Perang Dingin
Peristiwa ini dinamakan Perang Dingin karena kedua belah pihak tidak pernah terlibat dalam aksi militer secara langsung, namun masing-masing pihak memiliki senjata nuklir yang dapat menyebabkan kehancuran besar. Perang Dingin juga mengakibatkan ketegangan tinggi yang pada akhirnya memicu konflik militer regional seperti Blokade Berlin (1948–1949), Perang Korea (1950–1953), Krisis Suez (1956), Krisis Berlin 1961, Krisis Rudal Kuba (1962), Perang Vietnam (1959–1975), Perang Yom Kippur (1973), Perang Afganistan (1979–1989), dan penembakan Korean Air Penerbangan 007 oleh Soviet (1983). Alih-alih terlibat dalam konflik secara langsung, kedua belah pihak berkompetisi melalui koalisi militer, penyebaran ideologi dan pengaruh, memberikan bantuan kepada negara klien, spionase, kampanye propaganda secara besar-besaran, perlombaan nuklir, menarik negara-negara netral, bersaing di ajang olahraga internasional, dan kompetisi teknologi seperti Perlombaan Angkasa. AS dan Uni Soviet juga bersaing dalam berbagai perang proksi; di Amerika Latin dan Asia Tenggara, Uni Soviet membantu revolusi komunis yang ditentang oleh beberapa negara-negara Barat, Amerika Serikat berusaha untuk mencegahnya melalui pengiriman tentara dan peperangan. Dalam rangka meminimalkan resiko perang nuklir, kedua belah pihak sepakat melakukan pendekatan détente pada tahun 1970-an untuk meredakan ketegangan politik.
Pada tahun 1980-an,
Amerika Serikat kembali meningkatkan tekanan diplomatik, militer, dan
ekonomi terhadap Uni Soviet di saat negara komunis itu sedang
menderita stagnasi perekonomian.
Pada pertengahan 1980-an, Presiden Soviet yang baru, Mikhail Gorbachev,
memperkenalkan kebijakan reformasi liberalisasi perestroika
("rekonstruksi, reorganisasi", 1987) dan glasnost
("keterbukaan", ca.
1985). Kebijakan ini menyebabkan Soviet dan negara-negara satelitnya dilanda
oleh gelombang revolusi
damai yang berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, dan pada
akhirnya menyisakan Amerika Serikat sebagai satu-satunya kekuatan militer yang
dominan di dunia. Perang Dingin dan berbagai peristiwa yang menyertainya telah
menimbulkan dampak besar terhadap dunia dan sering disebutkan dalam budaya
populer, khususnya dalam media yang menampilkan tema spionase
dan ancaman perang nuklir.
Asal istilah
Pada akhir Perang Dunia II,
penulis dan jurnalis Inggris George Orwell
menggunakan istilah perang dingin sebagai istilah umum dalam esainya
yang berjudul "You and the Atomic
Bomb" (Anda dan Bom Atom), yang diterbitkan oleh surat kabar
Inggris, Tribune, pada tanggal
19 Oktober 1945. Esai tersebut menggambarkan dunia yang hidup di bawah ancaman perang nuklir.
Orwell menulis:
"Selama
empat puluh atau lima puluh tahun terakhir, Mr. H. G. Wells
dan yang lainnya telah memperingatkan kita bahwa manusia akan berada dalam
bahaya, menghancurkan dirinya dengan senjatanya sendiri, menyisakan semut atau
beberapa kelompok spesies lainnya untuk mengambil alih. Barangsiapa yang telah
melihat kehancuran kota-kota di Jerman akan berpikir bahwa gagasan ini setidaknya masuk akal.
Namun, jika melihat dunia secara keseluruhan, peristiwa selama beberapa dekade
terakhir tidak menuju ke arah anarki, namun ke arah pemberlakuan kembali
perbudakan. Kita mungkin tidak menuju ke arah pengrusakan umum, tapi ke zaman
perbudakan kuno yang mengerikan. Teori James Burnham telah banyak
dibahas, namun sebagian kecil orang belum menganggapnya sebagai implikasi ideologi.
Jenis pandangan terhadap dunia, jenis keyakinan, dan struktur sosial mungkin
akan menguasai negara yang tak terkalahkan dan menegakkannya dalam "perang
dingin" permanen dengan tetangganya."
Dalam The Observer edisi
10 Maret 1946, Orwell menulis bahwa "setelah konferensi Moskow Desember
lalu, Rusia mulai melakukan 'perang dingin' terhadap Britania dan Imperium Britania."
Istilah yang digunakan untuk
menggambarkan ketegangan geopolitik antara Uni Soviet dan negara
satelitnya dengan Amerika Serikat dan sekutu Eropa Barat-nya pasca-Perang Dunia
II dicetuskan pertama kali oleh Bernard Baruch, seorang
ahli keuangan Amerika dan penasihat presiden. Dalam sebuah pidato di South Carolina
pada tanggal 16 April 1947, Baruch menyatakan bahwa: "Janganlah kita
tertipu: hari ini kita ada di tengah-tengah perang dingin." Seorang
reporter dan kolumnis surat kabar bernama Walter Lippmann
menjabarkan penjelasan panjang lebar mengenai Perang Dingin dalam bukunya yang
berjudul The Cold War, ketika ditanyakan pada tahun 1947 tentang sumber
istilah "perang dingin", ia menyebutkan bahwa istilah tersebut
merujuk pada istilah Perancis dari tahun 1930-an, la guerre froide.
Latar belakang
Ada perdebatan di antara para sejarawan
mengenai titik awal dari Perang Dingin. Sebagian besar sejarawan menyatakan
bahwa Perang Dingin dimulai segera setelah Perang Dunia II berakhir, yang
lainnya berpendapat bahwa Perang Dingin sudah dimulai menjelang akhir Perang Dunia I,
meskipun ketegangan antara Kekaisaran Rusia,
negara-negara Eropa lainnya, dan Amerika Serikat sudah terjadi sejak
pertengahan abad ke-19.
Revolusi Bolshevik
di Rusia
pada tahun 1917 (diikuti dengan penarikan mundur pasukannya dari Perang Dunia
I), mengakibatkan Soviet Rusia terisolasi dari diplomasi internasional.
Pemimpin Vladimir Lenin menyatakan bahwa Uni Soviet
"dikepung oleh para kapitalis yang bermusuhan", dan ia memandang
diplomasi sebagai senjata untuk menjauhkan Soviet dari musuh, dimulai dengan
pembentukan Komintern
Soviet, yang menyerukan pergolakan revolusioner di luar Soviet.
Pemimpin Soviet Joseph Stalin,
yang menganggap Uni Soviet sebagai sebuah "kepulauan sosialis",
menyatakan bahwa Uni Soviet harus memandang "dominasi kapitalis saat ini
harus digantikan oleh dominasi sosialis." Pada awal 1925, Stalin
menyatakan bahwa ia memandang politik internasional sebagai sebuah dunia
bipolar di mana Uni Soviet akan menarik negara-negara lainnya ke arah
sosialisme dan negara-negara kapitalis juga akan menarik negara-negara lain ke
arah kapitalisme,
sementara dunia sedang berada dalam periode "stabilisasi sementara
kapitalisme" menjelang keruntuhannya.
Berbagai peristiwa menjelang
Perang Dunia Kedua menunjukkan adanya saling ketidakpercayaan dan kecurigaan
antara kekuatan Barat dan Uni Soviet, terlepas dari filosofi umum Partai Bolshevik
yang dibentuk untuk menentang kapitalisme. Ada dukungan dari Barat terhadap gerakan Putih
anti-Bolshevik dalam Perang Saudara Rusia, pemberian dana oleh Uni
Soviet kepada pekerja pemberontak Britania pada tahun 1926 menyebabkan Britania Raya
memutuskan hubungan dengan Uni Soviet, deklarasi Stalin tahun 1927 untuk hidup
berdampingan secara damai dengan negara-negara kapitalis diurungkan, tuduhan
adanya konspirasi dalam Peradilan Shakhty tahun
1928 yang direncanakan oleh Britania dan Perancis memicu kudeta, penolakan
Amerika untuk mengakui Uni Soviet hingga tahun 1933, dan Stalinisme
Peradilan Moskow untuk
kasus Pembersihan Besar-Besaran, serta tuduhan atas
adanya spionase dari Britania, Perancis, dan Jerman Nazi
merupakan peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi Perang Dingin.
Ketika Tentara Jerman menginvasi Uni Soviet pada bulan Juni 1941,
Sekutu mengambil keuntungan dari front baru ini dan memutuskan untuk membantu
Uni Soviet. Britania menandatangani persekutuan formal dan Amerika Serikat
membentuk kesepakatan informal dengan Soviet. Pada masa perang, Amerika Serikat
memfasilitasi Britania dan Soviet lewat program Lend-Lease nya.
Bagaimanapun juga, Stalin tetap
mencurigai kedua negara tersebut dan percaya bahwa Britania dan Amerika Serikat
bersekongkol untuk memastikan bahwa Soviet akan menanggung beban terbesar dalam
pertempuran menghadapi Jerman Nazi. Menurut pandangannya ini, Sekutu Barat
dengan sengaja menunda untuk membuka front anti-Jerman kedua dengan tujuan
untuk beraksi di saat-saat terakhir dan kemudian membuat penyelesaian damai.
Dengan demikian, persepsi Soviet terhadap Barat menyebabkan munculnya arus
ketegangan dan permusuhan dengan pihak Sekutu.
Akhir Perang Dunia II (1945–1947)
Konferensi pasca-perang di Eropa
Setelah perang, Sekutu tidak
menemui kesepakatan mengenai pembagian dan penetapan perbatasan di Eropa.
Masing-masing pihak memiliki ide-ide yang berbeda mengenai pembentukan dan
pemeliharaan keamanan dunia pasca-perang. Sekutu Barat menginginkan sistem
keamanan dengan membentuk seluas mungkin pemerintahan demokrasi, yang memungkinkan
negara-negara untuk menyelesaikan konflik secara damai melalui organisasi internasional.
Mengingat sejarah invasi yang
sering dilakukan terhadap Rusia, serta besarnya jumlah korban tewas
(diperkirakan 27 juta) dan kehancuran Uni Soviet yang berkelanjutan selama
Perang Dunia II, Uni Soviet berusaha untuk meningkatkan keamanan dengan
mendominasi urusan dalam negeri negara-negara yang berbatasan dengannya.
Sekutu Barat sendiri juga
memiliki perbedaan mengenai visi mereka terhadap keadaan dunia pasca-perang.
Tujuan Roosevelt - kejayaan militer di Eropa dan Asia, pencapaian supremasi
ekonomi global Amerika yang mengalahkan Imperium Britania,
dan menciptakan sebuah organisasi perdamaian dunia - lebih bersifat global
dibandingkan dengan Churcill, yang visinya berfokus untuk mengamankan kontrol
atas Laut Tengah,
memastikan keberlangsungan Imperium Britania, dan memerdekakan negara-negara Eropa Timur
untuk menjadikannya sebagai penyangga
antara Soviet dan Britania Raya.
Dalam pandangan Amerika, Stalin
dianggap sebagai salah satu sekutu potensial untuk mencapai tujuan mereka,
sedangkan dalam pandangan Britania, Stalin dianggap sebagai ancaman terbesar
dalam pencapaian agenda mereka. Dengan didudukinya sebagian besar negara-negara
Eropa Timur oleh Soviet, Stalin berada pada pihak yang beruntung dan kedua
pemimpin Barat saling bersaing untuk memperoleh dukungannya. Perbedaan visi
antara Roosevelt dan Churchill menyebabkan kedua belah pihak melakukan
negosiasi secara terpisah dengan Stalin. Pada bulan Oktober 1944, Churcill
melakukan perjalanan ke Moskow
dan sepakat untuk membagi Balkan
berdasarkan pengaruh masing-masing, dan tidak lama kemudian, di Yalta, Roosevelt juga
menandatangani kesepakatan terpisah dengan Stalin mengenai masalah Asia dan menolak
untuk mendukung Churcill dalam isu dan Reparasi Polandia.
Negosiasi lebih lanjut antara
Soviet dan Sekutu terkait dengan keseimbangan dunia pasca-perang berlangsung
dalam Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945,
meskipun konferensi ini juga gagal mencapai konsesus mengenai kerangka kerja
pasca-perang di Eropa. Pada bulan April 1945, Churcill dan Presiden Amerika
Serikat yang baru, Harry S. Truman, sepakat untuk menentang
keputusan Soviet yang memberi bantuan kepada pemerintahan Lublin, saingan Pemerintahan Polandia di pengasingan
yang dikontrol oleh Soviet.
Setelah kemenangan Sekutu pada
bulan Mei 1945, Soviet secara efektif mulai menduduki Eropa Timur, sedangkan
pasukan Amerika Serikat dan Sekutu Barat tetap bertahan di Eropa Barat.
Di wilayah Jerman yang diduduki Sekutu, Uni Soviet, Amerika Serikat, Britania
Raya dan Perancis
mendirikan zona pendudukan dan membentuk kerangka kerja
untuk membagi wilayah-wilayah tersebut menjadi empat zona pendudukan.
Konferensi Sekutu
pada tahun 1945 di San Francisco
menghasilkan keputusan mengenai pendirian organisasi PBB multi-nasional untuk
memelihara perdamaian dunia, namun kapasitas penegakannya oleh Dewan Keamanan secara efektif dilumpuhkan oleh
kemampuan anggotanya untuk menggunakan hak veto.
Oleh sebab itu, PBB pada dasarnya diubah menjadi sebuah forum aktif untuk
bertukar retorika polemik, dan Soviet dianggap secara eksklusif sebagai tribun propaganda.
Konferensi Potsdam dan kekalahan Jepang
Dalam Konferensi Potsdam, yang dimulai pada akhir
Juli setelah menyerahnya Jerman, perbedaan serius muncul terkait dengan
perkembangan masa depan Jerman dan Eropa Timur. Selain itu, jumlah partisipan
perang dan perbedaan kebiasaan dijadikan alasan oleh satu sama lainnya untuk
mengkonfirmasi kecurigaan mereka mengenai niat bermusuhan dan mempertahankan
kubu mereka masing-masing. Dalam konferensi ini, Truman memberitahu Stalin
bahwa Amerika Serikat memiliki senjata baru yang kuat.
Stalin menyadari bahwa Amerika
Serikat sedang mengembangkan bom atom, dan mengingat bahwa sasaran Amerika
Serikat mungkin adalah saingan Soviet, yaitu Jepang, maka Stalin
menanggapinya dengan tenang. Stalin berkata kalau ia merasa senang atas berita
tersebut dan menyatakan harapannya bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk
melawan Jepang. Satu minggu setelah berakhirnya Konferensi Potsdam, Amerika
Serikat membom Hiroshima dan Nagasaki.
Tak lama setelah serangan, Stalin protes kepada para petinggi Amerika Serikat
karena kecilnya bagian Jepang yang diduduki Sekutu
yang ditawarkan oleh Presiden Truman kepada Soviet.
Awal Blok Timur
Pada awal Perang Dunia II, Uni
Soviet meletakkan dasar bagi terbentuknya Blok Timur
dengan mencaplok langsung beberapa negara seperti Republik Sosialis
Soviet, yang awalnya diserahkan kepada Soviet oleh Jerman Nazi
dalam Pakta Molotov-Ribbentrop. Wilayah ini termasuk
Polandia bagian timur (kemudian dipisahkan menjadi dua negara Soviet
yang berbeda), Estonia (yang kemudian menjadi RSS Estonia), Latvia (menjadi RSS Latvia), Lithuania
(menjadi RSS Lithuania), bagian
timur Finlandia
(menjadi RSS Karelo-Finlandia), dan
Rumania
timur (yang menjadi RSS Moldavia).
Wilayah Eropa Timur yang
dibebaskan dari Nazi dan diduduki oleh pasukan Soviet selanjutnya juga
ditambahkan ke Blok Timur dengan mengubahnya menjadi negara satelit,
negara-negara ini di antaranya Jerman Timur,
Republik Rakyat Polandia, Republik Rakyat Bulgaria, Republik Rakyat Hongaria, Republik Sosialis Cekoslowakia,
Republik Rakyat Romania, dan Republik Rakyat Albania.
Rezim Soviet yang muncul di
negara-negara Blok Timur tidak hanya mengadopsi sistem ekonomi komando Soviet,
tetapi juga mengadopsi metode brutal yang digunakan oleh Joseph Stalin
dan polisi rahasia Soviet untuk menekan oposisi yang nyata dan potensial. Di
Asia, Tentara Merah
telah membanjiri Manchuria pada bulan-bulan terakhir perang, dan
melanjutkan untuk menempati sebagian besar wilayah Korea bagian utara.
Sebagai bagian dari konsolidasi
kontrol Stalin atas Blok Timur, NKVD,
yang dipimpin oleh Lavrentiy Beria, mengawasi
pembentukan sistem polisi rahasia yang bergaya Soviet di Blok Timur untuk
membasmi perlawanan anti-komunis. Jika muncul sedikit saja semangat kemerdekaan
di negara-negara Blok Timur, mereka yang terlibat akan disingkirkan dari
kekuasaan, diadili, dipenjarakan, dan dalam beberapa kasus, dieksekusi.
Perdana Menteri Britania Raya
Winston Churchill khawatir bahwa jumlah besar
pasukan Soviet yang ditempatkan di Eropa pada akhir perang, dan persepsi bahwa
pemimpin Soviet Joseph Stalin tidak dapat diandalkan, akan menimbulkan ancaman
bagi Eropa Barat.
Pada bulan April-Mei 1945, Kabinet Perang
Britania Raya mengembangkan sebuah rencana operasi untuk
"memaksakan kehendak Amerika Serikat dan Imperium Britania kepada
Rusia". Namun rencana ini ditolak oleh Kepala Staf Komite karena
ketidaklayakan sumber daya militer.
Persiapan untuk "perang baru"
Pada bulan Februari 1946,
laporan "Telegram Panjang" George F. Kennan dari
Moskow membantu untuk mengartikulasikan kebijakan pemerintah AS yang semakin
intensif dalam melawan Soviet, yang menjadi dasar bagi strategi Amerika Serikat
terhadap Uni Soviet selama Perang Dingin. Pada bulan September, pihak Soviet
merilis telegram Novikov,
yang dikirim oleh duta besar Soviet kepada Amerika Serikat, namun pengiriman
telegram ini ditugaskan dan juga ditulis oleh Vyacheslav Molotov, telegram ini menjelaskan
bahwa AS "berada dalam cengkeraman monopoli kapitalis yang mengembangkan
kemampuan militer dalam rangka mempersiapkan kondisi untuk memenangkan
supremasi dunia dalam sebuah perang baru".
Pada tanggal 6 September 1946, James F. Byrnes
menyampaikan pidato di Jerman yang menyangkal Rencana Morgenthau (sebuah
proposal untuk memisahkan dan de-industrialisasi di Jerman pasca-perang).
Byrnes juga memperingatkan Soviet bahwa AS berniat untuk mempertahankan
keberadaan militernya tanpa batas di Eropa. Sebulan kemudian, Byrnes mengakui
bahwa pernyataannya ini merupakan "intisari dari program kami untuk
memenangkan hati warga Jerman itu adalah pertempuran pikiran antara kami
dan Rusia"
Beberapa minggu setelah
dirilisnya "Telegram Panjang", mantan Perdana Menteri Britania
Winston Churchill menyampaikan istilah terkenalnya, "Tirai Besi",
dalam sebuah pidato di Fulton, Missouri. Dalam
pidato tersebut, Churcill menyerukan agar Inggris-Amerika bersekutu untuk
melawan Soviet, yang dituduhnya telah membentangkan sebuah "tirai
besi" dari "Stettin di Baltik
hingga ke Trieste
di Adriatik".
Pada tahun 1952, Stalin berulang kali mengajukan rencana
untuk menyatukan Jerman Timur dan Jerman Barat di bawah satu
pemerintahan tunggal yang dipilih dalam pemilihan umum yang diawasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa jika Jerman yang
baru ini terlepas dari aliansi militer Barat, namun usulan ini ditolak oleh
kekuatan Barat. Beberapa sumber mempersengketakan kesungguhan usulan ini.
Permulaan Perang Dingin (1947–1953)
Kominform dan perpecahan Tito–Stalin
Pada bulan September 1947,
Soviet membentuk Kominform, yang tujuannya adalah untuk
menegakkan ortodoksi dalam gerakan komunis internasional dan memperketat
kontrol politik atas negara-negara satelit Soviet melalui koordinasi dari pihak
komunis di Blok Timur.
Kominform mengalami kemunduran pada bulan Juni berikutnya setelah perpecahan Tito–Stalin,
yang menyebabkan Soviet mengucilkan Yugoslavia.
Yugoslavia tetap menjadi negara komunis, namun mulai mengadopsi posisi Non-Blok.
Kontainmen dan Doktrin Truman
Pada tahun 1947, penasihat
Presiden AS Harry S. Truman mendesak Truman untuk mengambil
langkah-langkah segera dalam melawan pengaruh Uni Soviet, mengingat upaya
Stalin (ditengah kebingungan dan keruntuhannya pasca-perang) untuk melemahkan
Amerika Serikat melalui persaingan yang bisa mendorong kalangan kapitalis agar
memicu perang lain. Bulan Februari 1947, pemerintah Britania mengumumkan bahwa
mereka tidak sanggup lagi membiayai rezim militer monarki Yunani dalam Perang Saudara Yunani untuk melawan pemberontak
komunis.
Tanggapan pemerintah Amerika
terhadap pengumuman Britania ini adalah bahwa mereka akan mengadopsi kebijakan kontainmen, yaitu
kebijakan yang bertujuan untuk menghentikan penyebaran komunisme.
Truman menyampaikan pidato yang menyerukan alokasi dana sebesar $ 400 untuk
memfasilitasi keterlibatan Amerika Serikat dalam perang Yunani dan meluncurkan Doktrin Truman,
yang menyatakan bahwa konflik tersebut merupakan kontes antara masyarakat bebas
dan rezim totaliter. Meskipun kenyataannya para pemberontak komunis mendapat
bantuan dari pemimpin Yogoslavia Josip Broz Tito,
AS menuduh bahwa Uni Soviet bersekongkol dengan komunis Yunani untuk melawan
royalis dalam upayanya untuk memperluas pengaruh Soviet.
Doktrin Truman menandai awal
dari kebijakan pertahanan bipartisan AS dan konsesus kebijakan luar negeri
antara Partai Republik dan Demokrat yang benar-benar
berfokus pada kontainmen (penahanan) dan pencegahan penyebaran komunisme selama
dan setelah Perang Vietnam. Partai moderat dan konservatif
lainnya di Eropa, serta demokratik sosial, mulai memberikan dukungan penuh tanpa
syarat kepada Sekutu Barat, sedangkan Komunis Amerika dan Eropa, dengan
dibiayai oleh KGB,
telibat dalam operasi intelijen, operasi ini tetap sesuai dengan aturan Moskow,
meskipun perbedaan pendapat di kalangan komunis ini mulai muncul setelah tahun
1956. Kritik lain terkait dengan Doktrin Truman ini berasal dari aktivis anti-Perang
Vietnam, CND dan gerakan pembekuan nuklir.
Rencana Marshall dan kudeta Cekoslowakia
Pada awal 1947, Britania,
Perancis, dan Amerika Serikat tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan Uni
Soviet mengenai rencana pembangunan kembali perekonomian Jerman, termasuk
jumlah rinci tentang penanaman modal industri, barang, dan infrastruktur yang
telah dihancurkan oleh Sekutu selama perang. Bulan Juni 1947, sesuai dengan
Doktrin Truman, Amerika Serikat mengesahkan program Rencana Marshall,
yaitu suatu program bantuan ekonomi bagi semua negara Eropa yang bersedia untuk
berpartisipasi, termasuk Uni Soviet.
Tujuan dari rencana ini adalah
untuk membangun kembali sistem demokrasi dan perekonomian Eropa dan untuk
membatasi pengaruh komunis di Eropa. Rencana ini juga menyatakan bahwa
kemakmuran Eropa bergantung pada pemulihan ekonomi Jerman. Satu bulan kemudian,
Truman mengesahkan Undang-Undang
Keamanan Nasional 1947, membentuk Departemen Pertahanan
terpadu, CIA, dan Badan Keamanan Nasional (NSC). Hal ini
selanjutnya akan menjadi birokrasi utama kebijakan AS dalam Perang Dingin.
Stalin percaya bahwa integrasi
ekonomi dengan Barat akan memungkinkan negara-negara Blok
Timur untuk memisahkan diri dari kontrol Soviet, Stalin juga percaya bahwa AS
berusaha untuk “membeli” Eropa agar berpihak kepada AS. Oleh sebab itu, Stalin
melarang negara-negara Blok Timur menerima bantuan Marshall.
Alternatif Uni Soviet dalam menandingi Rencana Marshall, yang konon
menghabiskan subsidi Soviet dan perdagangan dengan Eropa Timur, adalah dengan
membentuk Rencana Molotov (kemudian
dilembagakan pada bulan Januari 1949 dengan nama Comecon).
Stalin juga mengkhawatirkan upaya AS
untuk merekonstitusi Jerman; visi pasca-perangnya terhadap Jerman tidak
mencakup hal ini, karena Soviet enggan mempersenjatai kembali Jerman atau
dengan kata lain, takut bahwa hal itu akan menimbulkan ancaman lagi terhadap
Uni Soviet.
Pada awal 1948, menyusul laporan
yang memperkuat "elemen reaksioner" di Cekoslowakia,
Soviet melaksanakan kudeta
di Cekoslowakia, yang merupakan satu-satunya negara Blok Timur yang
diijinkan Soviet untuk mempertahankan struktur demokrasinya. Kebrutalan publik
dalam kudeta ini mengejutkan negara-negara Barat, perdebatan muncul di Kongres
Amerika Serikat, yang ketakutan bahwa perang akan terjadi kembali dalam upaya
Soviet untuk menyapu habis seluruh pendukung Rencana Marshall.
Kebijakan kembar Doktrin Truman
dan Rencana Marshall menyebabkan miliaran bantuan ekonomi dan militer mengalir
untuk Eropa Barat,
Yunani,
dan Turki.
Dengan bantuan AS, militer Yunani berhasil memenangkan perang saudara. Partai Demokrasi Kristen
Italia
juga sukses mengalahkan aliansi Komunis-Sosialis dalam pemilihan
umum tahun 1948. Pada saat yang bersamaan, terjadi peningkatan aktivitas
intelijen dan spionase,
pembelotan Blok
Timur, dan pengusiran diplomatik.
Blokade Berlin
Amerika Serikat dan Britania
menggabungkan zona pendudukan mereka di Jerman menjadi “Bizonia” (1 Januari 1947,
kemudian menjadi “Trizonia” setelah zona pendudukan Perancis juga digabungkan
pada bulan April 1949). Sebagai bagian dari upaya pembangunan kembali
perekonomian Jerman, pada awal 1948 perwakilan dari sejumlah negara Eropa Barat
dan Amerika Serikat mengumumkan kesepakatan untuk menggabungkan wilayah
pendudukan Jerman Barat menjadi sebuah pemerintahan federal. Selain itu, sesuai
dengan Rencana Marshall, mereka memulai kembali industrialisasi dan menata
kembali perekonomian Jerman bersama-sama, termasuk pengenalan mata uang baru Deutsche Mark
untuk menggantikan mata uang Reichsmark lama yang nilainya telah dijatuhkan
oleh Soviet.
Tidak lama kemudian, Stalin melembagakan
Blokade Berlin
(24 Juni 1948 - 12 Mei 1949), salah satu krisis besar pertama yang terjadi
selama Perang Dingin, yang bertujuan untuk memutus akses dan mencegah makanan,
bahan, dan perlengkapan lainnya memasuki Berlin Barat.
Amerika Serikat, Britania, Perancis, Kanada, Selandia Baru,
Australia,
dan beberapa negara lainnya memulai “bantuan udara” besar-besaran untuk memasok
Berlin Barat dengan makanan dan perlengkapan lainnya.
Soviet melancarkan kampanye
hubungan publik terhadap perubahan kebijakan di Jerman Barat. Para Komunis di
Berlin Timur berupaya untuk mengganggu prosesi pemilihan umum munisipal di
Berlin (seperti yang mereka lakukan dalam pemilu 1946), yang diselenggarakan
pada tanggal 5 Desember 1948 dan menghasilkan 86,3% pemilih sekaligus
kemenangan besar bagi partai non-Komunis. Hasil ini secara efektif membagi
Berlin menjadi dua bagian, yaitu Berlin Timur dan Berlin Barat. 300.000 warga
Berlin berunjukrasa dan mendesak agar bantuan udara internasional untuk Berlin
tetap dilanjutkan, dan pilot US Air Force Gail Halvorsen kemudian
menanggapinya dengan membentuk “Operasi Permen”
untuk memasok permen bagi anak-anak Jerman. Pada bulan Mei 1949, Stalin mundur
dan mencabut blokade terhadap Berlin.
Awal NATO dan Radio Free Europe
Britania, Perancis, Amerika
Serikat, Kanada dan delapan negara-negara Eropa Barat menandatangani Pakta Pertahanan Atlantik Utara
pada bulan April 1949 untuk mendirikan North Atlantic Treaty Organization
(NATO). Pada bulan Agustus, perangkat atom Soviet pertama diledakkan di Semipalatinsk, RSS Kazakhtan. Setelah
Soviet menolak untuk berpartisipasi dalam upaya pembangunan kembali Jerman yang
telah ditetapkan oleh negara-negara Eropa Barat pada tahun 1948, AS, Britania,
dan Perancis mempelopori pembentukan Jerman Barat
di tiga zona pendudukan mereka yang digabungkan pada bulan April 1949. Soviet
kemudian menyikapinya dengan memproklamirkan pendirian Republik Demokratik
Jerman di zona pendudukannya di Jerman Timur pada bulan Oktober.
Media massa di Blok Timur
merupakan organ negara,
operasionalnya benar-benar bergantung dan tunduk pada peraturan partai komunis,
media televisi dan radio ditetapkan sebagai badan usaha milik negara, sedangkan
media cetak
biasanya dimiliki oleh organisasi politik, sebagian besarnya dimiliki oleh
partai komunis lokal. Propaganda Soviet menggunakan filosofi Marxis
untuk menyerang kapitalisme, mengklaim eksploitasi tenaga kerja, dan perang
terhadap imperialisme.
Seiring dengan diperluasnya
siaran British Broadcasting
Corporation dan Voice of America
ke Eropa Timur, upaya propaganda besar-besaran dimulai pada tahun 1949 dengan
dibentuknya Radio Free
Europe/Radio Liberty, yang didedikasikan untuk memberitakan mengenai
era kekacauan dari sistem komunisme di Blok Timur. Radio Free Europe berusaha
untuk mencapai tujuannya dengan melayani pendengar sebagai stasiun radio
pengganti, serta menjadi alternatif bagi media dalam negeri yang dikontrol dan
didominasi oleh partai. Radio Free Europe Eropa adalah produk dari beberapa
arsitek yang paling menonjol dari strategi Perang Dingin awal Amerika, terutama
mereka yang percaya bahwa Perang Dingin pada akhirnya akan diperjuangkan lewat
jalur politik ketimbang militer, seperti George F. Kennan.
Pembuat kebijakan Amerika,
termasuk Kennan dan John Foster Dulles, mengakui bahwa Perang
Dingin pada kenyataannya merupakan sebuah perang gagasan. Amerika Serikat,
dibantu oleh CIA,
mendanai daftar panjang proyek-proyek untuk melawan daya tarik komunis bagi
kalangan intelektual Eropa dan negara-negara berkembang, atau dengan kata lain,
mencegah upaya Soviet untuk menyebarkan pengaruh komunisnya. CIA diam-diam juga
mensponsori kampanye propaganda dalam negeri yang disebut Pembasmian untuk
Kebebasan.
Pada awal 1950-an, AS berupaya
untuk mempersenjatai kembali Jerman Barat. Pada tahun 1955, AS menjamin
keanggotaan penuh Jerman Barat di NATO. Sebelumnya, bulan Mei 1953, Soviet
gagal mencegah upaya penggabungan Jerman Barat ke dalam NATO.
Perang Saudara Cina dan SEATO
Pada tahun 1949, Tentara
Pembebasan Rakyat Mao Zedong berhasil menggulingkan Pemerintahan
Nasionalis Kuomintang
(KMT) Chiang Kai-shek yang didukung oleh Amerika
Serikat di Tiongkok,
dan Uni Soviet kemudian menjalin aliansi dengan Republik Rakyat Tiongkok yang baru terbentuk.
Chiang dan pemerintahan KMT nya mundur ke kepulauan Taiwan. Karena dihadapkan
pada revolusi komunis di Tiongkok
dan akhir dari monopoli atom
Amerika Serikat pada tahun 1949, pemerintahan Truman segera memperluas dan
meningkatkan kebijakan kontainmen mereka di
Tiongkok. Dalam NSC-68, sebuah dokumen
rahasia pada tahun 1950, disebutkan bahwa Dewan Keamanan Nasional mengusulkan
untuk memperkuat sistem aliansi pro-Barat dan memperbesar pengeluaran
pertahanan.
Amerika Serikat selanjutnya juga
mulai memperluas kebijakan kontainmen mereka ke Asia, Afrika, dan Amerika Latin
untuk melawan gerakan nasionalis revolusioner, kebanyakannya dipimpin oleh
partai-partai komunis yang dibiayai oleh Soviet dan berjuang dalam menentang
dominasi kolonial Eropa di Asia Tenggara dan wilayah lainnya. Pada awal
1950-an (periode ini kadang dikenal dengan “Pactomania”), AS membentuk
serangkaian aliansi dengan Jepang, Australia, Selandia Baru, Thailand, dan Filipina
(terutama ANZUS
pada tahun 1951 dan SEATO pada tahun 1954).
Aliansi ini membuat AS memiliki sejumlah pangkalan militer jangka panjang di
negara-negara tersebut.
Perang Korea
Salah satu dampak yang
signifikan dari kebijakan kontainmen Amerika Serikat adalah pecahnya Perang Korea.
Pada bulan Juni 1950, Tentara Rakyat Korea Utara
di bawah arahan dari Kim Il-Sung menginvasi Korea Selatan.
Joseph Stalin “merencanakan, mempersiapkan, dan memulai” invasi tersebut,
menyusun “rencana [perang] dengan rinci” yang kemudian dikirimkan kepada Korea
Utara. Untuk mengejutkan Stalin, Dewan Keamanan PBB mendukung dan memfasilitasi
pertahanan di Korea Selatan, meskipun Soviet kemudian memboikot sidang sebagai
protes karena Taiwan yang diberi kursi tetap di dewan,
bukannya Komunis Cina. Personel militer gabungan PBB
yang terdiri dari Korea Selatan, AS, Britania Raya, Turki, Kanada, Australia,
Perancis, Afrika Selatan, Filipina, Belanda, Belgia, Selandia Baru, dan
negara-negara lainnya bersatu untuk menghentikan invasi ini.
Efek lain dari Perang Korea
adalah mendorong NATO
untuk mengembangkan struktur militer. Opini publik di negara-negara yang
terlibat, seperti Britania, sebagian besar menentang perang ini. Banyak yang
ketakutan bahwa perang ini akan meningkat menjadi perang besar dengan Komunis
Cina, atau bahkan menjadi perang nuklir. Pandangan yang berbeda mengenai
perang ini seringkali menimbulkan ketegangan dalam hubungan
Britania–Amerika. Karena alasan ini, Britania mengambil langkah
cepat untuk meredakan konflik dengan mencetuskan ide mengenai mempersatukan
Korea di bawah naungan PBB dan penarikan semua pasukan asing.
Meskipun Cina dan Korea Utara
sudah lelah akibat perang yang berkelanjutan dan siap untuk mengakhirinya pada
tahun 1952, Stalin bersikeras bahwa mereka harus terus berjuang, dan gencatan senjata
baru disetujui pada tahun 1953 setelah kematian Stalin. Pemimpin Korea Utara
Kim Il Sung kemudian menciptakan kediktatoran yang sangat terpusat dan brutal
di Korea Utara, memberikannya kekuasaan tak terbatas dan menghasilkan sebuah
kultus kepribadian yang tak tertembus berdekade-dekade lamanya. Di Korea
Selatan, pemimpin korup Syngman Rhee
yang mendapat dukungan dari AS menerapkan sistem pemerintahan totaliter.
Setelah Rhee digulingkan pada tahun 1960, Korea Selatan jatuh di bawah masa
pemerintahan militer yang berlangsung sampai pembentukan kembali sistem
multi-partai pada tahun 1987.
Krisis dan peningkatan (1953-1962)
Khrushchev, Eisenhower dan de-Stalinisasi
Pada tahun 1953, perubahan dalam
kepemimpinan politik di kedua belah pihak turut menggeser dinamika Perang
Dingin. Dwight D. Eisenhower dilantik sebagai Presiden
AS yang baru pada bulan Januari. Selama 18 bulan terakhir pemerintahan Truman,
anggaran pertahanan Amerika Serikat telah meningkat empat kali lipat, dan
Eisenhower bertekad untuk mengurangi sepertiga dari pengeluaran militer sambil
terus berjuang dalam Perang Dingin secara efektif.
Setelah kematian Joseph Stalin,
Nikita Khrushchev menjadi pemimpin Soviet
setelah deposisi dan pengeksekusian Lavrentiy Beria dan juga
menyingkirkan saingannya seperti Georgy Malenkov
dan Vyacheslav Molotov. Pada tanggal 25 Februari
1956, Khrushchev mengejutkan delegasi dalam Kongres ke-20 Partai Komunis Soviet dengan mencela kejahatan
Stalin. Sebagai bagian dari kampanye de-Stalinisasi, ia
menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mereformasi dan menjauh dari kebijakan
Stalin adalah dengan mengakui kesalahan yang dilakukannya di masa lalu.
Pada tanggal 18 November 1956,
saat berpidato kepada duta besar Barat dalam sebuah resepsi di kedutaan
Polandia di Moskow, Khrushchev mengungkapkan kalimat terkenalnya: "Entah
kalian suka atau tidak, sejarah berada di pihak kami. Kami akan mengubur
kalian", pernyataannya ini mengejutkan semua tamu yang hadir. Khrushchev
kemudian mengklaim bahwa ia tidak membicarakan mengenai perang nuklir,
melainkan mengenai kemenangan komunisme atas kapitalisme. Tahun 1961,
Khrushchev menyatakan: "bahkan jika Uni Soviet berada di belakang Barat,
dalam satu dekade kekurangan perumahan akan lenyap, barang-barang konsumsi akan
melimpah, dan dalam dua dekade, pembangunan masyarakat komunis di Uni Soviet
akan selesai".
Sekretaris negara Eisenhower,
John Foster Dulles, memprakarsai kebijakan "New Look" sebagai
strategi kontainmen (penahanan) baru, yang menyerukan agar AS lebih
mengandalkan senjata nuklir untuk melawan musuh-musuhnya di masa perang. Dulles
juga menyerukan doktrin "pembalasan besar-besaran" dan menyuruh AS
untuk tidak menanggapi setiap agresi Soviet. Sebagai contoh, karena Soviet
memiliki keunggulan nuklir, Eisenhower, di bawah ancaman dari Khrushchev, menolak
untuk campur tangan dalam Krisis Suez di Timur Tengah
pada tahun 1956.
Pakta Warsawa dan Revolusi Hungaria
Setelah kematian Stalin pada
tahun 1953, ketegangan berlangsung dengan sedikit lebih santai, meskipun
situasi di Eropa tetap belum kondusif. Soviet, yang sudah membentuk jaringan
perjanjian bantuan timbal balik dalam Blok Timur
pada tahun 1949, juga membentuk suatu aliansi formal untuk melengkapinya, yaitu
Pakta Warsawa
pada tahun 1955.
Revolusi Hongaria
1956 terjadi tak lama setelah Khrushchev menghapuskan kekuasaan pemimpin
Stalinis Hongaria Mátyás Rákosi. Sebagai tanggapan terhadap
pemberontakan, rezim baru ini secara resmi dibubarkan oleh polisi rahasia, menyatakan niatnya untuk
menarik diri dari Pakta Warsawa dan berjanji untuk
menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas. Tentara Soviet mulai menyerbu.
Ribuan warga Hongaria ditangkap, dipenjarakan, dideportasi ke Uni Soviet, dan
lebih dari 200.000 warga melarikan diri keluar Hongaria. Pemimpin Hongaria Imre Nagy
dan yang lainnya dieksekusi setelah diproses dalam sebuah persidangan rahasia.
Dari 1957 sampai 1961,
Khrushchev secara terbuka dan berulang kali mengancam Barat dengan pemusnahan
nuklir. Dia mengklaim bahwa kemampuan rudal Soviet jauh lebih unggul daripada
Amerika Serikat, dan mampu memusnahkan kota-kota di Amerika atau Eropa. Namun,
Khrushchev menolak keyakinan Stalin dalam keniscayaan perang dan menyatakan
bahwa tujuan barunya adalah untuk "hidup berdampingan secara damai".
Kebijakan ini berbeda dengan Soviet pada era Stalin, di mana perjuangan kelas
internasional berarti bahwa kedua kubu yang berlawanan berada pada konflik tak
terelakkan dengan komunisme yang akan menang melalui perang global.
Sekarang, perdamaian akan memungkinkan kapitalisme untuk menghadapi
keruntuhannya sendiri, dan juga memberikan waktu bagi Soviet untuk meningkatkan
kemampuan militer mereka, yang akan tetap bertahan puluhan tahun sampai
munculnya era "pemikiran baru" Gorbachev.
Peristiwa di Hongaria
melumpuhkan ideologi partai-partai Komunis dunia, terutama di Eropa Barat,
dan terjadi penurunan yang besar dalam jumlah keanggotaan partai. Negara-negara
Barat dan komunis merasa kecewa dengan respon brutal Soviet. Partai komunis di
Barat tidak pernah pulih dari pengaruh Revolusi Hongaria dalam hal keanggotaan
partai, fakta yang segera diakui oleh beberapa pihak, seperti politisi Yugoslavia
Milovan Djilas,
yang menyatakan bahwa: "luka yang ditorehkan oleh Revolusi Hongaria
terhadap komunisme tidak pernah benar-benar sembuh".
Ultimatum Berlin dan integrasi Eropa
Selama bulan November 1958,
Khrushchev gagal untuk mengubah seluruh Berlin menjadi "kota
yang independen, terdemiliterisasi dan bebas", hal ini membuat Amerika
Serikat, Britania, dan Perancis diberi ultimatum enam bulan untuk menarik
pasukan mereka dari sektor yang masih diduduki di Berlin Barat, atau Khrushchev
akan mengalihkan kendali hak akses Barat ke Jerman Timur.
Khrushchev sebelumnya menjelaskan kepada Mao Zedong
bahwa "Berlin adalah testikelnya Barat. Setiap kali saya ingin membuat
Barat menjerit, maka saya akan meremas Berlin." NATO secara resmi menolak
ultimatum ini pada pertengahan Desember dan Khrushchev menarik kembali
ultimatumnya dalam konferensi Jenewa.
Lebih luas lagi, salah satu ciri
dari tahun 1950-an adalah awal dari integrasi-Eropa, yang
merupakan produk dari Perang Dingin yang memperomosikan politik, ekonomi, dan
militer Truman dan Eisenhower, namun kemudian hal ini dipandang sebagai
kebijakan yang ambigu, takut bahwa Eropa yang independen akan melakukan détente
terpisah dari Uni Soviet, yang bisa digunakan untuk memperburuk perpecahan
Barat.
Persaingan di Dunia Ketiga
Gerakan nasionalis di beberapa
negara seperti Guatemala, Indonesia
dan Indocina
seringkali bersekutu dengan kelompok komunis, atau yang dianggap oleh Barat
dibantu oleh komunis. Dalam konteks ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet semakin
meningkatkan persaingan mereka untuk menyebarkan pengaruh dengan cara mencari
proksi di Dunia Ketiga, dan ini bertepatan dengan
momentum dekolonisasi pada tahun 1950-an dan awal
1960-an. Selain itu, Soviet terus dirugikan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.
Kedua belah pihak mulai melakukan pengiriman dan penjualan senjata kepada
negara-negara Dunia Ketiga untuk mendapatkan pengaruh.
Amerika Serikat memanfaatkan Central Intelligence Agency (CIA) untuk menyusup
ke dalam pergolakan politik di Dunia Ketiga dan juga untuk mendukung sekutu
mereka. Pada tahun 1953, CIA melaksanakan Operasi Ajax, sebuah
operasi rahasia yang bertujuan untuk menggulingkan perdana menteri Iran, Mohammed Mossadegh. Mosadegh yang menganut
prinsip Non-Blok telah menjadi nemesis Timur Tengah
bagi Britania sejak ia menasionalisasi perusahaan minyak Anglo-Iranian Oil
Company milik Britania pada tahun 1951. Winston Churchill
mengatakan kepada AS bahwa Mossadegh "semakin beralih ke komunisme". Shah yang pro-Barat, Mohammad Reza Pahlavi, kemudian naik jabatan
sebagai monarki otokratik. Kebijakan Shah
yang baru ini di antaranya melarang aktivitas partai komunis Tudeh dan penekanan
perbedaan pendapat politik oleh SAVAK, badan keamanan dan
intelijen dalam negeri Shah.
Di Guatemala,
sebuah kudeta militer yang didukung CIA
berhasil menggulingkan presiden sayap kiri Jacobo Arbenz Guzmán pada
tahun 1954. Pemerintah pasca-Arbenz yang dipimpin oleh Carlos Castillo Armas
mengembalikan semua properti milik AS yang dinasionalisasi, membentuk Komite Nasional
Pertahanan Melawan Komunisme, dan mendekritkan Hukum Pidana
Pencegahan Terhadap Komunisme atas permintaan Amerika Serikat.
Presiden Indonesia, Soekarno,
yang menganut prinsip-prinsip Non-Blok, dihadapkan pada ancaman besar pada awal
tahun 1956, ketika beberapa komandan daerah mulai menuntut otonomi dari Jakarta.
Setelah proses mediasi gagal, Soekarno mengambil tindakan tegas untuk
menyingkirkan mereka yang membangkang. Pada bulan Februari 1958, komandan
militer di Sumatera Tengah (Kolonel Ahmad Hussein) dan
Sulawesi Utara (Kolonel Ventje Sumual) mendeklarasikan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia-Permesta, yang bertujuan untuk menggulingkan
rezim Soekarno. Mereka bergabung dengan politisi sipil lainnya dari Partai Masyumi
seperti Sjafruddin Prawiranegara, yang menentang
pertumbuhan pengaruh dari Partai Komunis Indonesia. Karena retorika
anti-komunis mereka, pemberontakan mereka mendapat bantuan senjata, dana, dan
bantuan lainnya dari CIA. Hal ini terbukti saat pesawat Amerika yang dipiloti
oleh Allen Lawrence Pope tertembak jatuh di Ambon pada bulan April
1958. Pemerintah pusat menanggapinya dengan meluncurkan invasi militer lewat
laut dan udara melalui Padang
dan Manado.
Pada akhir 1958, para pemberontak berhasil dikalahkan, dan pemberontak yang
tersisa menyerahkan diri pada bulan Agustus 1961.
Di Irak, Abd al-Karim Qasim menggulingkan monarki Hashemite
pada tahun 1958 dan membangun aliansi dengan Partai Komunis Irak dan
Uni Soviet. Meskipun Partai Ba'ath
yang anti-komunis adalah faksi dominan dalam kabinet Qasim, AS mulai khawatir
bahwa pemberontakan mungkin akan menginspirasi "reaksi berantai" di
seluruh Timur Tengah. Mesir dan Suriah juga berusaha untuk membunuh Qasim untuk
alasan mereka sendiri, CIA juga dianggap berperan dalam mengirimkan saputangan
beracun kepada Qasim (meskipun masih diperdebatkan). Setelah serangkaian
kudeta, Ba'athist berhasil merebut kekuasaan pada tahun 1968, kemungkinan
dengan dukungan dari KGB, meskipun militer Irak juga melakukan kudeta.
Di Republik Kongo, yang baru
merdeka dari Belgia
pada bulan Juni 1960, CIA menghasut presiden Joseph Kasa-Vubu untuk
memecat Perdana Menteri terpilih Patrice Lumumba
dan membubarkan kabinet Lumumba pada bulan September. Dalam Krisis Kongo yang terjadi
setelahnya, CIA mendukung Kolonel Mobutu dengan cara
memobilisasi pasukannya untuk merebut kekuasaan melalui kudeta militer.
Di Guiana Britania,
kandidat Partai Progresif
Rakyat (PPP) yang berhaluan kiri, Cheddi Jagan, memenangkan
posisi ketua menteri dalam pemilihan umum kolonial yang diselenggarakan pada
tahun 1953, namun secara cepat dipaksa untuk mengundurkan diri dari jabatannya
setelah adanya suspensi dari Britania Raya yang masih memiliki kewenangan
terhadap konstitusi negara tersebut. Dipermalukan oleh kemenangan telak Jagan
yang diduga Marxis, Britania memenjarakan ketua PPP pada tahun 1955 dan
merekayasa perpecahan antara Jagan dengan rekan PPP nya. Jagan lagi-lagi
memenangkan pemilu kolonial pada tahun 1957 dan 1961. Amerika Serikat menekan
Britania untuk menunda memberikan kemerdekaan kepada Guiana sampai haluan
politik Jagan telah teridentifikasi.
Karena dilelahkan oleh perang gerilya komunis yang menuntut kemerdekaan Vietnam,
Perancis setuju untuk melakukan negosiasi dengan komunis Vietnam. Dalam Konferensi Jenewa,
perjanjian damai ditandatangani, dan Vietnam dibagi menjadi Vietnam Utara
yang pro-Soviet dan Vietnam Selatan yang pro-Barat. Antara tahun
1954 dan 1961, Amerika Serikat mengirimkan bantuan ekonomi dan penasihat
militer untuk memperkuat rezim pro-Barat Vietnam Selatan dalam menghalangi
upaya komunis yang berniat untuk mengacaukannya.
Banyak negara-negara berkembang
di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menolak tekanan untuk memihak salah
satu blok. Pada tahun 1955, dalam Konferensi Bandung di Indonesia, puluhan negara
Dunia Ketiga memutuskan untuk keluar dari Perang Dingin. Konsesus yang
ditetapkan di Bandung mencapai puncaknya dengan didirikannya Gerakan Non-Blok
yang bermarkas di Belgrade pada tahun 1961. Sementara itu,
Khrushchev memperluas kebijakan Moskow dengan menjalin hubungan dengan India dan negara-negara
netral lainnya. Gerakan kemerdekaan di Dunia Ketiga mengubah tatanan dunia
pasca-perang menjadi lebih pluralistik dengan diterapkannya dekolonisasi
bagi negara-negara Afrika dan Timur Tengah dan semangat nasionalisme juga meningkat
di Asia dan Amerika Latin.
Perpecahan Sino-Soviet dan Perlombaan Angkasa
Periode setelah 1956 ditandai
dengan kemunduran serius bagi Uni Soviet, terutama pecahnya aliansi
Cina-Soviet, yang dimulai dengan perpecahan Sino-Soviet. Mao membela Stalin
ketika Khrushchev mengkritiknya setelah kematiannya pada tahun 1956, dan
menganggap pemimpin Soviet yang baru sebagai "pemula yang dangkal",
Mao juga menuduhnya telah kehilangan sisi revolusioner. Sementara itu,
Khrushchev, yang merasa terganggu atas sikap Mao yang anti-perang nuklir,
menyebut pemimpin Cina sebagai "orang yang gila takhta".
Setelah hal itu terjadi,
Khrushchev melakukan berbagai upaya untuk membangun kembali aliansi dengan
Cina, namun Mao menolak setiap usulannya. Permusuhan Cina-Soviet ini akhirnya
tumpah dalam perang propaganda intra-komunis. Selanjutnya, Soviet mulai
berfokus pada persaingan sengit dengan Cina untuk memperebutkan posisi sebagai
pemimpin gerakan komunis dunia.
Dilatardepani oleh senjata nuklir,
Amerika Serikat dan Uni Soviet mulai bersaing untuk membangun persenjataan
nuklir dan mengembangkan senjata jangka-panjang yang bisa mereka pergunakan
untuk menyerang satu sama lain. Bulan Agustus 1957, Soviet berhasil meluncurkan
peluru kendali balistik antar benua
pertama (ICBM), dan pada bulan Oktobernya, Soviet meluncurkan satelit Bumi
pertama, Sputnik. Peluncuran Sputnik ini menandai
dimulainya Perlombaan Angkasa antara Soviet dan Amerika
Serikat. Persaingan ini memuncak dengan pendaratan Apollo di
Bulan, yang dideskripsikan oleh astronot Frank Borman sebagai
"pertempuran dalam Perang Dingin".
Revolusi Kuba dan Invasi Teluk Babi
Di Kuba, Gerakan 26 Juli berhasil
merebut kekuasaan pada bulan Januari 1959, menjatuhkan Presiden Fulgencio Batista,
yang rezimnya tidak populer dan tidak direstui oleh pemerintahan Eisenhower.
Hubungan diplomatik antara Kuba
dan Amerika Serikat terus berlanjut selama beberapa waktu setelah kejatuhan
Batista, namun Presiden Eisenhower sengaja meninggalkan ibu kota untuk
menghindari pertemuan dengan pemimpin pemuda revolusioner Kuba Fidel Castro
pada bulan April, dan memerintahkan Wakil Presiden Richard Nixon
untuk mengadakan pertemuan dengan Castro di kediamannya. Eisenhower tidak
yakin, apakah Castro seorang komunis atau bukan. Eisenhower juga menentang
upaya Kuba untuk mengurangi ketergantungan ekonomi mereka pada Amerika Serikat.
Kuba mulai melakukan negosiasi pembelian senjata dengan Eropa Timur pada bulan
Maret 1960.
Bulan Januari 1961, sesaat
sebelum turun dari jabatannya, Eisenhower secara resmi memutuskan hubungan
dengan pemerintah Kuba. Pada bulan April 1961, Presiden Amerika yang baru
terpilih, John F. Kennedy, dengan bantuan dari CIA, gagal menginvasi pulau-pulau
di Playa Girón dan Playa Larga di Provinsi Las Villas —
kegagalan yang mempermalukan Amerika Serikat di mata dunia.[165]
Castro menanggapinya dengan mengadopsi paham Marxisme-Leninisme, dan Soviet berjanji untuk
memberikan dukungan lebih lanjut kepada Kuba.
Krisis Berlin 1961
Krisis Berlin 1961 adalah
insiden besar terakhir yang terjadi dalam masa Perang Dingin terkait dengan
status Berlin
dan kondisi Jerman pasca-Perang Dunia II. Pada awal 1950-an, pendekatan Soviet
mengenai kebijakan pembatasan emigrasi ditiru oleh sebagian besar
negara Blok Timur
lainnya. Namun, ratusan ribu warga Jerman Timur
beremigrasi ke Jerman Barat setiap tahunnya melalui
"celah" yang terdapat dalam sistem antara Berlin Timur dan Berlin
Barat dan dengan bantuan dari pasukan Sekutu di Jerman Barat.
Emigrasi menyebabkan
berpindahnya sumber daya manusia yang berpotensi seperti kalangan profesional
terdidik dari Jerman Timur ke Jerman Barat, hampir 20% penduduk Jerman Timur
telah bermigrasi ke Jerman Barat pada tahun 1961. Pada bulan Juni, Uni Soviet
mengeluarkan ultimatum baru yang menuntut penarikan pasukan Sekutu dari Berlin Barat.
Permintaan tersebut ditolak, dan pada tanggal 13 Agustus, Jerman Timur
mendirikan penghalang kawat berduri yang kemudian konstruksinya diperluas
hingga kelak membentuk Tembok Berlin, yang secara efektif menutup
"celah" antara kedua wilayah tersebut.
Krisis Rudal Kuba dan penggulingan Khrushchev
Setelah Invasi Teluk Babi,
Kennedy terus mencari cara untuk menggulingkan Castro,
Kennedy dan pemerintahannya bereksperimen secara diam-diam dengan memfasilitasi
penggulingan pemerintahan Kuba.
Harapan yang signifikan disematkan pada sebuah program rahasia bernama Proyek Kuba, yang
dirancang di bawah pemerintahan Kennedy pada tahun 1961.
Pada bulan Februari 1962,
Khrushchev mengetahui rencana Amerika terhadap Kuba: "proyek
Kuba" — disetujui oleh CIA dan menetapkan penggulingan pemerintah
Kuba pada bulan Oktober, kemungkinan melibatkan militer Amerika — dan
Kennedy mungkin memerintahkan operasi pembunuhan terhadap Castro. Sebagai
respon, Soviet mempersiapkan pemasangan rudal nuklirnya di Kuba.
Khawatir, Kennedy memutuskan
berbagai reaksi untuk menanggapinya, dan akhirnya menanggapi instalasi rudal
nuklir Soviet di Kuba dengan melakukan blokade laut dan memberikan ultimatum
kepada Soviet. Khrushchev mundur dari konfrontasi, dan Uni Soviet membongkar
rudalnya dengan imbalan janji Amerika agar tidak lagi menyerang Kuba.
Krisis Rudal Kuba
(Oktober-November 1962) membawa dunia lebih dekat ke arah perang nuklir
daripada sebelumnya. Lebih lanjut, peristiwa tersebut juga menunjukkan konsep
saling meyakinkan akan bahaya kehancuran, bahwa negara adidaya
tidak siap untuk menggunakan senjata nuklir mereka, takut akan adanya
kehancuran global total karena saling balas dendam. Dampak dari krisis ini
menyebabkan dilakukannya upaya pertama dalam membatasi perlombaan senjata
nuklir dengan pelucutan senjata dan perbaikan hubungan, meskipun
upaya-upaya untuk mencegah meletusnya perang nuklir telah ditetapkan sejak
tahun 1961 melalui Perjanjian Antartika.
Tahun 1964, rekan Kremlin
Khrushchev berhasil menggulingkannya, namun tetap mengijinkannya
untuk pensiun dengan damai. Khrushchev dituduh memerintah dengan kasar dan
inkompetensi, dia juga dianggap telah menghancurkan sektor pertanian Soviet dan
membawa dunia ke ambang perang nuklir. Khrushchev juga dikatakan telah
mempermalukan dunia komunis ketika ia meresmikan pembangunan Tembok Berlin,
yang dianggap sebagai sebuah penghinaan publik untuk Marxisme-Leninisme.
Konfrontasi melalui détente (1962–1979)
Pada periode 1960-an dan
1970-an, peserta Perang Dingin berjuang untuk menyesuaikan diri dengan pola
baru hubungan internasional yang lebih rumit, dunia
tidak lagi dibagi menjadi dua blok besar yang bertentangan. Dari awal periode
pasca-perang, Eropa Barat dan Jepang
dengan cepat pulih dari kehancuran Perang Dunia II dan mulai mengalami
pertumbuhan ekonomi yang kuat sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an, dengan PDB
per kapita yang hampir mendekati Amerika Serikat, sedangkan perekonomian Blok
Timur mengalami stagnasi.
Sebagai akibat dari krisis minyak 1973, dikombinasikan dengan
semakin kuatnya pengaruh Dunia Ketiga dengan mendirikan
organisasi-organisasi seperti Organisasi
Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Gerakan Non-Blok,
negara-negara Dunia Ketiga memiliki lebih banyak ruang untuk memproklamirkan
kemerdekaan mereka dan semakin menunjukkan bahwa mereka tahan banting terhadap
tekanan dari negara adidaya. Sementara itu, Soviet
dipaksa untuk mengalihkan perhatiannya pada isu-isu internal seperti
permasalahan ekonomi di dalam negeri. Selama periode ini, pemimpin Soviet
seperti Leonid Brezhnev dan Alexei Kosygin
mulai menerapkan pendekatan détente.
Pengunduran diri Perancis dari NATO
Keberlangsungan NATO sudah menghadapi
tantangan pada awal sejarahnya, krisis terjadi selama kepemimpinan Charles de Gaulle
dari Perancis
pada tahun 1958 dan seterusnya. De Gaulle protes mengenai kuatnya peran Amerika
Serikat dalam organisasi dan cemburu atas "hubungan istimewa"
antara Amerika Serikat dan Britania Raya. Dalam sebuah memo yang dikirimkan
pada Presiden Dwight D. Eisenhower dan Perdana Menteri Harold Macmillan
pada tanggal 17 September 1958, ia berpendapat untuk membentuk tiga serangkai
direktorat yang akan memposisikan Perancis pada kedudukan yang sama dengan
Amerika Serikat dan Britania Raya, dan juga perluasan cakupan NATO ke wilayah
geografis yang memiliki kepentingan dengan Perancis, seperti Aljazair Perancis,
yang pemberontakannya di dukung oleh Perancis. Karena respon yang diberikan
tidak memuaskan, de Gaulle mulai mengembangkan penangkal nuklir Perancis
secara independen dan pada tahun 1966, Perancis mengundurkan diri dari NATO,
diikuti dengan pengusiran semua pasukan NATO dari daratan Perancis.
Invasi Cekoslowakia
Pada tahun 1968, periode
liberalisasi politik di Cekoslowakia, yang dijuluki dengan Musim Semi Praha,
berlangsung dengan berbagai aksi, di antaranya "Program Aksi"
liberalisasi, yang menuntut perluasan kebebasan pers, kebebasan berbicara dan
kebebasan bergerak, juga penekanan ekonomi pada barang-barang konsumsi,
kemungkinan sistem multi partai, membatasi kekuasaan polisi rahasia, dan
kemungkinan Cekoslowakia untuk menarik diri dari Pakta Warsawa.
Sebagai jawaban atas aksi Musim
Semi Praha, tentara Soviet bersama dengan sebagian besar sekutu Pakta Waesawa
mereka, menyerbu Cekoslowakia.
Invasi ini diikuti oleh gelombang emigrasi, sekitar 70.000 warga Ceko dan
Slowakia melarikan diri, dan total akhirnya mencapai 300.000 jiwa. Invasi ini
memicu protes keras dari Yugoslavia, Rumania, Cina, dan juga dari partai-partai
komunis di Eropa Barat.
Doktrin Brezhnev
Pada bulan September 1968, dalam
pidatonya di Kongres Kelima Partai Persatuan
Pekerja Polandia, sebulan setelah menginvasi Cekoslowakia,
Brezhnev menyampaikan Doktrin Brezhnev; yang mengklaim bahwa
"hak kami untuk melanggar kedaulatan negara manapun jika ada yang berupaya
untuk menggantikan Marxisme-Leninisme dengan kapitalisme". Dalam
pidatonya, Brezhnev menyatakan:
“
|
Ketika kekuatan yang
memusuhi sosialisme mencoba untuk mengubah haluan beberapa negara sosialis
menuju kapitalisme, itu bukan hanya menjadi masalah bagi negara yang
bersangkutan, namun masalah umum dan kepedulian dari semua negara-negara
sosialis.
|
”
|
Doktrin tersebut
dilatarbelakangi oleh kegagalan Marxisme-Leninisme dalam meningkatkan
kesejahteraan di negara-negara seperti Polandia, Hongaria
dan Jerman Timur, yang mengalami penurunan standar hidup yang kontras dengan
kemakmuran Jerman Barat dan negara Eropa Barat lainnya.
Krisis di Dunia Ketiga
Pada akhir April 1965, Presiden Lyndon B. Johnson
mendaratkan 22.000 tentaranya di Republik Dominika
dan kemudian mendudukinya selama satu tahun melalui invasi yang diberi kode Operasi Power Pack. Operasi ini dilakukan untuk
membendung ancaman menyebarnya revolusi bergaya Kuba di Amerika Latin.
Pemilihan presiden diselenggarakan pada tahun 1966, yang menghasilkan
kemenangan bagi konservatif Joaquín Balaguer. Meskipun Balaguer mendapat
dukungan dari sektor-sektor elit dan kelompok petani, lawan politiknya dari
partai PRD, mantan presiden Juan Bosch, tidak aktif
berkampanye. Aktivis PRD dilumpuhkan dengan kekerasan oleh polisi Dominika dan
angkatan bersenjata.
Di Indonesia, anti-komunis garis
keras Jenderal Soeharto
meraih kendali pemerintahan dari pendahulunya, Soekarno,
dan kemudian mulai membangun "Orde Baru".
Dari tahun 1965 sampai 1966, militer Indonesia melakukan pembunuhan massal
terhadap sekitar setengah juta anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia serta
organisasi-organisasi sayap kiri lainnya.
Meningkatnya konflik yang sedang
berlangsung antara pemimpin Vietnam Selatan
Ngô Đình Diệm dengan komunis Front Nasional untuk
Pembebasan Vietnam Selatan (NLF) membuat Johnson mengirimkan 575.000
tentara Amerika ke Asia Tenggara untuk melumpuhkan NLF dan sekutu Vietnam Utara
mereka dalam Perang Vietnam, namun kebijakan ini memakan
banyak biaya dan melemahkan perekonomian AS, dan pada tahun 1975, krisis ini
memuncak dengan kegagalan Amerika Serikat. Dunia memandang peristiwa ini
sebagai kekalahan memalukan bagi sebuah negara adidaya yang paling kuat di
tangan salah satu negara termiskin dunia. Vietnam Utara menerima persetujuan
Soviet untuk memulai perang pada tahun 1959. Uni Soviet mengirimkan 15.000
penasihat militer dan bantuan dana sebesar $ 450 juta kepada Vietnam Utara
selama perang, sedangkan Cina mengirimkan 320.000 tentara dan bantuan dana
senilai $180 juta.
Di Chili, kandidat Partai Sosialis Salvador Allende
memenangkan pemilihan presiden tahun 1970, menjadi Marxis terpilih demokratis
pertama yang menjadi presiden di negara-negara Amerika. Jenderal Augusto Pinochet
melakukan kudeta terhadap pemerintahan pada tanggal 11
September 1973 dan dengan cepat mengambilalih semua kekuasaan politik menjadi
kediktatoran militer, tindakannya ini direstui oleh AS. Reformasi Allende
ekonomi diurungkan dan lawan sayap kiri tewas atau ditahan di kamp-kamp
interniran di bawah arahan dari Dirección de
Inteligencia Nacional (DINA).
Sementara itu, Operasi Burung Kondor di Amerika Selatan —
yang digunakan oleh para diktator di Argentina,
Brasil, Bolivia,
Chili, Uruguay,
dan Paraguay
untuk menekan perbedaan pendapat dengan sayap kiri — juga mendapat
dukungan dari Amerika Serikat, dan (kadang-kadang akurat) diperkirakan juga
terdapat Kuba atau Soviet di belakang gerakan oposisi tersebut.
Amerika Serikat juga tidak
senang saat Jamaika
mulai menjalin hubungan yang lebih erat dengan pemerintah Kuba setelah
pemilihan Michael Manley pada tahun
1972. Amerika Serikat meresponnya dengan mendanai lawan-lawan politik Manley,
mendorong pemberontakan dalam tubuh tentara Jamaika, dan
menyewa tentara bayaran untuk menentang pemerintahan Manley. Kekerasan pun
terjadi.
Situasi di Timur Tengah
terus menjadi sumber persengketaan. Mesir,
yang menerima banyak bantuan senjata dan bantuan ekonomi dari Uni Soviet,
adalah klien Soviet yang merepotkan. Dengan terpaksa, Uni Soviet berkewajiban
untuk membantu Mesir dalam Perang Enam Hari
(dengan mengirimkan penasihat militer dan teknisi) dan Perang Atrisi
(dengan mengirimkan pilot dan pesawat) untuk melawan Israel yang pro-Barat. Di
samping pembelotan Mesir, dari yang sebelumnya pro-Soviet menjadi pro-Amerika
pada tahun 1972 (dibawah kepemimpinan Anwar El Sadat),
rumor mengenai intervensi Soviet dalam Perang Yom Kippur
pada tahun 1973 menyebabkan terjadinya pengiriman tentara Amerika besar-besaran
dan mengancam akan menghancurkan détente. Meskipun pada era pra-Sadat
Mesir merupakan penerima bantuan terbesar Soviet di Timur Tengah, Soviet juga
sukses menjalin hubungan erat dengan komunis di Yaman Selatan,
serta pemerintahan nasionalis Aljazair dan Irak. Soviet secara
langsung memihak dan membantu Palestina dalam menghadapi konflik dengan Israel, termasuk dukungan untuk Yasser Arafat
dan Organisasi Pembebasan Palestina.
Dari tahun 1973-1975, CIA berkolusi dengan pemerintah Iran untuk membiayai dan
mempersenjatai pemberontak Kurdi
dalam Perang Irak–Kurdi
Kedua dengan tujuan untuk melumpuhkan pemimpin Irak Ahmed Hassan al-Bakr. Saat Iran dan Irak
menandatangani Perjanjian Aljazair
pada tahun 1975, dukungan untuk Iran pun juga turut berhenti.
Di Afrika, militer Somalia
yang dipimpin oleh Mohamed Siad Barre melakukan kudeta tak
berdarah pada tahun 1969 dan mendirikan Republik Demokratik Somalia yang berpaham
sosialis. Uni Soviet berjanji untuk mendukung Somalia. Empat tahun kemudian,
Kaisar Ethiopia Haile Selassie yang pro-Amerika digulingkan
dalam kudeta tahun 1974 oleh kelompok Derg, sebuah kelompok
militer radikal pro-Soviet yang dipimpin oleh Mengistu Haile Mariam. Mariem menjalin hubungan
dengan Kuba dan Soviet. Saat peperangan antara
Somalia dan Ethiopia pecah pada tahun 1977-1978, Barre kehilangan
dukungan Soviet dan kemudian bersekutu dengan Amerika Serikat. Tentara Kuba
juga berperan dalam perang ini dengan memihak Ethiopia.
Revolusi Anyelir
di Portugis
pada tahun 1974 yang melawan keotoriteran Estado Novo membuat
Portugis kembali ke sistem multi-partai dan sekaligus memfasilitasi kemerdekaan
koloni Portugis di Angola
dan Timor Timur.
Di Afrika, pemberontak Angola mengobarkan perang kemerdekaan multi-faksi menentang kekuasaan
Portugis sejak tahun 1961, setelah perang ini usai, perang dua dasawarsa menggantikan perang
anti-kolonial, yang ditandai dengan peperangan antara komunis Gerakan Rakyat
Pembebasan Angola (MPLA), yang didukung oleh Kuba dan Soviet, dengan
Front Pembebasan
Nasional Angola (FNLA), yang didukung oleh Amerika Serikat, Republik
Rakyat Tiongkok, dan pemerintahan Mobutu di Zaire. AS, pemerintahan
apartheid Afrika Selatan, dan beberapa negara Afrika lainnya juga
mendukung faksi ketiga, Uni Nasional untuk Kemerdekaan Penuh
Angola (UNITA). Tanpa berkonsultasi dengan Soviet, Kuba mengirimkan
tentaranya untuk berjuang bersama MPLA. Pemerintah apartheid Afrika Selatan
juga mengirimkan tentara untuk membantu UNITA, namun MPLA berada di atas tangan
karena didukung oleh Kuba dan Soviet.
Di Asia Tenggara, koloni Timor Timur
secara sepihak memproklamasikan kemerdekaannya dari Portugis di bawah sayap
kiri Fretilin
pada bulan November 1975. Dengan dukungan dari Australia dan Amerika Serikat, Soeharto menginvasi Timor Timur
pada bulan Desember — yang memulai pendudukan Indonesia di Timor Timur
selama seperempat abad.
Selama Perang Vietnam,
Vietnam Utara menginvasi dan menduduki sebagian Kamboja untuk digunakan sebagai
pangkalan militer, yang juga berperan dalam memicu pecahnya Perang Saudara Kamboja antara pemerintah
pro-Amerika Lon Nol
dan pemberontak Maoist Khmer Merah.
Dokumen yang ditemukan dari arsip Soviet mengungkapkan bahwa invasi Vietnam
Utara ke Kamboja pada tahun 1970 dilaksanakan atas permintaan dari Khmer Merah
setelah bernegosiasi dengan Nuon Chea. AS dan Vietnam Selatan menanggapinya
dengan melancarkan kampanye pemboman dan serangan darat,
efek dari operasi ini masih diperdebatkan oleh para sejarawan. Di bawah
kepemimpinan Pol Pot,
Khmer Merah membantai 1-3 juta, dari 8,4 juta total penduduk Kamboja, di ladang pembantaian.
Sosiolog Martin Shaw menggambarkan
kekejaman ini sebagai "genosida paling murni dari era Perang
Dingin". Vietnam menggulingkan Pol Pot pada tahun 1979 dan membentuk
pemerintah boneka di bawah pimpinan Heng Samrin.
Perbaikan hubungan Cina-Amerika
Sebagai akibat dari perpecahan Sino-Soviet, ketegangan yang
berlangsung di sepanjang perbatasan Cina-Soviet mencapai puncaknya
pada tahun 1969, dan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon
memutuskan untuk memanfaatkan konflik tersebut sebagai alat untuk menggeser
keseimbangan kekuasaan ke arah Barat dalam Perang Dingin. Cina juga berusaha
meningkatkan hubungan dengan Amerika Serikat dalam upayanya untuk mengambil
keuntungan dari Soviet.
Pada bulan Februari 1972, Nixon
mengumumkan pemulihan hubungan dengan Cina. Ia melakukan kunjungan ke Beijing
dan bertemu dengan Mao Zedong dan Zhou Enlai.
Pada saat itu, sumber daya nuklir Uni Soviet telah setara dengan Amerika
Serikat, Perang Vietnam juga telah melemahkan pengaruh
Amerika di Dunia Ketiga dan mendinginkan hubungannya
dengan Eropa Barat. Meskipun konflik tak langsung antara dua adidaya dalam
Perang Dingin terus berlanjut sampai akhir 1960-an dan awal 1970-an, ketegangan
perlahan-lahan mulai mereda.
Nixon, Brezhnev, dan détente
Setelah kunjungannya ke
Tiongkok, Nixon bertemu dengan para pemimpin Soviet, termasuk Brezhnev di
Moskow. Perundingan
Pembatasan Senjata Strategis (SALT) antara kedua belah pihak
menghasilkan dua kesepakatan mengenai pengawasan penggunaan senjata, yaitu SALT I, pakta pembatasan
senjata komprehensif pertama yang ditandatangani oleh kedua negara adidaya, dan
Traktat Peluru Kendali Anti-Balistik,
yang mengatur mengenai pembatasan sistem peluru kendali anti-balistik yang
digunakan untuk mempertahankan wilayah terhadap senjata nuklir yang dibawa
misil. Ini bertujuan untuk membatasi pengembangan peluru kendali anti-balistik
dan rudal nuklir berbiaya mahal.
Nixon dan Brezhnev mengumumkan
era baru "hidup berdampingan secara damai" dan membangun pendekatan
hubungan baru yang disebut détente
(peredaan ketegangan) antara dua negara adidaya. Sementara itu, Brezhnev
berusaha untuk memperbaiki kembali perekonomian Soviet yang mengalami penurunan
akibat besarnya pengeluaran militer. Antara tahun 1972 dan 1974, kedua belah
pihak juga sepakat untuk memperkuat hubungan ekonomi mereka, di antaranya
dengan melakukan perjanjian dalam rangka peningkatan aktivitas perdagangan.
Sebagai hasil dari perundingan mereka, détente menggantikan era
permusuhan dari Perang Dingin dan kedua negara bisa hidup secara berdampingan.
Sementara itu, perkembangan
hubungan AS dan Soviet juga bertepatan dengan "Ostpolitik" Kanselir
Jerman Barat Willy Brandt. Perjanjian lainnya yang disahkan
untuk menstabilkan situasi di Eropa adalah Perjanjian Helsinki, yang
ditandatangani dalam Konferensi Keamanan
dan Kerjasama di Eropa pada tahun 1975.
Memburuknya hubungan pada akhir 1970-an
Pada tahun 1970-an, KGB, yang
dikepalai oleh Yuri Andropov, terus menekan kritikus-kritikus
terkenal yang mengkritik kepemimpinan Soviet seperti Aleksandr Solzhenitsyn dan Andrei Sakharov.
Selama periode détente ini, konflik tak langsung antara kedua negara
adidaya masih terus terjadi di Dunia Ketiga, khususnya dalam krisis politik di
Timur Tengah, Chili, Ethiopia, dan Angola.
Presiden Jimmy Carter
berusaha untuk menetapkan pembatasan perlombaan persenjataan lebih lanjut
dengan mengesahkan SALT II
pada tahun 1979, namun upayanya ini dirusak oleh peristiwa lainnya pada tahun
itu, yaitu Revolusi Iran yang didukung oleh KGB, Revolusi Nikaragua untuk
menggulingkan rezim pro-AS, dan yang paling membuat AS berang; intervensi
Soviet dalam Perang Afganistan pada bulan Desember.
"Perang Dingin Kedua" (1979-1985)
Istilah "Perang Dingin
Kedua" merujuk pada periode peningkatan kembali ketegangan Perang Dingin
dan konflik antara kedua belah pihak pada akhir 1970-an dan awal 1980-an.
Ketegangan sangat meningkat antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan
masing-masingnya menjadi lebih ter-militeristik. Diggins mengungkapkan:
"Reagan mengerahkan segalanya untuk berjuang dalam 'Perang Dingin Kedua'
dengan mendukung kontra-pemberontakan di Dunia Ketiga." Sementara Cox
menyatakan: "Intensitas 'Perang Dingin Kedua' sehebat durasinya yang
singkat."
Perang Soviet-Afganistan
Pada bulan April 1978, Partai Demokrasi Rakyat Afganistan
(PDPA) yang berhaluan komunis merebut kekuasaan atas Afganistan
melalui Revolusi Saur. Dalam
hitungan bulan, penentang pemerintahan komunis melancarkan pemberontakan di
Afganistan timur, yang dengan cepat berkembang menjadi perang saudara antara gerilyawan mujahidin
melawan tentara pemerintah. Pemerintah Pakistan
memfasilitasi para pemberontak dengan pusat-pusat pelatihan rahasia, sedangkan
Uni Soviet mengirim ribuan penasihat militer untuk mendukung pemerintahan PDPA.
Sementara itu, meningkatnya gesekan antara faksi-faksi yang bersaing di
PDPA – faksi Khalq
yang dominan dan Parcham
yang lebih moderat – menyebabkan pemberhentian anggota kabinet dan
penangkapan perwira militer Parchami dengan dalih kudeta terhadap Parchami.
Pada pertengahan 1979, Amerika Serikat memulai sebuah program rahasia untuk
membantu mujahidin.
Bulan September 1979, Presiden Khalqist
Nur Muhammad Taraki dibunuh dalam sebuah kudeta
PDPA yang diatur oleh rekannya sesama anggota Khalq bernama Hafizullah Amin,
yang kemudian menjadi presiden. Amin dibunuh oleh pasukan khusus Soviet pada
bulan Desember 1979. Setelah kematiannya, sebuah pemerintahan yang diorganisir
oleh Soviet, di bawah pimpinan Babrak Karmal,
mengisi kekosongan kekuasaan. Pasukan Soviet dikerahkan untuk menstabilkan
Afganistan di bawah pemerintahan Karmal, yang telah menjadi boneka Soviet.
Akibatnya, Soviet terlibat langsung dalam apa yang kemudian menjadi perang
domestik di Afganistan.
Carter menanggapi intervensi
Soviet di Afganistan dengan cara menarik kembali perjanjian SALT II dari Senat, melakukan embargo dalam pengiriman
gandum dan barang-barang teknologi pada Uni Soviet, serta meningkatkan
pengeluaran militer. Amerika Serikat juga melakukan pemboikotan terhadap Olimpiade Moskow 1980. Carter menyatakan bahwa
tindakan Soviet merupakan "ancaman yang paling serius terhadap perdamaian
selama Perang Dingin Kedua".
Reagan dan Thatcher
Pada bulan Januari 1977, empat
tahun sebelum menjadi presiden, Ronald Reagan
mengungkapkan dalam percakapannya dengan Richard V. Allen, mengenai
harapan dasarnya terkait dengan Perang Dingin: "Ide saya mengenai
kebijakan Amerika terhadap Uni Soviet sederhana, dan beberapa orang akan
menyebutnya sangat sederhana, yaitu: Kita menang dan mereka kalah. Bagaimana
menurut Anda?". Tahun 1980, Ronald Reagan mengalahkan Jimmy Carter
dalam pemilu presiden 1980.
Setelah kemenangannya, ia bersumpah akan meningkatkan anggaran militer dan
menghadapi Soviet dimanapun. Baik Reagan maupun Perdana Menteri Britania Raya
yang baru, Margaret Thatcher, sama-sama mengecam Uni
Soviet dan ideologinya. Reagan menyebut Uni Soviet sebagai sebuah
"kekaisaran jahat" dan meramalkan bahwa komunisme
akan hancur menjadi "tumpukan abu sejarah".
Meskipun sentimen anti-Amerika
di Iran setelah Revolusi Iran meningkat, pemerintahan Reagan
tetap mengulurkan tangan kepada pemerintah anti-komunis Ayatollah Khomeini dalam upayanya untuk
merekrut teokrasi bagi Amerika pada tahun 1980-an. Direktur CIA William Casey
menggambarkan pemerintahan Khomeini sebagai pemerintahan yang "goyah dan
[mungkin] dalam pergerakan ke arah kebenaran... AS hampir tidak memiliki kartu
untuk dimainkan; sementara Uni Soviet memiliki banyak kartu." Salah satu
metode yang dilakukan Amerika untuk mendukung Iran adalah dengan penjualan
senjata secara rahasia. Pada tahun 1983, CIA merilis daftar panjang komunis
Iran dan aktivis sayap kiri lainnya yang dicurigai bekerja dalam pemerintahan
Khomeini. Sebuah komisi khusus kemudian melaporkan bahwa daftar itu disusun
untuk mengambil "langkah-langkah, termasuk eksekusi massal, untuk
mengeliminasi semua infrastruktur pro-Soviet di Iran."
Pada awal 1985, prinsip
anti-komunis Reagan telah berkembang menjadi sikap yang dikenal sebagai Doktrin Reagan — yang
mana, selain penahanan, juga dirumuskan hak tambahan untuk menumbangkan
pemerintahan komunis yang ada. Selain melanjutkan kebijakan Carter yang
mendukung penentang Islam dalam melawan Soviet dan PDPA di Afganistan, CIA juga
berusaha melemahkan Uni Soviet dengan cara mempromosikan politik Islam
di mayoritas Islam Soviet Asia Tengah. Di
samping itu, CIA mendorong anti-komunis ISI di Pakistan agar bersedia melatih
Muslim dari seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam jihad melawan Uni Soviet.
Gerakan solidaritas dan darurat militer di Polandia
Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke negara kelahirannya, Polandia,
pada tahun 1979 telah mendorong kebangkitan spiritual dan nasionalis yang
memicu lahirnya gerakan solidaritas dan semangat anti-komunisme.
Hal ini diperkirakan merupakan penyebab dilakukannya upaya pembunuhan
terhadap Paus Yohanes Paulus II dua tahun kemudian.
Pada bulan Desember 1981, Wojciech Jaruzelski bereaksi terhadap krisis di
Polandia dengan memberlakukan masa darurat militer.
Untuk menanggapinya, Reagan memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Polandia. Mikhail Suslov, ideolog
top di Kremlin, menyarankan agar pemimpin Soviet tidak campur tangan jika
Polandia jatuh di bawah kendali gerakan Solidaritas, karena takut hal itu akan
menimbulkan sanksi ekonomi yang lebih berat lagi, yang berarti akan menjadi
malapetaka bagi perekonomian Soviet.
Isu ekonomi dan militer Soviet dan AS
Moskow telah membangun sumber
daya militer yang menghabiskan 25 persen dari produk nasional bruto Uni Soviet,
dengan mengorbankan barang-barang konsumsi dan investasi di sektor sipil.
Pengeluaran Soviet untuk perlombaan senjata dan
kompetisi Perang Dingin lainnya semakin diperparah oleh masalah struktural
dalam sistem perekonomian Soviet, yang mengalami stagnasi ekonomi selama satu dekade
dalam tahun-tahun terakhir pemerintahan Brezhnev.
Investasi Soviet dalam sektor
pertahanan tidak didorong oleh kepentingan militer, namun sebagian besar untuk
mendukung kepentingan partai-partai besar dan birokrasi negara, yang bergantung
pada sektor militer untuk mendukung kekuasaan dan hak istimewa mereka. Militer Uni Soviet merupakan militer terbesar
di dunia dalam hal jumlah dan jenis senjata, jumlah tentara, dan jumlah
pangkalan militer yang mereka miliki. Namun, keuntungan kuantitatif yang
dipegang oleh militer Soviet seringkali dirahasiakan keberadaannya, sehingga
Blok Timur secara dramatis tertinggal oleh Barat.
Pada awal 1980-an, Uni Soviet
telah membangun persenjataan dan pasukan militer yang melebihi Amerika Serikat.
Segera setelah Soviet menginvasi Afganistan, Presiden Carter memulai
pembangunan besar-besaran militer Amerika Serikat. Upaya ini semakin
diintensifkan oleh pemerintahan Reagan, yang meningkatkan pengeluaran militer
dari 5,3 persen/total GNP pada tahun 1981 menjadi 6,5 persen pada tahun 1986,
jumlah anggaran militer terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat.
Ketegangan terus meningkat pada
awal 1980-an ketika Reagan mengaktifkan kembali program B-1 Lancer yang sebelumnya
dibatalkan oleh pemerintahan Carter, memproduksi LGM-118 Peacekeeper, menginstal rudal jelajah
AS di Eropa, dan mengumumkan program eksperimental Strategi Inisiatif
Pertahanan, yang dijuluki "Star Wars" oleh media, yaitu
program pertahanan untuk menembak jatuh rudal musuh di tengah-tengah
penerbangannya.
Dilatarbelakangi oleh
meningkatnya ketegangan antara Soviet dan Amerika Serikat, serta dipasangnya rudal balistik
RSD-10 Pioneer
milik Soviet yang mengarah ke Eropa Barat, NATO memutuskan – di bawah
dorongan dari Presiden Carter – untuk menginstal rudal jelajah dan MGM-31 Pershing
milik Amerika Serikat di Eropa, terutama di Jerman Barat.
Rudal-rudal ini ditempatkan dengan jarak mencolok, hanya berjarak 10 menit dari
Moskow.
Setelah pembangunan militer
Reagan selesai, Soviet tidak menanggapinya dengan mengembangkan sumber daya
militernya lebih besar lagi karena pengeluaran militer Soviet sudah sangat
besar. Besarnya anggaran militer Soviet mengakibatkan tidak efisiennya
pembangunan dalam sektor manufaktur dan pertanian, yang akhirnya menjadi
beban berat bagi perekonomian Soviet.
Di saat yang bersamaan, produksi minyak di Arab Saudi
meningkat, bahkan produksi minyak di negara-negara non-OPEC juga meningkat pada
periode tersebut, termasuk Soviet. Perkembangan ini memberikan kontribusi
terhadap fenomena banjir minyak 1980-an yang mempengaruhi Uni
Soviet. Minyak mulai menjadi sumber utama pendapatan ekspor Soviet. Namun,
permasalahan perekonomian komando,
turunnya harga minyak, dan pengeluaran militer yang tetap besar secara bertahap
membawa perekonomian Soviet menuju stagnasi.
Pada tanggal 1 September 1983,
Uni Soviet menembak jatuh Korean Air Penerbangan 007, pesawat Boeing 747
yang mengangkut 269 penumpang, termasuk anggota Kongres Larry McDonald. Pesawat
itu ditembak karena melanggar wilayah udara Soviet dengan melewati pantai barat
Pulau Sakhalin,
di dekat Kepulauan Moneron —tindakan
yang oleh Reagan dianggap sebagai "pembantaian". Tindakan Soviet ini
semakin meningkatkan dukungan bagi AS supaya segera menerjukan militernya. NATO
mengadakan latihan militer Able Archer 83 pada bulan
November 1983, yang merupakan simulasi peluncuran nuklir secara nyata.
Peristiwa ini disebut-sebut sebagai saat yang paling berbahaya bagi dunia sejak
Krisis Rudal Kuba pada tahun 1962. Setelah
pemimpin Soviet memahami maksud dari latihan militer tersebut, maka diputuskan
bahwa perang nuklir semakin dekat.
Ketidaksetujuan publik AS
mengenai campur tangan AS dalam konflik negara lain sudah berlangsung sejak
akhir Perang Vietnam. Pemerintahan Reagan menekankan
taktik kontra-pemberontakan dan
penyelesaian cepat dalam mencampuri konflik asing. Pada tahun 1983,
pemerintahan Reagan ikut campur tangan dalam Perang Saudara Lebanon, menginvasi Grenada,
membom Libya,
dan mendukung gerakan Contras di Amerika
Tengah – paramiliter anti-komunis yang berusaha menggulingkan pemerintahan
pro-Soviet Sandinista
di Nikaragua.[98]
Intervensi Reagan terhadap Grenada dan Libya mendapat dukungan dari publik AS, namun
dukungannya pada Contra mengundang kontroversi.
Sementara itu, Soviet sendiri
mengeluarkan biaya tinggi dalam memfasilitasi intervensi mereka terhadap asing.
Meskipun Brezhnev meyakini pada tahun 1979 bahwa Perang Soviet-Afganistan akan berlangsung
singkat, gerilyawan Muslim,
yang dibantu oleh AS dan negara-negara lainnya, mengobarkan perlawanan sengit
terhadap invasi tersebut. Kremlin mengirimkan hampir 100.000 tentara untuk
mendukung rezim boneka di Afganistan, yang dijuluki oleh para pengamat luar
dengan "perang 'Vietnam'-nya Soviet". Namun, dampak perang Afganistan
ini jauh lebih parah bagi Soviet ketimbang dampak Perang Vietnam bagi Amerika
Serikat, karena konflik ini juga bertepatan dengan periode kekacauan dan krisis
internal dalam birokrasi dan perekonomian Soviet.
Seorang pejabat senior di Departemen Luar Negeri AS
memprediksikan pada awal 1980-an, ia menyatakan bahwa "invasi yang
mengakibatkan krisis dalam negeri bagi Soviet... mungkin itu adalah hukum
termodinamika entropi...
yang terjebak dengan sistem Soviet, yang sekarang tampaknya lebih banyak
mengeluarkan energi untuk menjaga keseimbangannya ketimbang untuk
memperbaikinya. Kita bisa melihat periode kebangkitan asing pada saat mengalami
keruntuhan internal".
Tahun-tahun terakhir (1985–1991)
Reformasi Gorbachev
Pada saat Mikhail Gorbachev,
yang relatif masih muda, menjadi Sekretaris Jenderal pada
tahun 1985, perekonomian Soviet sedang stagnan dan mengalami penurunan tajam
dalam penerimaan mata uang asing akibat turunnya harga minyak dunia pada tahun
1980-an. Masalah ini memaksa Gorbachev untuk mengambil langkah-langkah guna
membangkitkan kembali keterpurukan Soviet.
Gorbachev menyatakan bahwa untuk
membangkitkan kembali Soviet, diperlukan perubahan yang mendalam dalam
struktural Soviet. Pada bulan Juni 1987, Gorbachev mengumumkan agenda
reformasinya yang disebut perestroika atau restrukturisasi.
Perestroika memungkinkan lebih efektifnya sistem kuota produksi,
kepemilikan swasta atas bisnis dan juga membuka jalan bagi investor
asing. Langkah ini dimaksudkan untuk mengarahkan sumber daya negara dari
pembiayaan militer yang mahal untuk menunjang Perang Dingin ke pengembangan
sektor sipil yang lebih produktif.
Meskipun muncul skeptisisme dari
negara-negara Barat, pemimpin Soviet yang baru ini terbukti berkomitmen untuk
memperbaiki kondisi perekonomian Soviet yang buruk, bukannya melanjutkan
perlombaan senjata dengan Barat. Untuk melawan penentang reformasinya yang
berasal dari internal partai, Gorbachev secara bersamaan memperkenalkan glasnost,
atau keterbukaan. Kebijakan ini memungkinkan meningkatnya kebebasan pers dan transparansi
lembaga-lembaga negara. Glasnost dimaksudkan untuk mengurangi korupsi
dalam tubuh Partai Komunis dan memoderasi penyalahgunaan
kekuasaan di Komite Sentral. Glasnost
juga memungkinkan meningkatnya kontak antara warga Soviet dan Dunia barat,
khususnya dengan Amerika Serikat, yang memberikan kontribusi bagi peningkatan détente
antara kedua negara.
Perbaikan hubungan
Menanggapi konsesi politik dan
militer Kremlin
yang baru, Reagan setuju untuk mengadakan kembali perundingan dengan Soviet
terkait dengan isu-isu ekonomi dan perlombaan senjata. Perundingan pertama
diadakan pada bulan November 1985 di Jenewa, Swiss. Dalam
perundingan tersebut, kedua pemimpin negara, disertai oleh seorang penerjemah,
sepakat untuk mengurangi persenjataan nuklir di masing-masing negara sebesar 50
persen. Perundingan kedua, Konferensi Tingkat
Tinggi Reykjavík, diselenggarakan di Islandia.
Perundingan tersebut berjalan lancar hingga pembicaraan bergeser ke arah
Strategi Inisiatif Pertahanan Reagan yang ingin dieliminasi oleh Gorbachev,
namun Reagan menolaknya. Negosiasi akhirnya gagal, namun dalam perundingan
ketiga pada tahun 1987, kedua belah pihak berhasil menghasilkan terobosan
dengan ditandatanganinya Traktat Angkatan
Nuklir Jangka Menengah (INF). Traktat ini menghapuskan keberadaan
semua senjata nuklir, rudal balistik, dan rudal jelajah di kedua belah pihak
dengan jarak antara 500 dan 5.500 kilometer beserta infrastrukturnya.
Ketegangan antara Timur dengan
Barat mereda dengan cepat pada pertengahan 1980-an. Tahun 1989, bertempat di
Moskow, Gorbachev dan pengganti Reagan, George H. W. Bush,
menandatangani perjanjian START I, yang mengakhiri
perlombaan senjata antar kedua negara. Selama tahun-tahun berikutnya, Soviet
dihadapkan pada keruntuhan perekonomian yang diakibatkan oleh turunnya harga
minyak dunia dan besarnya pembiayaan militer. Selain itu, penempatan militer di
negara sekutunya diakui tidak relevan lagi bagi Soviet, dan pada tahun 1987,
Soviet secara resmi mengumumkan kalau ia tidak akan
ikut campur lagi dalam urusan dalam negeri negara-negara sekutunya di Eropa Timur.
Tahun 1989, pasukan Soviet
mundur dari Afganistan, dan setahun kemudian Gorbachev menyetujui reunifikasi Jerman, satu-satunya alternatif
untuk menanggapi skenario Tianmen.
Ketika Tembok Berlin runtuh, konsep "Common European Home"
yang dicetuskan oleh Gorbachev mulai terbentuk.
Pada tanggal 3 Desember 1989,
dalam Konferensi Tingkat
Tinggi Malta, Gorbachev dan George H. W. Bush
secara resmi menyatakan bahwa Perang Dingin sudah berakhir. Setahun kemudian,
dua negara tersebut bermitra dalam Perang Teluk
melawan Irak.
Goyahnya sistem Soviet
Pada tahun 1989, sistem aliansi
Soviet berada di ambang keruntuhan. Akibat hilangnya dukungan militer dari
Soviet, satu-persatu para pemimpin negara-negara komunis Pakta Warsawa
juga kehilangan kekuasaan. Di Uni Soviet sendiri, kebijakan glasnost
melemahkan ikatan yang selama ini menyatukan Soviet. Bulan Februari 1990,
dengan semakin memuncaknya isu pembubaran Uni Soviet, para pemimpin Partai Komunis terpaksa menyerahkan tampuk
kekuasaannya yang telah bertahan selama 73 tahun.
Pada saat yang sama, isu
kemerdekaan yang dipicu oleh glasnost semakin mendorong negara-negara
Soviet untuk memisahkan diri dari Moskow. Negara-negara Baltik mulai menarik diri dari
Soviet sepenuhnya.[275]
Gelombang revolusi
damai 1989 yang melanda Eropa Tengah
dan Eropa Timur meruntuhkan kedigjayaan komunisme Soviet di negara-negara
seperti Polandia, Hongaria, Cekoslowakia dan Bulgaria. Rumania menjadi
satu-satunya negara Blok Timur yang menggulingkan kekuasaan komunis secara
keras dengan mengeksekusi kepala negaranya.
Pembubaran Uni Soviet
Sikap permisif Gorbachev
terhadap Eropa Timur awalnya tidak meluas ke wilayah Soviet, bahkan Bush, yang
berjuang untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan Soviet, mengutuk
pembunuhan pada bulan Januari 1991 di Latvia
dan Lituania. Bush
memperingatkan bahwa hubungan ekonomi akan dibekukan jika kekerasan terus
terjadi. Uni Soviet secara fatal dilemahkan oleh kudeta yang gagal
pada tahun 1991 dan meningkatnya jumlah republikan Soviet,
khususnya di Rusia, yang mengancam akan
memisahkan diri dari Uni Soviet. Persemakmuran Negara-Negara Merdeka,
yang didirikan pada tanggal 21 Desember 1991, dipandang sebagai entitas penerus
Uni Soviet, namun, menurut para pemimpin Rusia, tujuannya adalah untuk
"memungkinkan perpisahan secara beradab" antara republik-republik
Soviet dan juga sebanding dengan kelonggaran konfederasi. Uni Soviet secara
resmi dibubarkan pada tanggal 25 Desember 1991.
Dampak
Setelah Perang Dingin, Rusia sebagai ahli waris
utama Uni Soviet memotong pengeluaran militer secara drastis. Restrukturisasi
ekonomi menyebabkan jutaan warga di seluruh Uni Soviet menganggur. Sedangkan
reformasi kapitalis mengakibatkan terjadinya resesi parah, lebih parah daripada
yang dialami oleh AS dan Jerman selama Depresi Besar.
Setelah berakhir, Perang Dingin
masih terus mempengaruhi dunia. Setelah pembubaran Uni Soviet,
dunia pasca-Perang Dingin secara luas dianggap sebagai dunia yang unipolar, menyisakan Amerika Serikat
sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia. Perang Dingin juga
membantu mendefenisikan peran politik Amerika Serikat di dunia pasca-Perang Dunia II:
pada tahun 1989 AS menjalin kerjasama militer dengan 50 negara dan memiliki
526.000 tentara di luar negeri yang tersebar di puluhan negara, dengan 326.000
terdapat di Eropa (dua pertiganya di Jerman Barat), dan sekitar 130.000
terdapat di Asia (terutama di Jepang dan Korea Selatan). Perang Dingin juga
menandai puncak pengembangan industri-militer, terutama di Amerika Serikat, dan
pendanaan militer secara besar-besaran. Pengembangan industri militer ini
memiliki dampak besar terhadap negara yang bersangkutan; membantu membentuk
kehidupan kemasyarakatan, kebijakan, dan hubungan luar negeri negara tersebut.
Pengeluaran militer Amerika
Serikat selama berlangsungnya Perang Dingin diperkirakan sekitar $ 8 triliun,
sedangkan hampir 100.000 orang Amerika kehilangan nyawa mereka dalam Perang Korea
dan Perang Vietnam.
Sulit untuk memperkirakan jumlah korban dan kerugian dari pihak Soviet, namun
jika dilihat dari komparasi produk nasional bruto mereka, maka biaya keuangan
yang dikeluarkan oleh Soviet selama Perang Dingin jauh lebih besar daripada
yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat.
Selain hilangnya nyawa warga
sipil oleh para tentara tak berseragam, jutaan jiwa juga tewas dalam perang proksi
antar kedua negara adidaya di berbagai belahan dunia, terutama di Asia
Tenggara. Sebagian besar perang proksi dan bantuan untuk konflik-konflik lokal
turut berakhir seiring dengan usainya Perang Dingin. Perang antar-negara,
perang etnis, perang revolusi, serta jumlah pengungsi menurun tajam pada
tahun-tahun pasca-Perang Dingin.
Di sisi lain, konflik-konflik
antar-negara di Dunia Ketiga tidak sepenuhnya terhapus
pasca-Perang Dingin. Ketegangan ekonomi dan sosial yang dulu dimanfaatkan
sebagai "bahan bakar" Perang Dingin terus berlangsung di Dunia Ketiga.
Kegagalan kontrol negara di sejumlah wilayah yang dulunya dikuasai oleh
pemerintah komunis telah menghasilkan konflik sipil dan etnis baru, terutama di
negara-negara bekas Yugoslavia. Berakhirnya Perang Dingin telah
menghantarkan Eropa Timur pada era pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah
negara demokrasi liberal, sedangkan di bagian lain
dunia, seperti di Afganistan, kemerdekaan diikuti dengan kegagalan negara.
Historiografi
Setelah istilah "Perang
Dingin" dipopulerkan untuk merujuk pada ketegangan antara AS-Soviet
pasca-Perang Dunia II, penafsiran terhadap asal usul konflik telah menjadi
sumber perdebatan di kalangan sejarawan, ilmuwan politik, dan jurnalis.
Secara khusus, sejarawan tidak sepakat mengenai siapa yang bertanggung jawab
atas kerusakan hubungan Soviet-AS setelah Perang Dunia II, dan apakah konflik
antara dua adidaya tersebut tak terelakkan atau bisa dihindari. Para sejarawan
juga tidak sepakat mengenai apa defenisi persisnya Perang Dingin itu, apa-apa
saja yang menjadi sumber-sumber konfliknya, dan bagaimana untuk menguraikan
pola aksi dan reaksi antara kedua belah pihak.
Meskipun penjelasan tentang asal
usul dari konflik Perang Dingin dalam diskusi akademik berlangsung dengan
kompleks dan beragam, beberapa sekolah umum menetapkan pemikiran pada subjek
yang dapat diidentifikasi. Sejarawan umumnya berpendapat bahwa terdapat tiga
pendekatan yang berbeda untuk mempelajari Perang Dingin, yaitu: pendekatan
"ortodoks", "revisionisme", dan
"pasca-revisionisme".
Pendekatan "ortodoks"
menyatakan bahwa Uni Soviet dan ekspansinya ke Eropa Timur lah yang memicu
berkobarnya Perang Dingin. Kalangan "revisionis" menganggap bahwa
Amerika Serikat bertanggung jawab atas kerusakan perdamaian pasca-Perang Dunia
II karena berupaya untuk mengkonfrontasi dan mengisolasi Uni Soviet sebelum
akhir Perang Dunia II. Sedangkan "pasca-revisionis" memandang Perang
Dingin sebagai peristiwa yang lebih bernuansa, dan berusaha untuk lebih
menyeimbangkan mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab dalam Perang Dingin.
Kebanyakan historiografi mengenai Perang Dingin
menggunakan dua atau keseluruhan pendekatan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkicau