Perang Salib
Perang Salib adalah
gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara
berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk merebut Tanah Suci dari kekuasaan kaum Muslim dan
mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur. Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa
yang ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan
panji-panji mereka. Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil
yang terjadi selama abad ke-16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran; antara
agama, ekonomi, dan politik. Skema penomoran
tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama,
melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara
Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan. Perang Salib
berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang
mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk
internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik,
beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib
Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan
dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang
paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu. Perang Salib
Keenam adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu
resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang
memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib
dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara
kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan
persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara
kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan
Rum yang Muslim dalam Perang Salib
Kelima.
Situasi dan
latar belakang
Situasi di
Eropa
Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang
terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu
juga menurunnya pengaruh Kekaisaran
Byzantium di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan
Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran
Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya
perbatasan Eropa sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slavia, dan Magyar, telah
membuat kelas petarung bersenjata yang energinya digunakan secara salah untuk
bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk setempat. Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui
gerakan-gerakan Pax Dei dan Treuga Dei. Usaha ini dinilai
berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman selalu mencari tempat
untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan untuk memperluas daerah
kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya adalah saat
terjadi Reconquista di Spanyol dan Portugal, dimana pada saat itu
ksatria-ksatria dari Iberia dan pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa
bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang sebelumnya berhasil menyerang
dan menaklukan sebagian besar Semenanjung
Iberia dalam kurun waktu 2 abad dan menguasainya selama
kurang lebih 7 abad.
Pada tahun 1063, Paus
Alexander II memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk memerangi kaum Muslim. Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun
pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka,
permintaan yang datang dari Kekaisaran
Byzantium yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi perhatian semua orang di
Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII kepada Paus
Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I
Comnenus kepada Paus Urbanus
II.
Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan
keagamaan yang intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang
tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib
dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai “tentara
gereja”. Hal ini sebagian adalah karena adanya Kontroversi
Pentahbisan, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih
berlangsung selama Perang Salib
Pertama. Karena kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi
Pentahbisan berusaha untuk menarik pendapat publik, maka
masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang
dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik
pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda
keagamaan tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci –
yang termasuk Yerusalem (dimana kematian, kebangkitan dan
pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan Antiokhia (kota Kristen yang pertama) - dari
orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal
ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa untuk
mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka. Persoalan ini
diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti
dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut
Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal
dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi adalah apa sebenarnya yang
dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu teori menyatakan bahwa
jika seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu
berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II
dalam pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil
merebut Yerusalem, maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan
diberikan “penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah
sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya sebelum
Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk Neraka jika
melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang memberikan
dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada
abad ke-12.
Situasi
Timur Tengah
Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak
penaklukan bangsa Arab terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium
pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu memengaruhi penziarahan ke
tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan masyarakat
Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas
dikuasainya Yerusalem yang berada jauh di Timur–sampai
ketika mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan
bangsa-bangsa non-Kristen lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslim Turki
Saljuk yang berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks Timur.
Titik balik lain yang berpengaruh terhadap pandangan
Barat kepada Timur adalah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani
Fatimiyah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam
Kudus (Church of the Holy Sepulchre). Penerusnya
memperbolehkan Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan
memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi,
banyak laporan yang beredar di Barat tentang kekejaman kaum Muslim terhadap
para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para peziarah yang pulang ini
kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang Salib pada akhir
abad itu.
Penyebab
langsung
Penyebab langsung dari Perang Salib
Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk
menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Hal ini
dilakukan karena sebelumnya pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah
dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang
dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan di Pertempuran
Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam
peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000 orang,
terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dan
kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan
Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik
Barat dengan gereja Ortodoks
Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif
atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan hanya
sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi
yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem, setelah Dinasti Seljuk dapat
merebut Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan
dinasti Fatimiyah yang
berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah sejak
Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.
Ketika Perang Salib
Pertama didengungkan pada 27 November 1095, para pangeran Kristen dari Iberia sedang
bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia, wilayah Basque dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang
tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor Toledo kepada Kerajaan
León pada tahun 1085 adalah kemenangan yang besar.
Ketidakbersatuan penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang penting dan
kaum Kristen yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang amat sulit
untuk dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur. Mereka tidak
memiliki taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan. Para ksatria
Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan asing yang dipenuhi
oleh orang kafir sehingga mereka dapat berbuat dan merusak sekehendak
hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali di lapangan
pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar dari karakter
Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan
yang tertinggi adalah mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an suatu
Negara.
Perang
Perang Salib
I
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian
ke Palestina. Tentara Salib yang
dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini
memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka
berhasil
menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldwin sebagai raja. Pada tahun yang sama
mereka dapat menguasai Antiokhia dan mendirikan Kepangeranan
Antiokhia di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka
juga berhasil menduduki Baitul Maqdis (Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M dan
mendirikan Kerajaan
Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul
Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, rajanya
adalah Raymond. Selanjutnya, Syeikh Imaduddin
Zengi pada tahun 1144 M, penguasa Mosul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M.
Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin
Zengi. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun
1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Perang Salib
II
Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III
menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Conrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut
wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh
Nuruddin Zengi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII
dan Conrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat
tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin
al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib
untuk menguasai Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah
merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa
bulan sebelumnya dalam Pertempuran
Hittin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan
County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan
demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88
tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan
kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan
yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan
menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.
Perang Salib
III
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslim sangat memukul perasaan Tentara Salib. Mereka pun
menyusun rencana balasan. Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin oleh Frederick
Barbarossa raja Jerman, Richard si
Hati Singa raja Inggris, dan Philip
Augustus raja Perancis memunculkan Perang Salib III.
Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan
Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa - saat itu
merupakan yang terbanyak di Eropa - melalui jalur darat, melewati
Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai,
sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan
Philip sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan
Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin,
namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota
kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk "menyelesaikan"
masalah kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang
Salib III. Richard tidak mampu memasuki Palestina lebih jauh,
meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192
M, dibuat perjanjian antara Tentara Salib dengan Shalahuddin yang disebut
dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa
orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Baitul
Maqdis tidak akan diganggu.
Perang Salib
IV
Pada tahun 1219 M, meletus kembali peperangan yang
dikenal dengan Perang Salib periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin
oleh raja Jerman, Frederik II, mereka
berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari
orang-orang Kristen
Koptik. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyath, raja Mesir dari Dinasti
Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan
Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyath, sementara
al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak
mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam
perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin
tahun 1247 M, pada masa pemerintahan al-Malik al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika
Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik yang menggantikan posisi Dinasti
Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baibars, Qalawun, dan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Pada masa
merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum Muslim tahun 1291 M.
Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di
Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
Kondisi
sesudah Perang Salib
Perang Salib
Pertama melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci
sendiri yang diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen Ortodoks Timur. Kekerasan terhadap Kristen Ortodoks ini berpuncak
pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun
1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya
serangan-serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen
berupaya melindungi orang Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi
seringkali diberikan perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen
lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh
mereka tanpa pandang bulu.
Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai
tingkat kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Akka jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan
sesudah penghancuran bangsa Ositania (Perancis
Selatan) yang berpaham Katarisme pada Perang Salib
Albigensian, ide perang salib mengalami kemerosotan nilai yang
diakibatkan oleh pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan
wilayah yang terjadi di Katolik
Eropa. Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah
orde Ksatria
Hospitaller. Sesudah kejatuhan Akka yang terakhir, orde ini
menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya
dibubarkan oleh Napoleon
Bonaparte pada tahun 1798.
Peninggalan
Benua Eropa
Perang Salib selalu dikenang oleh bangsa-bangsa di
Eropa bagian Barat dimana pada masa Perang Salib merupakan negara-negara
Katolik Roma. Perang Salib juga menimbulkan kenangan pahit. Banyak pula
kritikan pedas terhadap Perang Salib di negara-negara Eropa Barat pada masa
Renaissance.
Politik dan
Budaya
Perang Salib amat memengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan. Pada masa
itu, sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada abad ke-14,
perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa modern)
sedang pesat di Perancis, Inggris, Burgundi, Portugal, Castilia dan Aragon. Hal ini
sebagian didorong oleh dominasi gereja pada masa awal perang salib. Meski benua
Eropa telah bersinggungan dengan budaya Islam selama
berabad-abad melalui hubungan antara Semenanjung
Iberia dengan Sisilia, banyak ilmu pengetahuan di
bidang-bidang sains, pengobatan dan arsitektur diserap dari dunia Islam ke
dunia Barat selama masa perang salib.
Pengalaman militer perang salib juga memiliki pengaruh
di Eropa, seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari
batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di Timur, tidak lagi
menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Sebagai tambahan, tentara Salib
dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama Asia. Bersama
perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains baru mencapai
timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk
perkembangan aljabar, lensa dan lain
lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan di universitas-universitas
Eropa yang kemudian mengarahkan kepada masa Renaissance pada abad-abad
berikutnya.
Perdagangan
Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan
balatentara yang besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan
yang sebagian besar tidak pernah digunakan sejak masa pendudukan Romawi, terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para
pedagang yang berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan saja karena Perang
Salib mempersiapkan Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih karena
banyak orang ingin bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk
dari timur. Hal ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di Itali, karena banyak negara-kota di Itali yang sejak awal memiliki hubungan perdagangan yang
penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib, baik di Tanah Suci maupun kemudian di daerah-daerah
bekas Byzantium.
Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang
ditemukan dan sangat mahal. Barang-barang ini termasuk berbagai macam rempah-rempah, gading, batu-batu
mulia, teknik pembuatan barang kaca yang maju, bentuk awal
dari mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman Asia lainnya dan
banyak lagi. Keberhasilan untuk melestarikan Katolik Eropa,
bagaimanapun, tidak dapat mengabaikan kejatuhan Kekaisaran Kristen Byzantium,
yang sebagian besar diakibatkan oleh kekerasan tentara Salib pada Perang Salib
Keempat terhadap Kristen Orthodox Timur, terutama pembersihan
yang dilakukan oleh Enrico Dandolo yang
terkenal, penguasa Venesia dan sponsor Perang Salib
Keempat. Tanah Byzantium adalah negara Kristen yang stabil
sejak abad ke-4. Sesudah tentara Salib mengambil alih Konstantinopel pada tahun
1204, Byzantium tidak pernah lagi menjadi sebesar atau sekuat sebelumnya dan
akhirnya jatuh pada tahun 1453.
Melihat apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang
Salib lebih dapat digambarkan sebagai perlawanan Katolik Roma terhadap
ekspansi Islam, ketimbang perlawanan Kristen secara utuh terhadap ekspansi
Islam. Di lain pihak, Perang Salib Keempat dapat disebut sebuah anomali. Kita
juga dapat mengambil suatu kompromi atas kedua pendapat di atas, khususnya
bahwa Perang Salib adalah cara Katolik Roma utama dalam menyelamatkan
Katolikisme, yaitu tujuan yang utama adalah memerangi Islam dan tujuan yang
kedua adalah mencoba menyelamatkan ke-Kristen-an, dalam konteks inilah, Perang
Salib Keempat dapat dikatakan mengabaikan tujuan yang kedua untuk memperoleh
bantuan logistik bagi Dandolo untuk mencapai tujuan yang utama. Meski begitu,
Perang Salib Keempat ditentang oleh Paus pada saat itu dan secara umum dikenang
sebagai suatu kesalahan besar.
Dunia Islam
Perang salib memiliki efek yang buruk tetapi
terlokalisir pada dunia Islam. Dimana persamaan antara “Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib” meninggalkan bekas yang amat
dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan Saladin, seorang
ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang Salib. Pada abad ke-21,
sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan Pan-Islamisme masih terus menyebut keterlibatan
dunia Barat di Timur Tengah sebagai “perang salib”. Perang
Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang kejam dan keji oleh
kaum Kristen Eropa.
Konsekuensi yang secara jangka panjang menghancurkan
tentang perang salib, menurut ahli sejarah Peter
Mansfield, adalah pembentukan mental dunia Islam yang cenderung
menarik diri. Menurut Peter Mansfield, “Diserang
dari berbagai arah, dunia Islam berpaling ke dirinya sendiri. Ia menjadi sangat
sensitive dan defensive……sikap yang tumbuh menjadi semakin buruk seiring dengan
perkembangan dunia, suatu proses dimana dunia Islam merasa dikucilkan, terus
berlanjut.”
Komunitas
Yahudi
Terjadi kekerasan tentara Salib terhadap bangsa Yahudi di kota-kota di Jerman dan Hongaria, belakangan
juga terjadi di Perancis dan Inggris, dan
pembantaian Yahudi di Palestina dan Syria menjadi
bagian yang penting dalam sejarah Anti-Semit, meski
tidak ada satu perang salib pun yang pernah dikumandangkan melawan Yahudi.
Serangan-serangan ini meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan yang buruk
pada kedua belah pihak selama berabad-abad. Kebencian kepada bangsa Yahudi
meningkat. Posisi sosial bangsa Yahudi di Eropa Barat semakin merosot dan
pembatasan meningkat selama dan sesudah Perang Salib. Hal ini memuluskan jalan
bagi legalisasi Anti-Yahudi oleh Paus
Innocentius III dan membentuk titik balik bagi Anti-Semit abad pertengahan. Periode perang
salib diungkapkan dalam banyak narasi Yahudi. Di antara narasi-narasi itu, yang
terkenal adalah catatan-catatan Solomon bar Simson dan Rabbi Eliezer bar
Nathan, “The Narrative of The Old Persecution” yang ditulis oleh Mainz Anonymus
dan “Sefer Zekhirah” dan “The Book of Remembrance” oleh Rabbi Ephrain dari
Bonn.
Pegunungan
Kaukasus
Orang Armenia merupakan pendukung setia Tentara Salib.
Di Pegunungan
Kaukasus di Georgia, di dataran tinggi Khevsureti yang
terpencil, ada sebuah suku yang disebut Khevsurs yang
dianggap merupakan keturunan langsung dari sebuah kelompok tentara salib yang
terpisah dari induk pasukannya dan tetap dalam keadaan terisolasi dengan
sebagian budaya perang salib yang masih utuh. Memasuki abad ke-20, peninggalan
dari baju perang, persenjataan dan baju rantai masih digunakan dan terus
diturunkan dalam komunitas tersebut. Ahli ethnografi Rusia, Arnold Zisserman, yang menghabiskan 25 tahun (1842 – 1862) di
pegunungan Kaukasus, percaya bahwa kelompok dari dataran tinggi Georgia ini
adalah keturunan dari tentara Salib yang terakhir berdasarkan dari kebiasaan,
bahasa, kesenian dan bukti-bukti yang lain. Penjelajah Amerika Richard Halliburton melihat dan mencatat kebiasaan suku
ini pada tahun 1935.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkicau