai sekutu Jerman melawan Amerika Serikat. Sebagai
imbalannya, Jerman akan mendanai perang Meksiko dan membantu mereka mencaplok
kembali teritori Texas, New Mexico, dan Arizona. Wilson merilis telegram
Zimmerman ke publik, dan warga AS memandangnya sebagai casus belli—penyebab
perang. Wilson meminta elemen-elemen antiperang untuk mengakhiri semua perang
dengan memenangkan yang satu ini dan menghapus militerisme dari dunia. Ia
berpendapat bahwa perang begitu penting sehingga A.S. harus punya suara dalam
konferensi perdamaian.
Pernyataan perang A.S. terhadap Jerman
Setelah penenggelaman tujuh kapal dagang A.S.
oleh kapal selam Jerman dan penerbitan telegram Zimmerman, Wilson menyatakan
perang terhadap Jerman, yang dinyatakan pada tanggal 6 April 1917 oleh Kongres
A.S..
Partisipasi aktif A.S. pertama
Amerika Serikat secara formal tidak pernah
menjadi anggota Sekutu, tetapi menjadi "Kekuatan Terkait" yang diberi
nama sendiri. Amerika Serikat memiliki pasukan kecil, namun setelah pengesahan UU
Dinas Selektif, pemerintah mewajibkan militer untuk 2,8 juta pria, dan pada
musim panas 1918 Amerika Serikat mengirim 10.000 tentara baru ke Perancis
setiap hari. Pada tahun 1917, Kongres A.S. memberikan kewarganegaraan A.S.
kepada warga Puerto Rico saat mereka mendaftar untuk ikut serta dalam Perang
Dunia I sebagai bagian dari UU Jones. Jerman telah salah perkiraan, percaya
bahwa dibutuhkan beberapa bulan sebelum tentara Amerika Serikat datang sehingga
kedatangannya bisa dihentikan kapal-U.
Angkatan Laut Amerika Serikat mengirimkan gugus
kapal perang ke Scapa Flow untuk bergabung dengan Armada Besar Britania, kapal
penghancur ke Queenstown, Irlandia, dan kapal selam untuk membantu melindungi
konvoi. Beberapa resimen Marinir A.S. juga dikerahkan ke Perancis. Britania dan
Perancis ingin pasukan A.S. dipakai untuk memperkuat tentara mereka yang sudah
ditempatkan di lini pertempuran dan tidak menyia-nyiakan kapal kosong untuk
membawa persediaan. A.S. menolak permintaan pertama dan menerima yang kedua.
Jenderal John J. Pershing, komandan Pasukan Ekspedisi Amerika Serikat (AEF),
menolak memecah pasukan A.S. agar dipakai sebagai bantuan untuk pasukan
Imperium Britania dan Perancis. Sebagai pengecualian, ia mengizinkan resimen
tempur Afrika-Amerika untuk bergabung dengan divisi Perancis. Harlem
Hellfighters berperang sebagai bagian dari Divisi ke-16 Perancis, mendapatkan Croix
de Guerre atas aksi mereka di Chateau-Thierry, Belleau Wood, dan Sechault.
Doktrin AEF menuntut serangan frontal, yang sejak lama ditiadakan oleh komandan
Imperium Britania dan Perancis karena banyak memakan korban jiwa.
Tawaran perdamaian terpisah Austria
Tahun 1917, Kaisar Charles I dari Austria secara
rahasia mengupayakan negosiasi perdamaian terpisah dengan Clemenceau, bersama
saudara istrinya Sixtus di Belgia sebagai penengah, tanpa sepengetahuan Jerman.
Ketika negosiasi gagal, upayanya diketahui Jerman dan mengakibatkan bencana
diplomatik.
Serangan Musim Semi Jerman 1918
Jenderal Jerman Erich Ludendorff membuat rencana
(dijuluki Operasi Michael) untuk serangan tahun 1918 di Front Barat. Serangan
Musim Semi bermaksud memecah pasukan Britania dan Perancis melalui serangkaian
penipuan dan serbuan. Pimpinan militer Jerman berharap bisa memberi pukulan
menentukan sebelum tentara A.S. tiba. Operasi ini dimulai tanggal 21 Maret 1918
melalui serangan terhadap pasukan Britania dekat Amiens. Pasukan Jerman
memperoleh wilayah sejauh 60 kilometer (37 mil).
Parit Britania dan Perancis diterobos menggunakan
taktik infiltrasi baru, disebut juga taktik Hutier sesuai nama Jenderal Oskar
von Hutier. Sebelumnya, serangan memiliki ciri pengeboman artileri panjang dan
serangan massal. Akan tetapi, pada Serangan Musim Semi 1918, Ludendorff jarang
memakai artileri dan menyisipkan sekelompok kecil infanteri di titik-titik
lemah. Mereka menyerang wilayah komando dan logistik dan menerobos titik-titik
perlawanan sengit. Infanteri bersenjata berat kemudian menghancurkan
posisi-posisi terisolasi ini. Keberhasilan Jerman sangat bergantung pada elemen
kejutan.
Front ini pindah ke daerah 120 kilometer
(75 mil) dari kota Paris. Tiga senjata kereta berat Krupp menembakkan
183 bom ke ibu kota, mengakibatkan banyak warga Paris mengungsi. Serangan awal
begitu sukses sampai-sampai Kaiser Wilhelm II menetapkan 24 Maret sebagai hari
libur nasional. Banyak warga Jerman mengira kemenangan sudah dekat. Setelah
bertempur sengit, serangan ini terhambat. Ketiadaan tank atau artileri motor
membuat Jerman tidak mampu mengonsolidasikan keberhasilan mereka. Suasana juga
diperburuk oleh jalur suplai yang sekarang diperpanjang akibat serbuan mereka.
Penghentian mendadak ini juga akibat dari empat divisi Pasukan Imperium
Australia (AIF) yang "memaksa" menyerang dan melakukan apa yang belum
pernah dilakukan pasukan manapun: menghentikan serbuan Jerman di tengah
perjalanan. Pada saat itu, divisi Australia pertama secara terburu-buru dikirim
lagi ke utara untuk menghentikan serbuan Jerman kedua.
Jenderal Foch memaksa memakai tentara Amerika
yang baru tiba sebagai pengganti individu. Pershing malah berupaya menempatkan
unit pasukan Amerika sebagai pasukan independen. Unit-unit tersebut ditempatkan
pada komando Perancis dan Imperium Britania yang semakin sedikit pada tanggal
28 Maret. Dewan Perang Tertinggi Pasukan Sekutu dibentuk saat Konferensi
Doullens tanggal 5 November 1917. Jenderal Foch ditunjuk sebagai komandan
tertinggi pasukan sekutu. Haig, Petain, dan Pershing mempertahankan kendali
taktis atas masing-masing pasukannya; Foch mengambil peran koordinasi alih-alih
pengarahan, dan komando Britania, Perancis, dan A.S. cenderung beroperasi
secara independen.
Setelah Operasi Michael, Jerman melancarkan Operasi
Georgette terhadap pelabuhan-pelabuhan utara Selat Inggris. Sekutu menghadang
upaya tersebut setelah Jerman sempat menguasai sedikit wilayah. Angkatan Darat
Jerman di selatan kemudian melancarkan Operasi Blücher dan Yorck, bergerak
terus menuju Paris. Operasi Marne dimulai tanggal 15 Juli yang berusaha
mengepung Reims dan memulai Pertempuran Marne Kedua. Serangan balasannya
memulai Serangan Seratus Hari dan menandakan serangan perang Sekutu pertama
yang sukses.
Tanggal 20 Juli, Jerman berada di seberang Marne
di garis awal Kaiserschlacht-nya, gagal memenangkan apapun. Setelah fase
terakhir perang di barat, AD Jerman tidak pernah mencapai kembali tujuannya.
Korban Jerman antara Maret dan April 1918 sebanyak 270.000 jiwa, termasuk para tentara
serbu yang sangat terlatih.
Sementara itu, Jerman terpecah di dalam negeri. Protes
anti-perang semakin sering diadakan dan moral militer jatuh. Produksi industri
mencapai 53 persen dari jumlah produksi tahun 1913.
Konflik Kesultanan Utsmaniyah 1918
Pada awal tahun 1918, garis depan pertempuran diperpanjang
hingga Lembah Yordania yang terus diduduki, setelah serangan Transyordania
Pertama dan Transyordania Kedua oleh pasukan Imperium Britania bulan Maret dan
April 1918, sampai musim panas. Sepanjang bulan Maret, sebagian besar infanteri
Britania dari Pasukan Ekspedisi Mesir dan kavaleri Yeomanry dikirim berperang
di Front Barat sebagai akibat Serangan Musim Semi. Mereka digantikan oleh
satuan Angkatan Darat India. Selama beberapa bulan reorganisasi dan pelatihan
pada musim panas, sejumlah serangan dilancarkan di beberapa bagian garis depan
Utsmaniyah. Serangan tersebut mendorong garis depan ke utara di posisi yang
lebih menguntungkan bagi persiapan serangan dan menyiapkan infanteri AD India
yang baru tiba. Baru pada pertengahan September pasukan bersatu ini siap
melakukan operasi besar-besaran.
Pasukan Ekspedisi Mesir yang direorganisasi,
bersama divisi berkuda tambahan, memecah belah pasukan Utsmaniyah pada Pertempuran
Megiddo bulan September 1918. Dalam dua hari, infanteri Britania dan India,
dibantu taktik merayap, berhasil memecah garis depan Utsmaniyah dan mencaplok
markas besar Angkatan Darat Kedelapan di Tulkarm, jalur parit bersambungan di Tabsor,
Arara, dan markas besar Angkatan Darat Ketujuh di Nablus. Korps Berkuda Gurun
masuk lewat celah garis depan yang dibuat infanteri tadi selama operasi
dilaksanakan tanpa henti oleh brigade Berkuda Ringan Australia, Yeomanry
berkuda Britania, Lancers India, dan Bedil Berkuda Selandia Baru. Di Lembah
Jezreel, mereka menduduki Nazareth, Afulah dan Beisan, Jenin, dan Haifa di
pesisir Mediterania dan Daraa di timur Sungai Yordan di jalur kereta Hijaz. Samakh
dan Tiberias di Laut Galilea diduduki dalam perjalanan ke utara menuju Damaskus.
Sementara itu, Pasukan Chaytor yang terdiri dari pasukan berkuda ringan
Australia, pasukan bedil berkuda Selandia Baru, infanteri India, Hindia Barat
Britania, dan Yahudi menduduki penyeberangan Sungai Yordan, Es Salt, Amman, dan
sebagian besar Angkatan Darat Keempat di Ziza. Gencatan Senjata Mudros
ditandatangani pada akhir Oktober yang mengakhiri perang dengan Kesultanan
Utsmaniyah, sementara perang terus berlangsung di sebelah utara Aleppo.
Negara-negara baru di zona perang
Pada akhir musim semi 1918, tiga negara baru
berdiri di Kaukasus Selatan, yaitu Republik Demokratik Armenia, Republik
Demokratik Azerbaijan, dan Republik Demokratik Georgia, yang menyatakan merdeka
dari Kekaisaran Rusia. Dua entitas minor lain juga berdiri, yaitu Kediktatoran
Sentrokaspia (dilikuidasi oleh Azerbaijan pada musim gugur 1918) dan Republik
Kaukasia Barat Daya (dilikuidasi oleh satuan tugas gabungan Armenia-Britania
pada awal 1919). Melalui penarikan pasukan Rusia dari front Kaukasus pada musim
dingin 1917–18, tiga republik besar tersebut bersiap menghadapi serbuan
Utsmaniyah selanjutnya, yang dimulai pada bulan-bulan pertama 1918. Solidaritas
terbentuk sementara ketika Republik Federatif Transkaukasia didirikan pada
musim semi 1918 dan runtuh bulan Mei, ketika Georgia meminta dan menerima
perlindungan dari Jerman dan Azerbaijan membuat perjnajian degnan Kesultanan
Utsmaniyah yang lebih mirip dengan aliansi militer. Armenia dibiarkan bertahan
sendiri dan berjuang selama lima bulan melawan ancaman pendudukan penuh oleh
Turki Utsmaniyah.
Kemenangan Sekutu: Musim panas dan gugur 1918
Serangan balasan Sekutu, dikenal sebagai Serangan
Seratus Hari, dimulai pada tanggal 8 Agustus 1918. Pertempuran Amiens pecah
dengan Korps III Angkatan Darat Keempat Britania Raya di sebelah kiri, Angkatan
Darat Pertama Perancis di sebelah kanan, dan Korps Australia dan Kanada
memimpin serangan di tengah melalui Harbonnières. Serangan ini melibatkan 414
tank tipe Mark IV dan Mark V dan 120.000 prajurit. Mereka bergerak
12 kilometer (7.5 mil) ke dalam teritori dudukan Jerman dalam kurun
tujuh jam saja. Erich Ludendorff menyebut hari itu sebagai "Hari Kelam Angkatan
Darat Jerman".
Australia-Kanada memimpin di Amiens, sebuah
pertempuran yang menjadi awal keruntuhan Jerman, membantu pasukan Britania
bergerak ke utara dan Perancis ke selatan. Di front AD Keempat Britania di
Amiens setelah maju sejauh 14 mil (23 km), perlawanan Jerman semakin
sengit dan pertempuran berakhir. Tetapi AD Ketiga Perancis memperpanjang front
Amiens pada tanggal 10 Agustus, ketika daerah tersebut dibiarkan begitu saja di
sebelah kanan Angkatan Darat Pertama Perancis, dan maju sejauh 4 mil
(6 km), membebaskan Lassigny dalam pertempuran yang berlangsung sampai 16
Agustus. Di selatan AD Ketiga Perancis, Jenderal Charles Mangin (si
Pembantai) memajukan posisi AD Kesepuluh Perancis di Soissons tanggal 20
Agustus untuk menawan delapan ribu tentara musuh, dua ratus senjata, dan
dataran tinggi Aisne yang menghadap dan mengancam posisi Jerman di sebelah
utara Vesle. Erich Ludendorff juga menyebut peristiwa ini sebagai "Hari
Kelam".
Sementara itu, Jenderal Byng dari AD Ketiga
Britania melaporkan bahwa musuh di frontnya semakin sedikit setelah ditarik dan
diperintahkan menyerang dengan 200 tank ke Bapaume, memulai Pertempuran Albert,
dengan perintah spesifik "Untuk menerobos front musuh, dengan tujuan
menghancurkan front pertempuran musuh saat ini" (berseberangan dengan AD
Keempat Britania di Amiens). Para pemimpin Sekutu sekarang sadar bahwa
melanjutkan serangan setelah perlawanan sengit memakan banyak korban, dan lebih
baik membelokkan lini daripada meneruskannya. Mereka mulai melancarkan serangan
dengan cara cepat untuk mendapatkan keuntungan dari pergerakan yang berhasil di
garis depan, kemudian memecahnya ketika setiap serangan kehilangan impetus
awalnya.
Front Angkatan Darat Ketiga Britania sepanjang
15-mil (24 km) di sebelah utara Albert berhasil membuat kemajuan setelah
buntu selama satu hari melawan garis perlawanan utama yang merupakan batas
penarikan pasukan musuh. Angkatan Darat Keempat Britania pimpinan Rawlinson
berhasil menekan garis kirinya sampai wilayah antara Albert dan Somme, meluruskan
garis antara posisi Angkatan Darat Ketiga dan front Amiens, yang berakhir
dengan penaklukan kembali Albert pada saat yang sama. Tanggal 26 Agustus,
Angkatan Darat Pertama Britania di sebelah kiri Angkatan Darat Ketiga terlibat
dalam pertempuran, sehingga memperpanjang front ke utara melewati Arras. Korps
Kanada, sudah kembali di garis depan Angkatan Darat Pertama, bergerak dari
Arras ke timur 5 mil (8 km) melewati wilayah Arras-Cambrai yang
dipertahankan habis-habisan sebelum mencapai pertahanan terluar Garis
Hindenburg, dan berhasil menerobosnya pada tanggal 28 dan 29 Agustus. Bapaume
jatuh tanggal 29 Agustus ke tangan Divisi Selandia Baru Angkatan Darat
Ketiga, dan Australia, masih memimpin pergerakan AD Keempat, kembali mampu
menekan musuh di Amiens untuk menduduki Peronne dan Mont Saint-Quentin tanggal
31 Agustus. Jauh ke selatan, AD Pertama dan Ketiga Perancis bergerak
lambat, sementara AD Kesepuluh, yang sekarang sudah melintasi Ailette dan
berada di timur Chemin des Dames, mendekati posisi Alberich di Garis
Hindenburg. Sepanjang minggu terakhir Agustus, tekanan di front sepanjang
70-mil (113 km) melawan musuh sangat berat dan tidak berhenti-henti. Dari
kesaksian Jerman, "Setiap hari dihabiskan dalam pertempuran berdarah
melawan musuh yang selalu menyerbu, dan malam dihabiskan tanpa tidur dalam
pergerakan mundur ke garis baru." Bahkan di sebelah utara di Flandria, AD
Kedua dan Kelima Britania selama Agustus dan September mampu membuat kemajuan,
menawan tentara musuh dan posisi yang sebelumnya mengalahkan mereka.
Tanggal 2 September, Korps Kanada menerobos garis
Hindenburg, dengan membuka celah di Posisi Wotan, sehingga memungkinkan
Angkatan Darat Ketiga maju dan memberi dampak di seluruh Front Barat. Pada hari
yang sama, Oberste Heeresleitung (OHL) tidak punya pilihan lain kecuali
mengeluarkan perintah kepada enam pasukan angkatan darat untuk mundur ke Garis
Hindenburg di selatan, di belakang Canal du Nord di front AD Pertama Kanada dan
kembali ke garis di sebelah timur Lys di utara. Perintah ini tanpa perlawanan
berhasil mengembalikan medan perang yang direbut pada April sebelumnya. Menurut
Ludendorff, "Kami harus mengakui perlunya tindakan ...menarik seluruh
front dari Scarpe ke Vesle."
Dalam nyaris empat minggu pertempuran yang
dimulai tanggal 8 Agustus, lebih dari 100.000 personil Jerman ditawan,
75.000 oleh BEF dan sisanya oleh Perancis. Sebagaimana "Hari Kelam
Angkatan Darat Jerman", Komando Tinggi Jerman menyadari mereka kalah
perang dan melakukan upaya mencapai akhir yang memuaskan. Sehari setelah
eprtempuran tersebut, Ludendorff memberitahu Kolonel Mertz, "Kita tidak
lagi mampu memenangkan perang, tetapi kita juga tidak boleh kalah." Pada
tanggal 11 Agustus, ia mengajukan pengunduran dirinya ke Kaiser dan ditolak
dengan balasan, "Saya pikir kita harus mencapai keseimbangan. Kita nyaris
mencapai batas kekuatan perlawanan kita. Perang harus diakhiri." Tanggal
13 Agustus di Spa, Hindenburg, Ludendorff, Kanselir, dan Menteri Luar Negeri
Hintz setuju bahwa perang tidak dapat diakhiri secara militer, dan pada
keesokan harinya Dewan Kekaisaran Jerman memutuskan bahwa kemenangan di medan
perang sudah tidak memungkinkan lagi. Austria dan Hongaria memperingatkan bahwa
mereka hanya bisa melanjutkan perang sampai Desember, dan Ludendorff
menyarankan negosiasi damai secepatnya dan Kaiser menanggapinya dengan
memerintahkan Hintz meminta mediasi Ratu Belanda. Pangeran Rupprecht
memperingatkan Pangeran Max dari Baden: "Situasi militer kita cepat sekali
memburuk sampai-sampai saya tidak lagi yakin kita bisa bertahan selama musim
dingin; bisa saja sebuah bencana datang lebih cepat." Pada tanggal 10
September, Hindenburg menyarankan perdamaian kepada Kaisar Charles dari Austria
dan Jerman meminta mediasi dari Belanda. Tanggal 14 September, Austria
mengirimkan catatan kepada semua pihak terlibat dan pihak netral yang
menyarankan pertemuan diskusi damai di daerah netral dan keesokan harinya
Jerman membuat tawaran damai dengan Belgia. Kedua tawaran damai ditolak dan
pada tanggal 24 September OHL memberitahu para pemimpin negara di Berlin bahwa
pembicaraan gencatan senjata sudah tidak terelakkan lagi.
Pada bulan September, Jerman terus melancarkan
serangan pertahanan belakang dan berbagai serangan balasan di daerah-daerah
yang hilang, tetapi hanya sedikit yang berhasil, namun sementara saja. Kota,
desa, perbukitan, dan parit yang diperebutkan di Garis Hindenburg terus jatuh
ke tangan Sekutu, dengan BEF sendiri menawan 30.441 tentara pada minggu
terakhir September. Pergerakan kecil ke timur kelak menyusul kemenangan Angkatan
Darat Ketiga di Ivincourt tanggal 12 September, Angkatan Darat Keempat di
Epheny tanggal 18 September, dan pencaplokan Essigny-le-Grand oleh
Perancis keesokan harinya. Pada tanggal 24 September, serangan akhir oleh
Britania dan Perancis di front sepanjang 4-mil (6.4 km) terjadi 2 mil
(3.2 km) dari St. Quentin. Dengan pos luas dan garis pertahanan awal
Posisi Siegfried dan Alberich berhasil dimusnahkan, Jerman saat ini sepenuhnya
bertahan di Garis Hindenburg. Dengan posisi Wotan di garis itu telah diterobos
dan posisi Siegfried terancam dibelokkan dari utara, sudah saatnya Sekutu
menyerbu sisa bentangan garis tersebut.
Serangan di Garis Hindenburg dimulai tanggal 26
September dan melibatkan tentara A.S. Tentara Amerika yang masih baru mengalami
masalah dengan suplai untuk pasukan besar di daerah yang tidak bersahabat.
Minggu selanjutnya, pasukan gabungan Perancis dan Amerika merangsek ke Champagne
pada Pertempuran Blanc Mont Ridge, mengusir Jerman dari posisi komandonya, dan
maju mendekati perbatasan Belgia. Kota Belgia terakhir yang dibebaskan sebelum
gencatan senjata adalah Ghent, yang dipertahankan Jerman sebagai patokan tempur
sampai Sekutu melibatkan artileri. Pasukan Jerman harus memperpendek frontnya
dan memakai perbatasan Belanda sebagai patokan serangan pertahanan belakang.
Saat Bulgaria menandatangani gencatan senjata
terpisah tanggal 29 September, Sekutu berhasil menguasai Serbia dan
Yunani. Ludendorff, setelah mengalami tekanan berbulan-bulan, menderita
depresi. Sudah jelas bahwa Jerman tidak mampu lagi membuat pertahanan yang
berhasil.
Sementara itu, berita tentang kekalahan militer
Jerman yang sudah dekat menyebar ke seluruh angkatan bersenjata Jerman. Ancaman
desersi semakin besar. Laksamana Reinhard Scheer dan Ludendorff memutuskan
melancarkan usaha terakhir untuk mengembalikan "kebanggaan" Angkatan
Laut Jerman. Tahu bahwa pemerintahan Pangeran Maximilian dari Baden akan
memveto tindakan apapun, Ludendorff memutuskan untuk tidak memberitahunya.
Sayangnya, berita tentang serangan lanjutan diketahui para marinir di Kiel.
Banyak yang menolak menjadi bagian dari serangan laut yang dirasa bersifat
bunuh diri dan mereka memberontak dan ditahan. Ludendorff disalahkan dan Kaiser
memecatnya pada tanggal 26 Oktober. Keruntuhan Balkan berarti Jerman akan
kehilangan suplai minyak dan makanan utamanya. Cadangannya sudah habis, bahkan
saat tentara A.S. terus tiba dengan jumlah 10.000 orang per hari.
Menderita lebih dari 6 juta korban, Jerman
mencari perdamaian. Pangeran Maximilian dari Baden memimpin pemerintahan baru
sebagai Kanselir Jerman untuk bernegosiasi dengan Sekutu. Negosiasi telegraf
dengan Presiden Wilson segera dimulai dengan harapan ia akan memberi permintaan
yang lebih baik daripada Britania dan Perancis. Harapan tersebut sia-sia karena
Wilson malah meminta Kaiser mengundurkan diri. Tidak ada perlawanan ketika Philipp
Scheidemann dari Partai Demokrat Sosial menyatakan Jerman sebagai negara
republik pada tanggal 9 November. Kekaisaran Jerman tidak berdiri lagi dan
Jerman baru telah didirikan dengan nama Republik Weimar.
Gencatan senjata dan penyerahan diri
Di hutan Compiègne
setelah menyetujui gencatan senjata yang mengakhiri perang, tampak Foch kedua
dari kanan. Gerbong di belakangnya, tempat penandatangann tersebut, dipilih
sebagai latar simbolis gencatan senjata Juni 1940 oleh Pétain. Gerbong ini
dipindahkan ke Berlin sebagai hadiah, namun karena pengeboman Sekutu, gerbong
ini dipindahkan ke Crawinkel, Thuringia, dan sengaja dihancurkan tentara SS
tahun 1945.
Keruntuhan Blok Sentral terjadi cepat. Bulgaria
merupakan negara pertama yang menandatangani gencatan senjata pada tanggal 29
September 1918 di Saloniki. Tanggal 30 Oktober, Kesultanan Utsmaniyah menyerah
di Moudros (Gencatan Senjata Mudros).
Tanggal 24 Oktober, Italia memulai pergerakan yang
berhasil menguasai kembali teritori yang hilang setelah Pertempuran Caporetto.
peristiwa ini memuncak pada Pertempuran Vittorio Veneto, yang menandai akhir
dari Angkatan Darat Austria-Hongaria sebagai sebuah pasukan perang yang
efektif. Serangan ini juga mendorong disintegrasi Kekaisaran Austria-Hongaria.
Selama minggu terakhir Oktober, deklarasi kemerdekaan dibuat di Budapest,
Praha, dan Zagreb. Tanggal 29 Oktober, otoritas kekaisaran meminta gencatan
senjata dengan Italia. Tetapi Italia terus bergerak maju, mencapai Trento,
Udine, dan Trieste.. Tanggal 3 November, Austria-Hongaria mengirimkan bendera
putih untuk meminta gencatan senjata. Persyaratan yang disampaikan melalui
telegraf oleh pemimpin Sekutu di Paris dikirim ke komandan Austria dan diterima.
Gencatan senjata dengan Austria ditandatangani di Villa Giusti, dekat Padua,
tanggal 3 November. Austria dan Hongaria menandatangani gencatan senjata
terpisah setelah penggulingan Monarki Habsburg.
Setelah pecahnya Revolusi Jerman 1918–1919,
sebuah republik diproklamasikan tanggal 9 November. Kaiser mengungsi ke
Belanda.
Tanggal 11 November pukul 05:00, gencatan senjata
dengan Jerman ditandatangani di sebuah gerbong kereta di Compiègne. Pukul 11:00
tanggal 11 November 1918 — "jam sebelas hari sebelas bulan sebelas" —
gencatan senjata diberlakukan. Selama enam jam antara penandatanganan gencatan
senjata tersebut dan penerapannya, pasukan yang saling berperang di Front Barat
mulai menarik diri dari posisi mereka, tetapi terus bertempur di sejumlah wilayah
front karena para komandan ingin mencaplok wilayah sebelum perang berakhir.
Prajurit Kanada George Lawrence Price ditembak seorang penembak jitu Jerman
pada pukul 10:57 dan tewas pukul 10:58. Prajurit Amerika Serikat Henry Gunther
gugur 60 detik sebelum gencatan senjata diterapkan saat sedang berlari menyerbu
tentara Jerman yang terkejut dan tahu bahwa gencatan senjata sudah dekat.
Prajurit Britania terakhir yang gugur adalah George Edwin Ellison. Korban
terakhir dalam perang ini adalah seorang Jerman, Letnan Thomas, yang setelah
pukul 11:00 sedang berjalan menyusuri garis depan untuk memberitahu tentara
Amerika Serikat yang belum diberitahu tentang gencatan senjata bahwa mereka
akan mengosongkan bangunan di belakang mereka. Pendudukan Rhineland terjadi
setelah gencatan senjata. Pasukan pendudukan terdiri dari pasukan Amerika
Serikat, Belgia, Britania, dan Perancis.
Superioritas Sekutu dan legenda pengkhianatan, November 1918
Pada bulan November 1918, Sekutu memiliki suplai
prajurit dan material yang cukup untuk menyerbu Jerman. Namun pada saat
gencatan senjata, tidak ada pasukan Sekutu yang melintasi perbatasan Jerman;
Front Barat masih 900 mil (1,400 km) jauhnya dari Berlin; dan pasukan
Kaiser telah mundur dari medan perang secara baik-baik. Faktor-faktor tersebut
memungkinkan Hindenburg dan pemimpin Jerman senior lainnya menyebar berita
bahwa pasukan mereka belum benar-benar dikalahkan. Ini berujung pada legenda
pengkhianatan, yang menyebut kekalahan Jerman bukan karena ketidakmampuannya
melanjutkan peperangan (meski hampir satu juta tentara menderita wabah flu 1918
dan tidak bisa berperang), tetapi kegagalan publik merespon "panggilan
patriotik"-nya dan dugaan sabotase perang internasional, terutama oleh
kaum Yahudi, Sosialis, dan Bolshevik.
Perjanjian Versailles, Juni 1919
Keadaan perang formal antara kedua pihak terus
berlanjut selama tujuh bulan selanjutnya sampai penandatanganan Perjanjian
Versailles dengan Jerman pada tanggal 28 Juni 1919. Akan tetapi, publik Amerika
Serikat menolak ratifikasi perjanjian tersebut, terutama karena Liga
Bangsa-Bangsalah perjanjian tersebut dibuat; A.S. tidak mengakhiri secara resmi
keikutsertaannya dalam perang sampai Resolusi Knox-Porter ditandatangani tahun
1921. Setelah Perjanjian Versailles, perjanjian dengan Austria, Hongaria,
Bulgaria, dan Kesultanan Utsmaniyah ditandatangani. Namun, negosiasi perjanjian
terakhir dengan Kesultanan Utsmaniyah diikuti oleh perselisihan (Perang
Kemerdekaan Turki), dan perjanjian damai terakhir antara Blok Sekutu dan negara
yang segera menjadi Republik Turki baru ditandatangani pada tanggal 24 Juli
1923 di Lausanne.
Sejumlah tugu peringatan perang menyebut akhir
perang adalah ketika Perjanjian Versailles ditandatangani tahun 1919, yaitu
ketika banyak tentara yang berdinas di luar negeri akhirnya pulang ke negara
masing-masing; sebaliknya, banyak peringatan berakhirnya perang terpusat pada
gencatan senjata tanggal 11 November 1918. Secara hukum, perjanjian damai
formal belum selesai sampai ditandatanganinya perjanjian terakhir, yaitu
Perjanjian Lausanne. Sesuai ketentuannya, pasukan Sekutu keluar dari Konstantinopel
tanggal 23 Agustus 1923.
Teknologi
Perang Dunia Pertama dimulai sebagai tabrakan
teknologi abad ke-20 dan taktik abad ke-19, disertai jatuhnya korban dalam
jumlah besar. Tetapi pada akhir 1917, pasukan-pasukan besar, sekarang berjumlah
utaan, telah melakukan modernisasi dan memakai telepon, komunikasi nirkabel, kendaraan
lapis baja, tank, dan pesawat terbang. Formasi infanteri disusun ulang,
sehingga pasukan 100 orang tidak lagi menjadi unit manuver utama dan digantikan
oleh skuat yang terdiri dari kurang lebih 10 tentara, di bawah komando NCO
junior.
Artileri juga mengalami revolusi. Tahun 1914,
meriam diposisikan di garis depan dan ditembakkan langsung ke target. Tahun
1917, tembakan tidak langsung dengan senjata (disertai mortir dan bahkan
senjata mesin) biasa dilakukan, memakai teknik baru mencari dan mengukur,
terutama pesawat dan telepon lapangan yang sering diabaikan. Misi kontra-baterai
biasa dilakukan dan deteksi suara dipakai untuk melacak keberadaan baterai
musuh.
Jerman jauh lebih maju daripada Sekutu dalam
memanfaatkan tembakan berat tidak langsung. Angkatan Darat Jerman memakai howitzer
150 dan 210 mm pada tahun 1914, sementara senjata Perancis dan Britania
hanya 75 dan 105 mm. Britania memiliki howiter 6 inci (152 mm),
tetapi sangat berat sehingga harus dirombak dulu dan disusun di medan tempur.
Jerman juga memakai senjata Austria 305 mm dan 420 mm, dan sejak awal
perang sudah memiliki cadangan berbagai kaliber Minenwerfer yang ideal
dipakai untuk peperangan parit.
Banyak pertempuran melibatkan peperangan parit
yang memakan korban ratusan tentara untuk setiap yard yang diperebutkan.
Sebagian besar pertempuran paling mematikan sepanjang sejarah terjadi pada
Perang Dunia Pertama, seperti Ypres, Marne, Cambrai, Somme, Verdun, dan Gallipoli.
Jerman memakai proses Haber fiksasi nitrogen untuk menyediakan suplai bubuk
mesiu yang tetap untuk pasukan-pasukannya, meski terjadi blokade laut oleh
Britania. Artileri mengakibatkan jumlah korban paling banyak dan mengonsumsi
banyak sekali peledak. Sejumlah besar luka kepala akibat ledakan granat dan fragmentasi
mendorong negara-negara terlibat mengembangkan helm baja modern, dipimpin oleh
Perancis yang memperkenalkan helm Adrian pada tahun 1915. Perkembangan ini
diikuti oleh helm Brodie yang dipakai tentara Imperium Britania dan A.S., dan
pada tahun 1916 oleh Stahlhelm Jerman dengan perbaikan desain yang masih
dipakai sampai sekarang.
"Gas!
Gas! Quick, boys!... Fitting the clumsy helmets just in time; But someone
still was yelling out and stumbling, And flound'ring like a man in fire or
lime... Dim, through the misty panes and thick green light, As under a green
sea, I saw him drowning."- Wilfred Owen, DULCE ET DECORUM EST,
1917
|
Pemakaian bahan kimia yang luas adalah fitur
berbeda dalam konflik ini. Gas yang dipakai meliputi klorin, gas mustar, dan fosgin.
Sedikit korban perang yang jatuh akibat gas, karena pertahanan efektif terhadap
serangan gas segera diciptakan, seperti masker gas. Pemakaian peperangan kimia
dan pengeboman strategis berskala kecil tidak diizinkan oleh Konvensi Den Haaf
1907, dan keduanya terbukti tidak begitu efektif, meski berhasil menangkap
perhatian publik.
Senjata darat terkuat adalah senjata kereta api
yang berbobot ratusan ton per unitnya. Senjata ini diberi nama Big Bertha,
meski pemilik namanya bukanlah sebuah senjata kereta api. Jerman mengembangkan Paris
Gun yang mampu mengebom Paris dari jarak 100 kilometer (62 mil),
meski granatnya relatif ringan dengan berat 94 kilogram (210 lb).
Saat Sekutu juga mempunyai senjata kereta, model Jerman jauh lebih maju dan
canggih daripada Sekutu.
Penerbangan
Pesawat bersayap tetap pertama dipakai secara
militer oleh Italia di Libya tanggal 23 Oktober 1911 pada Perang Italia-Turki
untuk keperluan mata-mata, dan pada tahun berikutnya diikuti oleh penjatuhan
granat dan fotografi udara. Tahun 1914, pemanfaatan militer mereka tampak
jelas. Pesawat awalnya dipakai untuk mata-mata dan serangan darat. Untuk
menembak jatuh pesawat musuh, senjata antipesawat dan pesawat tempur
dikembangkan. Pengebom strategis diciptakan, terutama oleh Jerman dan Britania,
meski Jerman juga memakai Zeppelin. Menjelang akhir konflik, kapal angkut
pesawat dipakai untuk pertama kalinya, dengan HMS Furious meluncurkan Sopwith
Camels dalam sebuah serangan untuk menghancurkan hangar Zeppelin di Tondern
tahun 1918.
Balon pemantau berawak, melayang jauh di atas
parit, dipakai sebagai platform mata-mata stasioner, melaporkan pergerakan
musuh dan mengarahkan artileri. Balon umumnya diawaki dua orang, dilengkapi parasut,
sehingga jika terjadi serangan udara musuh, awak balon dapat terjun dengan
selamat. Pada masa itu, parasut begitu berat untuk dipakai pilot pesawat
(bersama keluaran tenaga marginalnya), dan versi parasut kecil belum
dikembangkan sampai akhir perang; parasut juga ditolak para pemimpin Britania
yang khawatir akan menciptakan sifat pengecut.
Diakui atas kegunaannya sebagai platform
pemantau, balon menjadi target penting pesawat musuh. Untuk mempertahankannya
dari serangan udara, balon-balon sangat dilindungi oleh senjata antipesawat dan
dipatroli oleh pesawat teman; untuk menyerang musuh, senjata tidak umum seperti
roket udara-ke-udara dipakai. Karena itu nilai mata-mata lampu suar dan balon
berkontribusi terhadap pengembangan pertempuran udara antara semua jenis
pesawat, dan menciptakan kebuntuan parit, karena mustahil memindahkan sejumlah
besar tentara tanpa terdeteksi. Jerman melakukan serangan udara di Inggris
sepanjang tahun 1915 dan 1916 dengan kapal udara, berharap menjatuhkan moral
Britania dan mengakibatkan pesawat dialihkan dari garis depan, dan pada
akhirnya menciptakan kepanikan yang mendorong pengalihan beberapa skadron
pesawat tempur dari Perancis.
Pemutakhiran teknologi laut
Jerman mengirimkan kapal-U (kapal selam) setelah
perang dimulai. Berada di antara peperangan kapal selam terbatas dan tanpa
batas di Atlantik, Kaiserliche Marine memakai kapal-kapal ini untuk memutus
rantai suplai penting Kepulauan Britania Raya. Kematian pelaut dagang Britania
dan kehebatan kapal-U mendorong pengembangan ranjau bawah air (1916), hidrofon
(sonar pasif, 1917), lampu suar, kapal selam pemburu (HMS R-1, 1917), senjata
antikapal selam, dan hidrofon celup (dua perlengkapan terakhir tidak digunakan
lagi pada tahun 1918). Untuk memperluas operasi mereka, Jerman merancang kapal
selam suplai pada tahun 1916. Kebanyakan kapal selam ditinggalkan pada masa
antarperang sampai Perang Dunia II memunculkan lagi kebutuhan akan kapal selam.
Pemutakhiran teknologi peperangan darat
Parit, senjata mesin, mata-mata udara, kawat
berduri, dan artileri modern dengan granat fragmentasi membantu menciptakan
kebuntuan di lini pertempuran Perang Dunia I. Britania dan Perancis mencari
solusi dengan menciptakan tank dan peperangan mekanis. Tank pertama Britania
dipakai pada Pertempuran Somme tanggal 15 September 1916. Ketergantungan
mekanis adalah suatu masalah, tetapi uji coba membuktikan keandalannya. Dalam
satu tahun, Britania melibatkan ratusan tank dalam pertempuran dan tank-tank
tersebut menunjukkan kebolehan mereka pada Pertempuran Cambrai bulan November
1917 dengan menerobos Garis Hindenburg, sementara tim senjata gabungan
menangkap 8.000 tentara musuh dan 100 senjata. Perancis memperkenalkan
tank pertama dengan meriam berputar, Renault FT-A7, yang menjadi perlengkapan
perang yang paling menentukan kemenangan. Konflik ini juga mendorong
diperkenalkannya senjata otomatis ringan dan senjata submesin, seperti Lewis
Gun, bedil otomatis Browning, dan Bergmann MP18.
Penyembur api dan angkutan subterania
Senjata baru lainnya, penyembur api, pertama
dipakai oleh pasukan Jerman dan kemudian diadopsi oleh pasukan lain. Meski
tidak bernilai taktis tinggi, penyembur api adalah senjata kuat dengan
kemampuan demoralisasi yang mengakibatkan teror di medan tempur. Ini adalah
senjata berbahaya karena bobotnya yang berat membuat operatornya mudah menjadi
target musuh.
Rel kereta parit berevolusi untuk pengiriman
sejumlah besar makanan, air, dan amunisi yang dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan tentara-tentara di daerah tempat sistem transportasi konvensional
telah dihancurkan. Mesin pembakaran dalam dan sistem traksi yang diperbarui
untuk mobil dan truk/lori akhirnya membuat rel kereta parit kedaluwarsa.
Kejahatan perang
Genosida dan pembersihan etnis
Pembersihan etnis populasi Armenia di Kesultanan
Utsmaniyah, termasuk deportasi dan eksekusi massal, saat tahun-tahun terakhir
Kesultanan Utsmaniyah tergolong genosida. Utsmaniyah memandang seluruh populasi
Armenia sebagai musuh yang memilih berpihak pada Rusia sejak awal perang. Pada
awal 1915, sejumlah warga Armenia bergabung dengan pasukan Rusia, dan
pemerintah Utsmaniyah menggunakan alasan ini sebagai dasar pengesahan Hukum
Tehcir (Hukum Deportasi). Hukum ini membolehkan deportasi penduduk Armenia dari
provinsi-provinsi timur Kesultanan ke Suriah antara 1915 dan 1917. Jumlah pasti
korban tewas tidak diketahui. Meski Balakian memberi kisaran antara 250.000
sampai 1,5 juta orang Armenia, International Association of Genocide Scholars
memperkirakan lebih dari 1 juta jiwa. Pemerintah Turki dari dulu tetap menolak
tuduhan genosida dengan berpendapat bahwa mereka yang tewas adalah korban
peperangan antaretnis, kelaparan, atau wabah selama Perang Dunia Pertama.
Kelompok etnis lain yang juga diserang Kesultanan Utsmaniyah pada saat itu
termasuk bangsa Assyria dan Yunani, dan sejumlah sarjana menganggap peristiwa
tersebut merupakan bagian dari kebijakan pemusnahan yang sama.
Kekaisaran Rusia
Banyak pogrom terjadi seiring Revolusi 1917 Rusia
dan Perang Saudara Rusia. 60.000–200.000 warga sipil Yahudi tewas dalam
kekerasan yang terjadi di seluruh wilayah bekas Kekaisaran Rusia.
"Pemerkosaan Belgia"
Para penyerbu Jerman menganggap perlawanan
apapun—seperti menyabotase rel kereta—sebagai tindakan ilegal dan imoral, dan
menembak pelanggar dan membakar bangunan sebagai balasannya. Selain itu, mereka
cenderung menganggap sebagian besar warga sipil sebagai
"franc-tireurs" berpotensial, dan menangkap dan kadang membunuh
tahanan dari kalangan warga sipil. Pasukan Jerman mengeksekusi lebih dari 6.500
warga sipil Perancis dan Belgia antara Agustus dan November 1914, biasanya
dalam penembakan warga sipil berskala besar nyaris acak yang diperintahkan oleh
perwira junior Jerman. Angkatan Darat Jerman menghancurkan 15.000-20.000 bangunan—termasuk
perpustakaan universitas di Louvain—dan menciptakan gelombang pengungsi sebesar
satu juta orang. Lebih dari separuh resimen Jerman di Belgia terlibat dalam
insiden-insiden besar. Ribuan pekerja dikirim ke Jerman untuk bekerja di
pabrik. Propaganda Britania yang mendramatisir "Pemerkosaan Belgia"
menarik banyak perhatian di Amerika Serikat, sementara Berlin menyatakan
tindakan tersebut sah dan perlu karena ancaman para "franc-tireurs"
(gerilya) seperti yang terjadi di Perancis tahun 1870. Britania dan Perancis
membesar-besarkan laporan tersebut dan menyebarluaskannya di dalam negeri dan
Amerika Serikat, tempat mereka memainkan peran besar dalam menghapus dukungan
untuk Jerman.
Pengalaman tentara
Tentara Britania awalnya merupakan relawan, namun
pada akhirnya menjadi wajib militer. Imperial War Museum di Britania telah
mengoleksi lebih dari 2.500 tekaman kesaksian pribadi tentara, dan
sejumlah transkrip pilihan yang disunting oleh penulis militer Max Arthur telah
diterbitkan. Museum ini percaya bahwa sejarawan belum memanfaatkan penuh
material-material ini, dan museum ini berhasil memiliki arsip lengkap rekaman
untuk para penulis dan peneliti. Veteran yang selamat dan pulang cenderung
hanya bisa mendiskusikan pengalaman mereka dengan sesama rekannya. Mereka
berkumpul dan membentuk "asosiasi veteran" atau "Legiun".
Tawanan perang
Sekitar 8 juta tentara menyerah dan ditahan di kamp
tawanan perang selama Perang Dunia I. Semua negara berjanji mengikuti Konvensi
Den Haag mengenai perlakuan baik tawanan perang. Tingkat keselamatan tawanan
perang umumnya lebih tinggi daripada rekan mereka di garis depan. Penyerahan
diri individu cenderung tidak biasa; pasukan dalam jumlah besar yang biasanya
menyerah secara massal. Pada Pertempuran Tannenberg 92.000 tentara Rusia
menyerah. Saat garnisun Kaunas yang dikepung menyerah tahun 1915, sekitar
20.000 tentara Rusia menyerah. Lebih dari setengah kerugian Rusia (sebagai
perbandingan terhadap mereka yang ditangkap, terluka, atau gugur) memiliki
status tawanan; untuk Austria-Hongaria 32%, Italia 26%, Perancis 12%, Jerman
9%; Britania 7%. Tawanan dari pasukan Sekutu berjumlah 1,4 juta orang
(tidak termasuk Rusia, yang 2,5-3,5 juta tentaranya ditawan). Dari Blok
Sentral, sekitar 3,3 juta tentara menjadi tawanan perang.
Jerman menahan 2,5 juta tentara; Rusia
menahan 2,9 juta tentara; sementara Britania dan Perancis sekitar 720.000
tentara. Kebanyakan di antara mereka ditangkap tepat sebelum gencatan senjata.
A.S. menahan 48.000 tentara. Saat-saat paling berbahaya adalah tindakan
penyerahan diri, ketika tentara yang pasrah kadang ditembaki begitu saja.
Setelah tawanan tiba di kamp, kondisi pada umumnya memuaskan (dan lebih baik
daripada Perang Dunia II), berkat upaya Palang Merah Internasional dan inspeksi
oleh negara-negara netral. Akan tetapi, di Rusia lebih buruk lagi: kelaparan
biasa terjadi di kalangan tawanan dan warga sipil; sekitar 15–20% dari seluruh
tawanan di Rusia meninggal. Di Jerman, makanan langka, tetapi hanya 5% yang
meninggal.
Kesultanan Utsmaniyah sering memperlakukan
tahanan perang dengan buruk. Sekitar 11.800 tentara Imperium Britania,
kebanyakan India, ditawan setelah Pengepungan Kut di Mesopotamia pada bulan
April 1916; 4.250 orang meninggal dalam penjara. Meski banyak yang sedang dalam
kondisi buruk saat ditangkap, para perwira Utsmaniyah memaksa mereka berjalan
sejauh 1.100 kilometer (684 mil) ke Anatolia. Seorang korban selamat
mengatakan, "Kami digiring seperti hewan liar; keluar dari sana artinya
mati." Para korban selamat kemudian dipaksa membangun rel kereta api
melintasi Pegunungan Taurus.
Di Rusia, saat para tawanan dari Legiun Ceko
Angkatan Darat Austria-Hongaria dibebaskan tahun 1917, mereka mempersenjatai
diri kembali dan sempat menjadi kekuatan militer dan diplomatik pada Perang
Saudara Rusia.
Meski tawanan Sekutu di Blok Sentral langsung
dikirim pulang setelah akhir perang, perlakuan yang sama tidak diberikan kepada
tawanan Blok Sentral di negara Sekutu dan Rusia. Kebanyakan dari tawanan Blok
Sentral tersebut dijadikan pekerja paksa, misalnya di Perancis sampai tahun
1920. Mereka baru dibebaskan setelah Palang Merah mendekati Dewan Agung Sekutu
berkali-kali. Tawanan Jerman masih ditahan di Rusia sampai tahun 1924.
Atase militer dan koresponden perang
Pemantai militer dan sipil dari setiap kekuatan
besar mengikuti dengan saksama jalannya perang. Banyak yang mampu melaporkan
suatu peristiwa dari sudut pandang yang mirip dengan posisi "tempelan"
di dalam daratan dan pasukan laut musuh. Para atase militer dan pemantau lain
ini mempersiapkan kesaksian langsung mengenai perang disertai tulisan analitis.
Misalnya, mantan Kapten Angkatan Darat A.S. Granville
Fortescue mengikuti perkembangan Kampanye Gallipoli dari sudut pandang tempelan
di dalam wilayah pertahanan Turki; dan laporannya diteruskan melalui sensor
Tukri sebelum dicetak di London dan New York. Akan tetapi, peran pemantau ini
diabaikan ketika A.S. memasuki kancah perang, sementara Fortescue langsung
mendaftar ulang masuk militer dan terluka di Hutan Argonne pada Ofensif
Meuse-Argonne, September 1918.
Narasi perang oleh pemantau secara mendalam dan
artikel jurnal profesional yang lebih sempit segera ditulis setelah perang; dan
laporan pascaperang ini umumnya mengilustrasikan kehancuran medan tempur dalam
konflik ini. Ini bukan pertama kalinya taktik posisi parit untuk infanteri yang
dipersenjatai senjata mesin dan artileri menjadi sangat penting. Perang
Rusia-Jepang juga dipantau secara saksama oleh atase militer, koresponden
perang, dan pemantau lain; tetapi, dari sudut pandang abad ke-21, tampak jelas
bahwa serangkaian pelajaran taktik diabaikan atau tidak dipakai dalam persiapan
perang di Eropa dan seluruh Perang Besar.
Dukungan dan penentangan perang
Dukungan
Di Balkan, nasionalis Yugoslav seperti pemimpin Ante
Trumbić di Balkan sangat mendukung perang ini dan memimpikan bebasnya bangsa
Yugoslav dari Austria-Hongaria dan kekuatan asing lainnya, serta pembentukan Yugoslavia
merdeka. Komite Yugoslav didirikan di Paris tanggal 30 April 1915, namun
kemudian memindahkan kantornya ke London; Trumbić memimpin Komite ini.
Di Timur Tengah, nasionalisme Arab berkobar di
teritori-teritori Utsmaniyah sebagai respon atas naiknya nasionalisme Turki
sepanjang perang. Para pemimpin nasionalis Arab menyuarakan pembentukan negara pan-Arab.
Pada tahun 1916, Pemberontakan Arab terjadi di teritori Timur Tengah milik
Utsmaniyah demi mencapai kemerdekaan.
Nasionalisme Italia didorong oleh pecahnya perang
dan awalnya sangat didukung oleh berbagai faksi politik. Salah satu pendukung
perang nasionalis Italia yang paling tekrenal adalah Gabriele d'Annunzio, yang
mempromosikan iredentisme Italia dan membantu meyakinkan publik Italia untuk
mendukung intervensi perang. Partai Liberal Italia di bawah kepemimpinan Paolo
Boselli mempromosikan intervensi perang di sisi Sekutu dan memanfaatkan Dante
Aligheri Society untuk mempromosikan nasionalisme Italia.
Sejumlah partai sosialis awalnya mendukugn perang
ketika pecah bulan Agustus 1914. Tetapi sosialis Eropa terbagi di sisi
nasional, dengan konsep kelas konflik yang dipegang oleh sosialis radikal
seperti kaum Marxis dan sindikalis yang muncul akibat dukungan patriotik mereka
terhadap perang. Setelah perang dimulai, sosialis Austria, Britania, Jerman,
Perancis, dan Rusia mengikuti arus nasionalis yang bangkit dengan mendukung
intervensi perang oleh negara mereka .
Para sosialis Italia terbagi menjadi pendukung
perang dan penentangnya; beberapa di antaranya adalah pendukung perang yang
militan, termasuk Benito Mussolini dan Leonida Bissolati. Akan tetapi, Partai
Sosialis Italia memutuskan menentang perang setelah para pengunjuk rasa
anti-militer tewas dan mengakibatkan mogok massal bernama Minggu Merah. Partai
Sosialis Italia membersihkan dirinya dari anggota-anggota nasionalis
pro-perang, termasuk Mussolini. Mussolini, seorang sindikalis yang mendukung
perang atas dasar klaim iredentis wilayah berpopulasi Italia di
Austria-Hongaria, membentuk organisasi pro-intervensionis Il Popolo d'Italia
dan Fasci Riviluzionario d'Azione Internazionalista ("Fasci
Revolusi untuk Aksi Internaisonal") pada bulan Oktober 1914 yang kelak
berkembang menjadi Fasci di Combattimento tahun 1919, asal usul fasisme.
Nasionalisme Mussolini memungkinkan dirinya menggalang dana dari Ansaldo (firma
senjata) dan perusahaan lain untuk membentuk Il Popolo d'Italia untuk
meyakinkan para sosialis dan revolusionis agar mendukung perang.
Pada bulan April 1918, Kongres Bangsa Terindas
Roma mengadakan pertemuan, termasuk perwakilan bangsa Cekoslovak, Italia, Polandia,
Transylvania, dan Yugoslav yang meminta Sekutu mendukung penentuan nasib
sendiri nasional untuk orang-orang yang tinggal di dalam Austria-Hongaria.
Penentangan
Serikat dagang dan gerakan sosialis sudah lama
menenetang sebuah perang yang menurut mereka berarti bahwa pekerja akan
membunuh pekerja lain demi kepentingan kapitalisme. Setelah perang
dideklarasikan, rupanya banyak sosialis dan serikat dagang yang malah membantu
pemerintah mereka. Di antara pengecualian tersebut adalah kaum Bolshevik, Partai
Sosialis Amerika, dan Partai Sosialis Italia, dan individu seperti Karl
Liebknecht, Rosa Luxemburg, dan para pengikutnya di Jerman. Ada pula sejumlah
kecul kelompok antiperang di Britania dan Perancis.
Benediktus XV, terpilih sebagai Paus kurang dari
tiga bulan setelah Perang Dunia I, menjadikan perang dan segala akibatnya fokus
utama tugas kepausan pertamanya. Berbeda dengan pendahulunya, lima hari
pasca-pemilihannya, ia berbicara tentang tugas dia untuk melakukan sebisanya
untuk menciptakan perdamaian. Ensiklik pertamanya, Ad Beatissimi Apostolorum,
dibacakan tanggal 1 November 1914, membicarakan masalah ini. Dipandang sebagai
tokoh bias yang berpihak pada satu sisi dan dibenci karena melemahkan moral
nasional, Benediktus XV melihat kemampuan dan posisinya yang unik sebagai duta
perdamaian religius diabaikan oleh negara-negara yang terlibat.
Perjanjian London 1915 antara Italia dan Entente
Tiga meliputi persyaratan rahasia yaitu Sekutu setuju dengan Italia untuk
mengabaikan panggilan Paus agar berdamai dengan Blok Sentral. Akibatnya,
penerbitan Nota Perdamaian Agustus 1917 tujuh poin usulan Benediktus diabaikan
oleh semua pihak, kecuali Austria-Hongaria.
Di Britania, tahun 1914, kamp tahunan Public
Schools Officers' Training Corps diadakan di Tidworth Pennings, dekat Salisbury
Plain. Kepala Angkatan Darat Britania Raya Lord Kitchener bermaksud meninjau kadetnya,
tetapi pecahnya perang menggagalkan tugas tersebut. Jenderal Horace
Smith-Dorrien menggantikannya. Ia membuat terkejut dua per tiga ribu kadet
dengan mengatakan (mengutip Donald Christopher Smith, seorang kadeta Bermuda
yang hadir), "bahwa perang harus dihindari dengan nyaris segala cara,
bahwa perang tidak menyelesaikan apa-apa, bahwa seluruh Eropa dan lainna akan
berantakan, dan bahwa jumlah korban tewas akan sangat besar sehingga seluruh
populasi akan menyusut drastis. Akibat keteledoran kita, saya, dan banyak di
antara kita, merasa hampir malu terhadap seorang Jenderal Britania yang
mengeluarkan sentimen yang memuramkan dan tidak patriotik ini, tetapi selama
empat tahun berikutnya, di antara kita yang selamat dari pembantaian
ini—mungkin tidak lebih dari seperempat—belajar tnetang betapa benar perkiraan
Jenderal dan betapa berani ia menyatakannya." Mengeluarkan perkataan
sentimen seperti ini tidak menghancurkan karier Smith-Dorien atau bahkan
mencegahnya melakukan tugasnya pada Perang Dunia I sebaik-baiknya.
Banyak negara memenjarakan orang-orang yang
berbicara menentang konflik ini. Mereka mencakup Eugene Debs di Amerika Serikat
dan Bertrand Russell di Britania. Di A.S., Undang-Undang Spionase 1917 dan Undang-Undang
Penghasutan 1918 menjadikan penolakan perekrutan militer atau membuat
pernyataan apapun yang dirasa "tidak loyal" suatu tindak kejahatan.
Penerbitan yang kritis terhadap pemerintahan ditarik dari sirkulasi oleh sensor
pos, dan banyak yang lama dipenjara akibat pernyataan mereka yang dianggap
tidak patriotik.
Sejumlah kaum nasionalis menentang intervensi,
terutama di dalam negara-negara yang tidak disukai nasionalis. Meski sebagian
besar penduduk Irlandia mau ikut berperang tahun 1914 dan 1915, sebagian kecil nasionalis
Irlandia maju menolak ikut serta dalam perang. Perang terjadi meski muncul
krisis Pemerintahan Dalam Negeri di Irlandia yang muncul kembali tahun 1912,
dan pada Juli 1914 muncul kemungkinan serius akan pecahnya perang sipil di
Irlandia. Para nasionalis dan Marxis Irlandia berusaha mengejar kemerdekaan
Irlandia yang berujung pada Pemberontakan Paskah tahun 1916, dengan Jerman
mengirimkan 20.000 senjata bedil ke Irlandia untuk menciptakan kerusuhan di
Britania Raya. Pemerintah Britania Raya memberlakukan darurat militer di
Irlandia sebagai tanggapan terhadap Pemberontakan Paskah, meski setelah ancaman
revolusi berkurang para pihak berwenang mencoba menenangkan perasaan kaum
nasionalis.
Penolakan lain berasal dari para penentang
bernurani – separuh sosialis, separuh religius – yang menolak
berperang. Di Britania, 16.000 orang meminta status penentang bernurani.
Sebagian dari mereka, terutama aktivis perdamaian paling terkenal Stephen Henry
Hobhouse, menolak dinas militer dan alternatif. Banyak yang dipenjara
bertahun-tahun, termasuk pengurungan sendiri dan diet roti dan air. Bahkan
setelah perang, di Britania banyak iklan pekerjaan diberi tanda "Kecuali
penentang bernurani".
Pemberontakan Asia Tengah pecah pada musim panas
1916, ketika pemerintah Kekaisaran Rusia mengakhiri pengecualian Muslim dari
dinas militer. Tahun 1917, serangkaian pemberontakan di tubuh AD Perancis
berujung pada eksekusi lusinan tentara dan penahanan sejumlah besar tentara
lainnya.
Di Milan bulan Mei 1917, kaum revolusi Bolshevik
menyusun dan mengadakan pemberontakan yang menuntut berakhirnya perang, dan
berupaya menutup pabrik-pabrik dan menghentikan operasi transportasi umum.
Pasukan Italia terpaksa memasuki Milan dengan tank dan senjata mesin untuk
menghadapi kaum Bolshevik dan anarkis, yang bertempur habis-habisan sampai 23
Mei ketika Angkatan Darat berhasil mengambil alih kota. Hampir 50 orang
(termasuk tiga tentara Italia) tewas dan lebih dari 800 orang ditahan.
Krisis Wajib Militer 1917 di Kanada terjadi
ketika Perdana Menteri Robert Borden yang konservatif memerintahkan dinas
militer wajib atas keberatan warga Quebec berbahasa Perancis. Dari 625.000
tentara Kanada yang bertugas, 60.000 di antaranya gugur dan 173.000 lainnya luka-luka.
Tahun 1917, Kaisar Charles I dari Austria secara
rahasia memasuki negosiasi damai dengan negara-negara Sekutu, dengan saudara
tirinya Sixtus sebagai penengah, tanpa sepengetahuan sekutunya, Jerman.
Sayangnya ia gagal akibat pemberontakan Italia.
Bulan September 1917, tentara Rusia di Perancis
mulai mempertanyakan mengapa mereka berperang untuk Perancis dan akhirnya
memberontak. Di Rusia, penolakan perang mendorong para tentara mendirikan
komite revolusinya sendiri, yang membantu memulai Revolusi Oktober 1917, dengan
tuntutan "roti, tanah, dan perdamaian". Kaum Bolshevik menyetujui
perjanjian damai dengan Jerman berupa Perjanjian Brest-Litovsk meski berada
dalam kondisi buruk.
Di Jerman Utara, Revolusi Jerman 1918–1919
terjadi pada akhir Oktober 1918. Pasukan Angkatan Laut Jerman menolak berlayar
untuk operasi berskala besar terakhir dalam perang yang mereka lihat sama saja
seperti bunuh diri; peristiwa ini memulai pemberontakan. pemberontakan pelayar
yang kemudian terjadi di pelabuhan Wilhelmshaven dan Kiel menyebar ke seluruh
Jerman dalam hitungan hari dan berujung pada proklamasi republik tanggal 9
November 1918 dan sesaat setelah itu pengunduran diri Kaiser Wilhelm II.
Wajib militer
Setelah perang ini perlahan berubah menjadi perang
atrisi, wajib militer diberlakukan di sejumlah negara. Masalah ini menjadi
heboh di Kanada dan Australia. Di Kanada, wajib militer memunculkan celah
politik antara warga Perancis Kanada, yang percaya kesetiaan mereka hanya untuk
Kanada dan bukan Imperium Britania, dan warga Inggris mayoritas, yang memandang
perang sebagai sebuah tugas bagi Britania maupun Kanada. Perdana Menteri Robert
Borden mengesahkan Undang-Undang Dinas Militer, sehingga mencetuskan Krisis
Wajib Militer 1917. Di Australia, kampanye pro-wajib militer oleh Perdana
Menteri Billy Hughes mengakibatkan perpecahan di tubuh Partai Buruh Australia,
sehingga Hughes membentuk Partai Nasionalis Australia pada tahun 1917 untuk
mempromosikan peraturan ini. Meski begitu, gerakan buruh, Gereja Katolik, dan
ekspatriat nasionalis Irlandia berhasil menentang peraturan Hughes, yang
kemudian ditolak di dua plebisit.
Wajib militer diterapkan untuk setiap pria yang
mampu secara fisik di Britania, enam dari sepuluh juta orang yang layak. Dari
jumlah tersebut, sekitar 750.000 orang gugur dan 1.700.000 lainnya luka-luka.
Kebanyakan korban tewas adalah pemuda yang belum menikah; akan tetapi, 160.000
istri kehilangan suaminya dan 300.000 anak kehilangan ayahnya.
Dampak
Dampak kesehatan dan ekonomi
Belum ada perang yang berhasil mengubah peta
Eropa secara dramatis. Empat kekaisaran menghilang: Jerman, Austria-Hongaria,
Utsmaniyah, dan Rusia. Empat dinasti, bersama aristokrasi kunonya, jatuh
setelah perang: Hohenzollern, Habsburg, Romanov, dan Utsmaniyah. Belgia dan
Serbia hancur parah, seperti halnya Perancis, dengan 1,4 juta tentara
gugur, tidak termasuk korban lainnya. Jerman dan Rusia juga terkena dampak
serupa.
Perang ini memberi konsekuensi ekonomi mendalam.
Dari 60 juta tentara Eropa yang dimobilisasi mulai tahun 1914 sampai 1918,
8 juta di antaranya gugur, 7 juta cacat permanen, dan 15 juta
luka parah. Jerman kehilangan 15,1% populasi pria aktifnya, Austria-Hongaria
17,1%, dan Perancis 10,5%. Sekitar 750.000 warga sipil Jerman tewas akibat kelaparan
yang disebabkan oleh blokade Britania selama perang. Pada akhir perang,
kelaparan telah menewaskan sekitar 100.000 orang di Lebanon. Perkiraan
terbaik untuk jumlah korban tewas akibat kelaparan Rusia 1921 adalah
5 juta sampai 10 juta orang. Pada tahun 1922, terdapat 4,5 juta sampai
7 juta anak tanpa rumah di Rusia akibat satu dasawarsa kehancuran sejak Perang
Dunia I, Perang Saudara Rusia, dan kelaparan 1920–1922. Sejumlah penduduk Rusia
anti-Soviet mengungsi ke negara lain setelah Revolusi; pada tahun 1930-an, kota
Harbin di Cina utara menampung 100.000 warga Rusia. Ribuan lainnya pindah
ke Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat.
Di Australia, dampak perang terhadap ekonomi
tidak terlalu parah. Perdana Menteri Hughes menulis surat untuk Perdana Menteri
Britania Raya Lloyd George, "Anda telah meyakinkan kami bahwa Anda tidak
bisa mendapatkan persyaratan yang lebih baik. Saya sangat menyesalkan hal
tersebut, dan sekarang berharap bahwa ada suatu cara untuk menetapkan
perjanjian permintaan biaya perbaikan setara dengan pengorbanan luar biasa yang
dilakukan Imperium Britania dan para Sekutunya." Australia menerima
perbaikan perang senilai ₤5.571.720, tetapi biaya perang Australia secara
langsung berjumlah ₤376.993.052, dan pada pertengahan 1930-an biaya pensiun,
hadiah perang, bunga, dan dana tenggelam berjumlah ₤831.280.947. Dari sekitar
416.000 tentara Australia yang berdinas, 60.000 di antaranya gugur dan 152.000
lainnya luka-luka.
Wabah menyebar pada masa-masa perang yang kacau.
Pada tahun 1914 saja, wabah tipus yang dibawa kutu menewaskan 200.000 orang di
Serbia. Mulai tahun 1918 sampai 1922, Rusia mengalami 25 juta infeksi dan
3 juta kematian akibat wabah tipus. Sementara sebelum Perang Dunia I Rusia
memiliki 3,5 juta kasus malaria, negara ini memiliki lebih dari 13 juta kasus
pada tahun 1923. Selain itu, wabah influenza besar menyebar ke seluruh dunia.
Secara keseluruhan, pandemi flu 1918 menewaskan sedikitnya 50 juta orang.
Lobi oleh Chaim Weizmann dan kekhawatiran bahwa
penduduk Yahudi Amerika akan memaksa AS mendukung Jerman berakhir dengan Deklarasi
Balfour 1917 oleh pemerintah Britania yang menetapkan pendirian tanah air
Yahudi di Palestina. Lebih dari 1.172.000 tentara Yahudi berdinas di pasukan
Sekutu dan Sentral pada Perang Dunia I, termasuk 275.000 di Austria-Hongaria
dan 450.000 di Kekaisaran Rusia.
Gangguan sosial dan kekerasan luas pada Revolusi
1917 dan Perang Saudara Rusia mengakibatkan terjadinya 2.000 pogrom di bekas
Kekaisaran Rusia, kebanyakan di Ukraina Sekitar 60.000–200.000 warga sipil
Yahudi tewas dalam kekerasan ini.
Setelah Perang Dunia I, Yunani berperang melawan
kaum nasionalis Turki yang dipimpin oleh Mustafa Kemal, sebuah perang yang
berakhir dengan pertukaran penduduk besar-besaran antar kedua negara di bawah Perjanjian
Lausanne. Menurut berbagai sumber, sekian ratus ribu Yunani Pontik tewas pada
masa-masa perang tersebut.
Perjanjian damai dan batas negara
Setelah perang, Konferensi Perdamaian Paris
memberlakukan beberapa perjanjian damai terhadap Blok Sentral. Perjanjian
Versailles 1919 secara resmi mengakhiri perang ini. Ditandatangani di Titik
ke-14 Wilson, Perjanjian Versailles juga mencetuskan berdirinya Liga
Bangsa-Bangsa pada tanggal 28 Juni 1919.
Dalam penandatanganan perjanjian, Jerman mengaku
bertanggung jawab atas perang ini dan setuju membayar perbaikan perang dalam
jumlah besar dan memberikan sejumlah teritori ke pihak pemenang. "Tesis
Rasa Bersalah" menjadi penjelasan kontroversial mengenai
peristiwa-peristiwa terakhir di kalangan analis Britania dan Amerika Serikat
Perjanjian Versailles menimblkan ketidakpuasan luar biasa di Jerman, yang
dieksploitasi gerakan nasionalis, terutama Nazi, dengan teori konspirasi yang
mereka sebut Dolchstosslegende (legenda pengkhianatan). Republik Weimar
kehilangan jajahan kolonialnya dan dibebani tuduhan bersalah atas perang, serta
membayar perbaikan akibat perang. Tidak mampu membayar dengan ekspor (akibat
kehilangan teritori dan resesi pascaperang), Jerman membayar dengan meminjam
dari Amerika Serikat. Inflasi berkelanjutan tahun 1920-an berkontribusi pada
keruntuhan ekonomi Republik Weimar, dan pembayaran perbaikan tertunda tahun
1931 setelah Kejatuhan Pasar Saham 1929 dan permulaan Depresi Besar di seluruh
dunia.
Austria-Hongaria terbagi menjadi beberapa negara
pengganti, termasuk Austria, Hongaria, Cekoslovakia, dan Yugoslavia, meski
tidak sepenuhnya berada dalam perbatasan etnis. Transylvania dipindahkan dari
Hongaria ke Rumania Raya. Rinciannya tercantum dalam Perjanjian Saint-Germain
dan Perjanjian Trianon. Sebagai hasil dari Perjanjian Trianon, 3,3 juta warga
Hongaria berada di bawah pemerintahan asing. Meski penduduk Hongaria membentuk
54% populasi Kerajaan Hongaria pra-perang, hanya 32% teritorinya yang disisakan
untuk Hongaria. Antara 1920 dan 1924, 354.000 warga Hongaria keluar dari bekas
teritori Hongaria yang dikuasai Rumania, Cekoslovakia, dan Yugoslavia.
Kekaisaran Rusia, yang telah menarik diri dari
Perang Dunia I pada tahun 1917 setelah Revolusi Oktober, kehilangan sebagian
besar wilayah baratnya dan negara-negara merdeka Estonia, Finlandia, Latvia,
Lithuania, dan Polandia berdiri di sana. Bessarabia kembali bergabung dengan Rumania
Raya karena sudah menjadi teritori Rumania selama lebih dari seribu tahun.
Kesultanan Utsmaniyah pecah, dan sebagian besar
teritori non-Anatolianya diberikan ke berbagai negara Sekutu dalam bentuk
protektort. Turki sendiri disusun ulang menjadi Republik Turki. Kesultanan
Utsmaniyah dipecah-pecah oleh Perjanjian Sèvres tahun 1920. Perjanjian ini
tidak pernah diratifikasi oleh Sultan dan ditolak oleh gerakan republikan Turki,
sehingga memunculkan Perang Kemerdekaan Turki dan berakhir dengan Perjanjian
Lausanne tahun 1923.
Warisan
..."Strange,
friend," I said, "Here is no cause to mourn."
"None," said the other, "Save
the undone years"...
|
— Wilfred Owen, Strange
Meeting, 1918
|
Upaya tentatif pertama untuk memahami makna dan
konsekuensi peperangan modern dimulai pada tahap-tahap awal perang, dan proses
ini terus berlanjut selama dan setelah akhir perang.
Tugu peringatan
Tugu peringatan dibangun di ribuan desa dan kota.
Dekat dengan medan tempur, mereka yang dimakamkan di lahan pemakaman buatan
perlahan dipindahkan ke pemakaman resmi yang dirawat oleh organisasi-organisasi
seperti Commonwealth War Graves Commission, American Battle Monuments
Commission, German War Graves Commission, dan Le Souvenir français. Banyak di
antara pemakaman yang memiliki monumen pusat yang dipersembahkan kepada korban
hilang atau tidak dikenal, seperti tugu Menin Gate dan Thiepval Memorial to the
Missing of the Somme.
Pada tanggal 3 Mei 1915, selama Pertempuran Ypres
Kedua, Letnan Alexis Helmer gugur. Di samping makamnya, temannya, John McCrae,
M.D., dari Guelph, Ontario, Kanada, menulis sebuah puisi terkenal berjudul In
Flanders Fields sebagai penghormatan untuk semua orang yang tewas dalam
Perang Besar. Diterbitkan di majalah Punch tanggal 8 Desember 1915,
puisi ini masih dibacakan sampai sekarang, terutama pada Hari Gencatan Senjata
dan Hari Peringatan.
Liberty Memorial di Kansas City, Missouri, adalah
sebuah tugu peringatan Amerika Serikat yang dipersembahkan kepada semua warga
negara A.S. yang berdinas di Perang Dunia I. Situs Liberty Memorial diresmikan
tanggal 1 November 1921. Pada hari itu, para komandan tertinggi Sekutu
berbicara di hadapan 100.000 orang. Itulah satu-satunya masa dalam sejarah
ketika para pemimpin tersebut berkumpul di satu tempat. Tokoh-tokoh yang hadir
meliputi Letnan Jenderal Baron Jacques dari Belgia; Jenderal Armando Diaz dari
Italia; Marsekal Ferdinand Foch dari Perancis; Jenderal Pershing dari Amerika
Serikat; dan Laksamana D. R. Beatty dari Britania Raya. Setelah tiga tahun pembangunan,
Liberty Memorial rampung dan Presiden Calvin Coolidge menyampaikan pidato
khusus di hadapan 150.000 orang pada tahun 1926. Liberty Memorial juga
merupakan rumah bagi The National World War I Museum, satu-satunya museum
khusus Perang Dunia I di Amerika Serikat.
Ingatan budaya
Perang Dunia Pertama memberi pengaruh besar
terhadap ingatan sosial. Perang ini dipandang oleh banyak orang di Britania
sebagai tanda akhir zaman stabilitas yang sudah ada sejak zaman Victoria, dan
di seluruh Eropa banyak orang menganggapnya sebagai ambang batas. Sejarawan
Samuel Hynes menjelaskan:
Generasi pemuda tak
bersalah, kepala mereka dipenuhi abstraksi tinggi seperti Kehormatan, Kejayaan
dan Inggris, pergi berperang untuk menjadikan dunia ini aman bagi demokrasi.
Mereka dibunuh dalam pertempuran bodoh yang dirancang oleh jenderal yang bodoh
pula. Mereka yang selamat terkejut, mengalami disilusi dan terpahitkan oleh
pengalaman perang mereka, dan melihat bahwa musuh asli mereka bukanlah Jerman,
tetapi orang-orang tua di kampung halaman yang telah membohongi mereka. Mereka
menolak nilai-nilai masyarakat yang mengirimkan mereka ke perang, dan dalam
melakukannya mereka memisahkan generasinya sendiri dari masa lalu dan warisan
budayanya.
Ini telah menjadi persepsi paling umum mengenai
Perang Dunia Pertama, dimunculkan oleh seni, sinema, puisi, dan cerita-cerita
yang diterbitkan sesudahnya. Film seperti All Quiet on the Western Front,
Paths of Glory, dan King & Country telah menciptakan
pemikiran ini, sementara film masa perang seperti Camrades, Flanders
Poppies, dan Shoulder Arms menunjukkan bahwa pandangan perang paling
kontemporer secara keseluruhan jauh lebih positif. Sama pula, karya seni Paul
Nash, John Nash, Christopher Nevison, dan Henry Tonks di Britania melukiskan
pandangan negatif mengenai konflik bersamaan dengan persepsi yang tumbuh,
sementara seniman masa perang yang terkenal seperti Muirhead Bone melukiskan
interpretasi yang lebih damai dan menenangkan yang kemudian ditolak karena
tidak akurat. Sejumlah sejarawan seperti John Terriane, Niall Ferguson, dan
Gary Sheffield telah menantang segala interpretasi ini sebagai pandangan
parsial dan polemik:
Keyakinan-keyakinan ini tidak dibagi sepenuhnya
karena mereka hanya memberikan interpretasi akurat mengenai peristiwa pada
zaman perang. Dengan segala hormat, perang justru lebih rumit daripada
perkataan mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, sejarawan telah berpendapat
persuasif terhadap hampir setiap klise populer mengenai Perang Dunia Pertama.
Sudah ditunjukkan bahwa, meski kerugiannya luar biasa, dampak terbesar mereka
terbatas secara sosial dan geografis. Keragaman emosi selain horor yang dialami
para tentara di dalam dan luar garis depan, termasuk persaudaraan, kebosanan,
dan bahkan kenikmatan, telah diakui. Perang sekarang tidak dipandang sebagai
"pertempuran omong kosong', namun sebagai perang pemikiran, sebuah
perjuangan antara militerisme agresif dan kurang lebih demokrasi liberal. Sudah
diketahui bahwa jenderal-jenderal Britania adalah para pria yang mampu menghadapi
tantangan sulit, dan bahwa di bawah komando merekalah Angkatan Darat Britania
memainkan peran penting dalam kekalahan Jerman tahun 1918: sebuah kemenangan
besar yang terlupakan.
Meski para sejarawan menganggap segala persepsi
perang sebagai "mitos", itu hal yang biasa. Persepsi tersebut secara
dinamis berubah sesuai pengaruh kontemporer, berefleksi pada persepsi perang
tahun 1950-an sebagai 'tidak bertujuan' setelah Perang Dunia Kedua yang kontras
dan konflik besar pada masa-masa konflik kelas tahun 1960-an. Sebagian besar
tambahan terhadap kebalikannya sering ditolak.
Trauma sosial
Trauma sosial yang diakibatkan oleh jumlah korban
tidak terduga terbentuk dalam berbagai cara, yang selalu menjadi subjek
perdebatan sejarah selanjutnya. Sejumlah orang terbakar oleh nasionalisme dan
segala akibatnya, dan mulai mengupayakan terciptanya dunia internasionalis,
mendukung organisasi-organisasi seperti Liga Bangsa-Bangsa. Pasifisme semakin
populer. Pihak lain memberi reaksi bertentangan, merasa bahwa hanya kekuatan
dan militer yang mampu menangani dunia yang kacau dan tidak manusiawi ini.
Pandangan anti-modernis merupakan hasil dari berbagai perubahan yang terjadi
dalam masyarakat.
Pengalaman perang mengakibatkan trauma kolektif
yang dirasakan oleh sebagian besar negara terlibat. Optimisme la belle
époque hancur, dan mereka yang berperang disebut sebagai Generasi Hilang.
Selama bertahun-tahun pascaperang, orang-orang meratapi korban tewas, hilang,
dan cacat. Banyak tentara pulang dengan trauma luar biasa, mengalami guncangan
pertempuran (juga disebut neurastenia, sebuah keadaan yang terkait dengan gangguan
tekanan pascatrauma). Tentara lain pulang dengan sedikit dampak pascaperang;
akan tetapi, diamnya mereka mengenai perang berkontribusi pada status mitologi
yang terus berkembang mengenai konflik ini. Di Britania Raya, mobilisasi
massal, jumlah korban tinggi, dan runtuhnya zaman Edward membuat masyarakat
sangat puas. Meski banyak pihak terlibat tidak berbagi pengalaman dalam
pertempuran atau menghabiskan banyak waktu di garis depan, atau memiliki
ingatan positif mengenai jasa mereka, gambaran penderitaan dan trauma menjadi
persepsi yang terus-menerus dikembangkan. Sejarawan seperti Dan Todman, Paul
Fussell, dan Samuel Heyns menerbitkan banyak karya tulis sejak 1990-an yang
berpendapat bahwa persepsi perang yang umum faktanya salah.
Ketidakpuasan di Jerman
Munculnya Nazisme dan fasisme meliputi
kebangkitan spirit nasionalis dan penolakan berbagai perubahan pascaperang.
Sama pula, popularitas legenda pengkhianatan (Jerman: Dolchstoßlegende)
adalah wasiat terhadap keadaan psikologis Jerman yang kalah dan penolakan
tanggung jawab atas konflik ini. Teori konspirasi pengkhianatan ini menjadi
umum dan penduduk Jerman melihat diri mereka sebagai korban. Penerimaan rakyat
Jerman terhadap Dolchstoßlegende' memainkan peran penting dalam
kemunculan Nazisme. Rasa disilusi dan sinisisme dibesar-besarkan disertai
pertumbuhan nihilisme. Banyak pihak percaya perang ini mengawali akhir dunia
karena korban yang tinggi dari kalangan pria, pembubaran pemerintahan dan
kekaisaran, dan jatuhnya kapitalisme dan imperialisme.
Gerakan komunis dan sosialis di seluruh dunia
mengumpulkan kekuatan dari teroi ini dan menikmati popularitas baru.
Perasaan-perasaan ini lebih lantang diteriakkan di daerah-daerah yang langsung
terkena dampak perang. Dari ketidakpuasan Jerman terhadap Perjanjian Versailles
yang masih kontroversial, Adolf Hitler berhasil memperoleh popularitas dan
kekuasaan. Perang Dunia II juga merupakan kelanjutan perebutan kekuasan yang
tidak pernah selesai sepenuhnya oleh Perang Dunia Pertama; faktanya, sudah
biasa bagi Jerman pada tahun 1930-an dan 1940-an untuk menjustifikasi tindakan
agresi internasional karena persepsi ketidakadilan yang diberlakukan oleh para
pemenang Perang Dunia Pertama. Sejarawan Amerika Serikat William Rubinstein
menulis bahwa:
"'Zaman Totalitarianisme' mencakup hampir
semua contoh genosida terkenal dalam sejarah modern, dipimpin oleh Holocaust
Yahudi, tetapi juga terdiri dari pembunuhan dan pemusnahan massal di dunia
Komunis, pembunuhan massal lain oleh Jerman Nazi dan sekutunya, serta genosida
Armenia tahun 1915. Semua pembantaian ini memiliki asal usul yang sama,
kejatuhan struktur elit dan mode pemerintahan normal di sebagian besar Eropa
tengah, timur, dan selatan akibat Perang Dunia Pertama, yang tanpanya tentu
saja Komunisme atau Fasisme tidak akan muncul kecuali dalam pikiran para
penghasut dan orang sinting".
Pendirian negara modern Israel dan akar dari Konflik
Israel-Palestina yang terus berlanjut dapat ditemukan pada dinamika kekuatan
yang tidak stabil di Timur Tengah akibat Perang Dunia I. Sebelum perang
berakhir, Kesultanan Utsmaniyah berhasil mempertahankan pertahanan dan
stabilitas di seluruh Timur Tengah. Dengan jatuhnya pemerintahan Utsmaniyah,
kekosongan kekuasaan terjadi dan klaim wilayah dan kebangsaan saling
bermunculan. Perbatasan politik yang ditetapkan oleh para pemenang Perang Dunia
Pertama segera diberlakukan, kadang baru setelah konsultasi dengan penduduk
setempat. Dalam beberapa kasus, hal ini menjadi masalah dalam perjuangan identitas
nasional abad ke-21. Sementara bubarnya Kesultanan Utsmaniyah pada akhir Perang
Dunia I menentukan dalam kontribusi terhadap situasi politik modern di Timur
Tengah, termasuk konflik Arab-Israel, berakhirnya kekuasaan Utsmaniyah juga
menciptakan sengketa yang belum diketahui terhadap perairan dan sumber daya
alam lain.
Pandangan di Amerika Serikat
Intervensi A.S. dalam perang ini, termasuk
pemerintahan Wilson sendiri, semakin sangat tidak populer. Ini tampak dari penolakan
Senat A.S. terhadap Perjanjian Versailles dan keanggotaan di Liga Bangsa-Bangsa.
Pada masa antarperang, sebuah konsensus disepakati bahwa intervensi A.S. adalah
suatu kesalahan, dan Kongres mengesahkan beberapa hukum dalam upaya melindungi
netralitas A.S. pada konflik-konflik selanjutnya. Pemungutan suara tahun 1937
dan bulan-bulan pertama Perang Dunia II menunjukkan bahwa hampir 60% responden
menyatakan intervensi pada PDI adalah kesalahan, dan hanya 28% yang menentang
pandangan tersebut. Tetapi pada periode antara kejatuhan Perancis dan serangan
Pearl Harbor, opini publik berubah total dan untuk pertama kalinya mayoritas
responden menolak pandangan bahwa Perang Dunia I adalah suatu kesalahan.
Identitas nasional baru
Polandia lahir kembali sebagai sebuah negara
merdeka setelah lebih dari satu abad. Sebagai "bangsa Entente kecil"
dan negara dengan korban terbanyak per kapita, Kerajaan Serbia dan dinastinya
menjadi tulang belakang negara multinasional baru, Kerajaan Serbia, Kroasia,
dan Slovenia (kelak bernama Yugoslavia). Cekoslovakia, menggabungkan Kerajaan
Bohemia dengan sebagian Kerajaan Hongaria, dan menjadi satu bangsa baru. Rusia
menjadi Uni Soviet dan kehilangan Finlandia, Estonia, Lituania, dan Latvia,
yang menjadi negara-negara merdeka. Kesultanan Utsmaniyah langsung digantikan
oleh Turki dan beberapa negara lain di Timur Tengah.
Di Imperium Britania, perang ini melepaskan
bentuk baru nasionalisme. Di Australia dan Selandia Baru, Pertempuran Gallipoli
semakin terkenal sebagai "Baptisme Perjuangan" negara-negara
tersebut. Inilah perang besar pertama yang melibatkan negara-negara yang baru
berdiri, serta untuk pertama kalinya tentara Australia berperang sebagai
penduduk Australia, bukan subjek dari Kerajaan Britania Raya. Hari Anzac
memperingati Korps Angkatan Darat Australia dan Selandia Baru dan merayakan
momen-momen menentukan tersebut.
Setelah Pertempuran Vimy Ridge, tempat divisi
Kanada berperang bersama untuk pertama kalinya sebagai satu korps tunggal,
warga Kanada mulai menyebut diri mereka sebagia bangsa yang "ditempa dari
api". Berhasil di medan tempur yang sama tempat "negara induk"
gagal sebelumnya, Kanada untuk pertama kalinya dihormati secara internasional
atas keberhasilan mereka sendiri. Kanada memasuki perang dengan status Dominion
Imperium Britania dan tetap seperti itu, meski kelak bangkit dengan rasa
kemerdekaan yang lebih besar. Ketika Britania menyatakan perang pada tahun
1914, jajahan-jajahannya otomatis juga ikut perang; pada akhirnya, Kanada,
Australia, Selandia Baru, dan Afrika Selatan menjadi penandatangan Perjanjian
Versailles yang terpisah dari Britania.
Dampak ekonomi
Jerman, 1923: uang
kertas kehilangan nilai begitu besar sampai-sampai dijadikan pelapis dinding.
Jutaan warga kelas menengah Jerman menderita akibat hiperinflasi. Ketika perang
dimulai tahun 1914, satu dolar bernilai 4,2 mark; pada November 1923, satu
dolar bernilai 4,2 triliun mark.
Salah satu dampak paling dramatis setelah perang
adalah perluasan kekuasaan pemerintah dan tanggung jawab di Britania, Perancis,
Amerika Serikat, dan Jajahan Imperium Britania. Untuk memanfaatkan semua
kekuatan masyarakat mereka, pemerintah membentuk kementerian dan kekuasaan
baru. Pajak baru ditetapkan dan hukum disahkan, semuanya dirancang untuk
menunjang usaha perang; banyak yang masih ada sampai sekarang. Perang ini juga
membatasi kemampuan sejumlah bekas pemerintahan yang besar dan
terbirokratisasi, seperti Austria-Hongaria dan Jerman; akan tetapi, analisis
apapun mengenai dampak jangka panjang tidak berlaku akibat kekalahan negara-negara
tersebut.
Produk domestik bruto (PDB) naik di tiga negara
Sekutu (Britania, Italia, dan A.S.), tetapi turun di Perancis dan Rusia,
Belanda netral, dan tiga negara Sentral utama. Penurunan PDB di Austria, Rusia,
Perancis, dan Kesultanan Utsmaniyah mencapai 30 sampai 40%. Di Austria,
misalnya, banyak babi dipotong, sehingga tidak ada lagi daging pada akhir
perang.
Di semua negara, pangsa pemerintah di PDB
meningkat, melampaui 50% di Jerman dan Perancis dan nyaris mencapai level
tersebut di Britania. Untuk membayar pembelian di Amerika Serikat, Britania
melakukan investasi besar-besaran di industri rel kereta api Amerika Serikat
dan mulai meminjam uang dalam jumlah besar dari Wall Street. Presiden Wilson
berada di ambang pemotongan pinjaman pada akhir 1916, tetapi mengizinkan
peningkatan besar pinjaman pemerintah A.S. kepada negara Sekutu. Setelah 1919,
A.S. meminta pembayaran pinjaman tersebut. Pembayaran ini sebagian didanai oleh
dana perbaikan Jerman, yang sebaliknya, dibantu oleh pinjaman Amerika Serikat
ke Jerman. Sistem melingkar ini kolaps tahun 1931 dan pinjaman-pinjaman
tersebut tidak pernah terbayarkan. Tahun 1934, Britania berutang senilai US$4,4
miliar dalam bentuk utang Perang Dunia I.
Dampak makro dan mikroekonomi terjadi setelah
perang. Banyak keluarga berubah setelah kaum pria pergi berperang. Setelah
kematian atau ketiadaan pencari nafkah utama, wanita terpaksa bekerja dalam
jumlah besar. Pada saat yang sama, industri ingin mengganti buruh-buruh yang
hilang karena ikut berperang. Hal ini membantu perjuangan untuk menuntut
pemberian hak suara untuk wanita.
Perang Dunia I terus meningkatkan
ketidakseimbangan jenis kelamin, sehingga memunculkan fenomena wanita berlebih.
Kematian hampir satu juta pria selama perang memperlebar celah gender sebanyak
satu juta orang; dari 670.000 sampai 1.700.000 orang. Jumlah wanita belum
menikah yang mencari kemapanan ekonomi tumbuh pesar. Selain itu, demobilisasi
dan kemerosotan ekonomi setelah perang mengakibatkan tingginya pengangguran.
Perang meningkatkan jumlah pekerja wanita, akan tetapi kembalinya pria yang
terdemobilisasi menggantikan banyak wanita dari pekerjaannya, disertai
penutupan berbagai pabrik masa perang. Karena itu wanita yang bekerja selama
perang akhirnya terpaksa berjuang mencari pekerjaan dan wanita yang mendekati
usia kerja tidak mendapat kesempatan.
Di Britania, penjatahan akhirnya diberlakukan
pada awal 1918 untuk daging, gula, dan lemak (mentega dan oleo), namun bukan
roti. Sistem baru ini berjalan lancar. Sejak 1914 sampai 1918, keanggotaan
serikat dagang berlipat dari empat juta orang menjadi delapan juta orang. Mogok
kerja semakin sering terjadi pada tahun 1917–1918 karena serikat-serikat
tersebut tidak puas terhadap harga, pengendalian alkohol, sengketa gaji,
kelelahan akibat kerja berlebihan dan bekerja pada hari Minggu, dan rumah yang
tidak layak.
Britania mencari bantuan ke koloni-koloninya
dalam memperoleh material perang penting yang persediannya semakin langka di
sumber-sumber tradisional. Para geolog seperti Albert Ernest Kitson ditugaskan
mencari sumber mineral berharga baru di koloni Afrika. Kitson menemukan deposit
mangan baru di Gold Coast yang dipakai untuk pembuatan munisi.
Artikel 231 Perjanjian Versailles (klausa
"rasa bersalah perang") menyatakan Jerman dan sekutunya bertanggung
jawab atas semua "kehilangan dan kerusakan" yang diderita Sekutu
sepanjang perang dan memberi dasar untuk perbaikan pascaperang. Total perbaikan
yang dituntut senilai 132 miliar mark emas, lebih dari total emas atau valuta
asing Jerman. Masalah ekonomi yang mencuat dari pembayaran tersebut, dan
kekesalan Jerman atas posisi mereka, biasanya dianggap sebagai salah satu
faktor penting yang mendorong berakhirnya Republik Weimar dan awal dari
kediktatoran Adolf Hitler. Setelha kekalahan Jerman pada Perang Dunia II,
pembayaran perbaikan tidak dilanjutkan. Jerman selesai membayar perbaikan
pascaperang pada bulan Oktober 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkicau