Perang Yunani-Persia (disebut juga Perang Persia)
adalah serangkaian konflik antara Kekaisaran
Persia Akhemeniyah melawan negara kota di Yunani kuno. Perang ini bermula
pada tahun 499 SM dan berakhir pada tahun 449 SM. Bentrokan antara dunia Yunani
yang secara politik terpecah-pecah melawan Kekaisaran Persia yang sangat besar
sudah dimulai ketika Koresh
yang Agung menaklukkan Ionia pada tahun 547
SM. Berusaha untuk mengendalikan kota-kota di Ionia, Persia menunjuk tiran untuk berkuasa di sana. Ini kemudian terbukti menjadi
sumber masalah bagi Yunani dan Persia.
Pada tahun 499 SM, tiran di Miletos, yaitu Aristagoras, mulai melakukan ekspedisi untuk menaklukkan Pulau Naxos, dengan dukungan Persia; Namun, ekspedisi itu berakhir dengan kegagalan dan Aristagoras pun akhirnya dipecat. Aristagoras lalu menghasut kota-kota Yunani di Asia Kecil untuk memberontak melawan Persia. Ini adalah awal dari Pemberontakan Ionia, yang berlangsung sampai tahun 493 SM, dan dalam perkembangannya menyeret lebih banyak daerah di Asia Kecil ke dalam konflik. Aristagoras memperoleh bantuan militer dari Athena dan Eretria. Pada tahun 498 SM, pasukan Athena dan Eretria membakar ibu kota regional Persia di Asia Kecil, yaitu Kota Sardis. Kaisar Persia, Darius yang Agung marah dan bersumpah akan membalas Athena dan Eretria atas tindakan mereka. Pemberontakan terus berlanjut, dan kedua belah pihak menemui jalan buntu sepanjang 497–495 SM. Pada tahun 494 SM, Persia menyerang pusat pemberontakan di Miletos. Pada Pertempuran Lade, pasukan Ionia mengalami kekalahan telak dan pemberontakan pun berakhir, dan sisa-sisanya dibasmi pada tahun berikutnya.
Berusaha
mengamankan kekaisarannya dari ancaman pemberontakan lainnya, dan juga dari
campur tangan Yunani daratan, Darius akhirnya melancarkan serangan ke Yunani,
untuk menghukum Athena dan Eretria atas pembakaran Sardis. Invasi pertama Persia ke Yunani dimulai pada tahun 492 SM,
dengan Jenderal Persia, Mardonios,
menaklukkan Thrakia dan Makedonia sebelum akhirnya pasukan
Persia mengalami bencana dan terpaksa mengakhiri kampanyenya. Pada
tahun 490 SM, pasukan kedua dikirim ke Yunani, kali ini melalui Laut Aigea, di bawah komando Datis dan Artaphernes. Ekspedisi ini berhasil menundukkan Kyklades, sebelum kemudian mengepung,
menaklukkan, dan menghancurkan Eretria. Akan tetapi, ketika berusaha
menyerang Athena, pasukan Persia dikalahkan secara telak oleh pasukan Athena
pada Pertempuran
Marathon, yang sekaligus menghentikan invasi pertama Persia. Darius
kemudian menyusun rencana untuk kembali menyerang Yunani, namun dia terlebih
dahulu meninggal pada tahun 486 SM, dan tanggung jawab penaklukan beralih
kepada putranya, Xerxes I.
Pada tahun 480 SM, Xerxes secara langsung memimpin invasi kedua Persia ke Yunani dengan pasukan yang sangat
banyak. Kemenangan melawan 'Persekutuan' negara kota Yunani (dipimpin oleh Sparta dan Athena) pada Pertempuran
Thermopylae membuat Persia dapat menduduki sebagian besar Yunani. Akan
tetapi, ketika berusaha menghancurkan armada laut Yunani, Persia malah
mengalami kekalahan berat pada Pertempuran
Salamis. Pada tahun berikutnya, persekutuan negara kota Yunani
melancarkan serangan dan mengalahkan pasukan Persia pada Pertempuran
Plataia, sekaligus mengakhiri invasi Persia di Yunani.
Persekutuan
Yunani menindaklanjuti kesuksesan mereka dengan menghancurkan sisa-sisa armada
Persia pada Pertempuran
Mykale, sebelum kemudian mengusir garnisun Persia dari Sestos (479 SM) dan Byzantion (478 SM). Tindakan
Jenderal Pausanias pada Pengepungan Byzantion menjauhkan banyak negara
kota Yunani dari pihak Sparta, dan persekutuan anti-Persia kemudian dibentuk
kembali dengan dipimpin oleh Athena, dalam persatuan yang disebut Liga Delos. Liga Delos terus
melakukan kampanye melawan Persia selama tiga dekade berikutnya,
dimulai dengan pengusiran sisa-sisa garnisun Persia dari Eropa. Dalam Pertempuran
Eurymedon pada tahun 466 SM, Liga Delos meraih kemenangan ganda yang
pada akhirnya membuat kota-kota di Ionia dapat merdeka. Akan tetapi,
keterlibatan Liga Delos dalam pemberontakan Mesir (dari 460–454 SM) berujung
pada kekalahan telak dan kampanye yang lebih lanjut harus ditunda. Liga Delos
mengirim pasukan ke Siprus pada tahun 451 SM, dan
setelah menariknya kembali, Perang Yunani-Persia pun benar-benar berakhir.
Beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa akhir bentrokan ditandai dengan
perjanjian damai antara Athena dan Persia, yaitu pada Perdamaian Kallias.
Hampir semua sumber
utama untuk Perang Yunani-Persia berasal dari Yunani; tidak ada naskah sejarah
yang tersisa dari pihak Persia. Sumber utama untuk Perang Yunani-Persia adalah
naskah karya sejarawan Yunani, Herodotos. Herodotos, yang disebut
"Bapak Sejarah", dilahirkan pada tahun 484 SM di Halikarnassos,
Asia Kecil (ketika itu bagian dari Kekaisaran Persia). Dia menulis catatan
sejarahnya, yang berjudul Historia, sekitar
tahun 440–430 SM, berusaha untuk melacak asal mula Perang Yunani-Persia, yang
ketika itu belum lama usai. Pendekatan Herodotos adalah novel dan setidaknya di
masyarakat Barat, dia menciptakan 'sejarah' sebagai sebuah disiplin ilmu.
Holland berpendapat mengenai Herodotos:
“
|
Untuk pertama
kalinya, seorang penulis kronik membuat dirinya melacak asal mula konflik
tidak ke masa yang sangat jauh demi terlihat luar biasa, tidak demi keinginan
dan harapan beberapa dewa, tidak juga demi klaim orang-orang untuk mewujudkan
takdir, tapi demi penjelasan yang dapat dia verifikasi secara langsung.
|
Beberapa
sejarawan kuno berikutnya, dimulai dari Thukydides, mengkritik Herodotos.
Meskipun demikian, Thukydides memilih untuk memulai sejarahnya pada masa di
mana Herdotos mengakhiri kisahnya (pada Pengepungan Sestos) dan merasa
bahwa sejarah Herodotos cukup akurat sehingga tidak perlu ditulis ulang atau
dikoreksi. Plutarkhos mengkritik Herodotos
dalam esainya "Tentang Kejahatan Herodotos", menggambarkan Herodotos
sebagai "Philobarbaros" (pencinta orang barbar) karena
Herodotos dianggap tidak cukup pro-Yunani, yang mengindikasikan bahwa Herodotos
sebenarnya mungkin telah melakukan penulisan yang adil secara wajar. Pandangan
negatif terhadap Herodotos berlanjut di Eropa masa Renaisans, meski karya-karyanya
tetap banyak dibaca. Namun, sejak abad ke-19 reputasinya secara dramatis
terangkat oleh temuan arkeologi yang membenarkan keterangannya. Pandangan
modern terhadap Herodotos adalah bahwa dia telah menuliskan catatan yang luar
biasa dalam Historia, namun beberapa rincian spesifiknya (khusunya
mengenai jumlah prajurit dan tanggal peristiwa) harus dilihat secara skeptis.
Meskipun demikian, masih banyak sejarawan yang meyakini bahwa Herodotos hanya
mengarang sebagian besar catatannya.
Sayangnya,
sejarah militer Yunani antara akhir invasi kedua Persia ke Yunani dan Perang
Peloponnesos (479–431 SM) tidak banyak diceritakan dalam sumber
kuno. Periode ini, kadang disebut pentekontaitia oleh para sejarawan
kuno, adalah seuatu periode perdamaian dan kemakmuran di Yunani. Sumber
terlengkap mengenai periode ini, dan sekaligus yang paling sezaman adalah
naskah karya Thukydides, Sejarah Perang Peloponnesos,
yang oleh para sejarawan modern secara umum dianggap sebagai sumber primer yang
terpercaya. Thukydides hanya menyebut periode ini dalam suatu penyimpangan
dalam meningkatnya kekuasaan Athena menuju Perang Peoponnesos, dan naskahnya
sendiri pendek, kemungkinan sangat selektif serta kekurangan tanggal kejadian.
Meskipun demikian, naskah Thukydides dapat, dan memang, digunakan oleh para
sejarawan untuk mereka-reka kronologi pada periode ini, yang juga ditambah dari
temuan arkeologi dan catatan dari penulis lain.
Rincian
yang lebih banyak mengenai keseluruhan periode ini disediakan oleh Plutarkhos
dalam karyanya biografi Themistokles,
Aristides dan khususnya Kimon. Plutarkhos menulis beberapa ratus tahun setelah
kejadian sehingga naskahnya adalah sumber sekunder, yang membuat peryatannya
perlu verifikasi lebih lanjut. Dalam biografinya, dia mengambil sumber langsung
dari banyak naskah sejarah kuno yang pada masa modern sudah hilang, dan dengan
demikian dia telah mencatat rincian periode yang tidak disebutkan baik oleh
Herodotos maupun Thukydides. Sumber penting terakhir untuk periode ini adalah
sejarah universal (Bibliotheke
historika) karya penulis asal Sisilia abad ke-1 SM, Diodoros Sikolos. Banyak dari
tulisan Diodoros mengenai periode ini diambil dari sejarawan Yunani yang lebih
awal, yaitu Ephoros, yang juga menulis sejarah
universal. Karya Diodoros juga merupakan sumber sekunder dan seringkali
dikritik oleh para sejarawan karena gaya dan ketidakakuratannya, namun karya
tersebut menyimpan banyak rincian periode kuno yang tidak ditemukan di sumber
mana pun.
Rincian
lainnya tersebar dan dapat ditemukan dalam Hellados Periegesis karya Pausanias,
sementara kamus Suda dari Bizantium
abad ke-10 M mencantumkan beberapa anekdot yang tidak ditemukan di sumber mana
pun. Sumber minor untuk periode ini meliputi karya-karya Pompeius Trogus (diepitomisasi oleh Justinus),
Cornelius Nepos, dan Ktesias dari Knidos (diepitomisasi
oleh Photios), yang tidak lagi berada pada bentuk teks aslinya.
Karya-karya ini kurang dipercaya (khususnya Ktesias) oleh para sejarawan dan
tidak secara khusus berguna pada rekonstruksi sejarah periode ini.
Asal mula
Orang
Yunani pada periode klasik percaya bahwa, pada zaman
kegelapan yang terjadi setelah runtuhnya peradaban Mykenai, sejumlah besar
orang Yunani berpindah ke Asia Kecil dan bermukim di sana. Pada umumnya para
sejarawan modern menerima migrasi ini sebagai sebuah peristiwa sejarah (tapi
migrasi ini berbeda dari kolonisasi yang terjadi pada masa berikutnya di
Mediterania oleh orang Yunani). Namun, ada yang percaya bahwa migrasi Ionia tidak
dapat dijelaskan sesederhana yang telah diklaim oleh orang Yunani kuno. Para
pemukim itu berasal dari tiga kelompok suku terbesar di Yunani, yaitu suku Aiolia, suku Doria, dan suku Ionia. Suku Ionia bermukim di
sekitar pesisir Lydia dan Karia, dan mendirikan dua belas kota yang membentuk Ionia. Kota-kota itu di antaranya adalah Miletos, Myos, dan Priene di Karia; Ephesos, Kolophon,
Lebedos, Teos, Klazomenae,
Phokaia, dan Erythrai di Lydia; serta Pulau Samos dan Khios. Meskipun
kota-kota Ionia masing-masing berdaulat sendiri-sendiri, tapi mereka mengakui
bahwa mereka mewarisi kebudayaan dan peradaban yang sama. Mereka diperkirakan
memiliki satu kuil utama dan tempat pertemuan tetap, disebut Panionion.
Mereka dengan demikian telah membentuk 'perkumpulan kebudayaan', yang tidak
boleh dimasuki oleh kota-kota lainnya, bahkan oleh suku Ionia lainnya.
Kota-kota
Ionia merdeka sampai mereka ditaklukkan oleh Bangsa Lydia dari Asia Kecil
bagian timur. Raja Lydia Alyattes II, menyerang Miletos, dan konflik tersebut berakhir
dengan perjanjian persekutuan antara Miletos dan Lydia, yang berarti bahwa
Miletos bebas mengurusi urusan dalam negeri tapi harus menurut pada Lydia dalam
masalah luar negeri. Pada saat itu, Lydia juga sedang berperang dengan Kekaisaran Media, dan Kota Miletos mengirim pasukan untuk
membantu Lydia dalam konflik itu. Pada akhirnya perjajian damai ditetapkan
antara Media dan Lydia, dengan Sungai Halys menjadi pembatas antara kedua kerajaan itu. Raja
Lydia yang terkenal, Kroisos,
menggantikan ayahnya, Alyattes, sekitar tahun 560 SM dan berencana menaklukkan
kota-kota Yunani lainnya di Asia Kecil.
Pangeran
Persia, Koresh memimpin sebuah
pemberontakan melawan Raja Media terakhir, Astyages, pada tahun 553 SM.
Koresh adalah cucu Astyages dan didukung oleh sebagian aristokrat Media. Pada
tahun 550 SM, pemberontakan berakhir, dan Koresh meraih kemenangan, mendirikan Kekaisaran
Persia Akhemeniyah untuk menggantikan Kekaisaran Media. Kroisos
melihat kekacauan di Kekaisaran Media dan Persia sebagai suatu kesempatan untuk
memperluas kekuasaannya. Dia terlebih dahulu bertanya pada orakel Delphi mengenai
apakah dia harus menyerang Persia atau tidak. Sang orakel memberikan jawaban
ambigu yang kemudian menjadi terkenal, yaitu bahwa "jika Kroisos
menyeberangi Halys, maka dia akan menghancurkan satu kerajaan besar."
Dibutakan oleh keambiguan ramalan itu, Kroisos pun menyerang Persia, dan
akhirnya dia dikalahkan. Lydia kemudian jatuh ke tangan Koresh.
Ketika
sedang berperang melawan Lydia, Koresh mengirim pesan kepada kota-kota Yunani
di Ionia. Dia meminta mereka untuk memberontak terhadap kekuasaan Lydia.
Permintaannya ditolak oleh orang-orang Ionia. Setelah Koresh selesai
menaklukkan Lydia, kota-kota Ionia kini menawarkan diri untuk berada di bawah
kekuasaan Persia dengan kesepakatan yang sama seperti ketika dikuasai oleh Kroisos
dari Lydia. Koresh menolak dan mengungkit-ungkit keengganan bangsa Ionia ketika
dulu mereka tidak mau membantunya. Bangsa Ionia dengan demikian bersiap-siap untuk
mempertahankan diri, dan Koresh mengirim Jenderal Media, Harpagos, untuk menaklukkan
mereka. Dia pertama-tama menyerang Phokaia; orang-orang Phokaia memutuskan
untuk meninggalkan kota mereka dan berlayar menyelamatkan diri ke Sisilia,
daripada harus tunduk di bawah kekuasaan Persia (meskipun kemudian banyak pula
yang kembali). Beberapa orang Teos juga memilih untuk bermigrasi ketika
Harpagos menyerang kota mereka, tapi bangsa Ionia di kota-kota lainnya tetap
bertahan, dan satu demi satu kota-kota Ionia ditaklukkan oleh Persia.
Setahun
setelah penaklukan itu, Persia mendapati bahwa orang Ionia sulit diatur. Di
wilayah lainnya di kekaisaran, Koresh memanfaatkan kelompok elite penduduk
pribumi untuk membantunya mengatur daerah taklukan barunya, misalnya kelompok
kependetaan Yudea. Kelompok seperti itu tidak ada di kota-kota Yunani pada masa
itu; meski biasanya ada aristokrasi, hal ini pada akhirnya berujung pada
golongan-golongan yang saling bermusuhan. Persia kemudian menempatkan seorang
tiran di tiap kota di Ionia, meskipun ini menyeret mereka ke dalam konflik
internal Ionia. Selain itu, tiran tertentu kemungkinan mengembangkan gagasan
untuk merdeka dan harus diganti. Para tiran itu sendiri menghadapi tugas yang
sulit, mereka mesti mengalihkan kebencian terburuk warganya terhadap Persia,
sambil tetap mengabdi kepada Persia. Di masa lalu, kota-kota Yunani sering
diperintah oleh tiran, tapi bentuk pemerintahan semacam itu sudah berlalu. Para
tiran pada masa lalu juga cenderung dan harus merupakan sosok pemimpin yang
tangguh dan cakap, sementara para tiran yang ditunjuk oleh Persia adalah
orang-orang yang kurang ahli memimpin. Karena didukung oleh kuatnya militer
Persia, para tiran ini tidak memerlukan dukungan penduduk lokal, dan dengan
demikian mereka dapat memerintah secara mutlak. Menjelang Perang Yunani-Persia,
ada kemungkinan bahwa penduduk Ionia merasa tidak puas dan sudah siap untuk
memberontak. Ionia, tidak seperti banyak daerah lainnya di Kekaisaran Persia,
tidak memberontak pada masa perang saudara antara masa pemerintahan Koresh dan Darius I,
dan maka dari itu ada kemungkinan bahwa orang Ionia sebenarnya tidak terlalu
merasa tidak puas terhadap kekuasaan Persia.
Peperangan di Mediterania kuno
Dalam
Perang Yunani-Persia, kedua belah pihak menggunakan infanteri bersenjatakan
tombak dan pasukan misil ringan. Pasukan Yunani mengutamakan infanteri berat,
sedangkan Persia lebih menyukai pasukan infanteri ringan.
Persia
Militer
Persia terdiri dari beragam prajurit yang didatangkan dari seluruh wilayah
kekaisaran. Namun, menurut Herodotos, setidaknya ada kesamaan dalam
persenjataan dan gaya bertempur. Prajurit Persia biasanya dipersenjatai dengan
busur dan anak panah, tombak pendek dan pedang (akinaka) atau kapak (sagaris), serta perisai tipis.
Mereka mengenakan baju zirah dari kulit, namun prajurit tingkat tinggi
mengenakan baju zirah dari logam yang memiliki kualitas lebih baik. Persia
biasanya menggunakan panah untuk mengurangi jumlah prajurit musuh, lalu
mendekat dan melancarkan serangan dengan tombak dan pedang. Barisan pertama
dalam formasi infanteri Persia, disebut 'sparabara', tidak memiliki panah,
membawa perisai yang lebih besar, dan kadang-kadang membawa tombak yang lebih
panjang. Tugas mereka adalah melindungi barisan di belakang mereka. Persia juga
memiliki pasukan elite yang oleh Herodotos disebut sebagai Pasukan Abadi. Pasukan tersebut
adalah pasukan infanteri khusus yang jumlahnya selalu tetap 10.000 prajurit.
Sementara kavaleri Persia kemungkinan bertempur sebagai kavaleri misil ringan.
Yunani
Gaya
peperangan di negara kota di Yunani, yang berasal sekitar tahun 650 SM
(berdasarkan penanggalan dari 'Guci Chigi'), dipusatkan pada phalanx hoplites yang didukung oleh
pasukan misil. Hoplites adalah prajurit pejalan kaki yang biasanya berasal dari
kelas sosial menengah (di Athena disebut zeugites), yang mampu membeli
perlengkapan yang diperlukan untuk bertempur sebagai hoplites. Perlengkapan
pelindungnya biasanya meliputi pelindung dada atau linothorax, grev (pelindung kaki), helm, dan sebuah perisai bulat
cekung yang besar dan disebut hoplon atau aspis.
Hoplites dipersenjatai dengan tombak panjang, disebut dory, yang lebih panjang daripada tombak Persia. Prajurit
Yunani juga membawa senjata pendukung berupa sebilah pedang yang disebut xiphos. Baju zirah dan perisai yang kuat serta tombak yang
lebih panjang menjadikan pasukan Yunani lebih superior dalam pertarungan jarak
dekat[44] dan memberi
perlindungan yang besar dari serangan jarak jauh. Penskirmis bersenjata ringan,
disebut psiloi, juga terdapat dalam pasukan Yunani dan semakin lama
semakin penting seiring berlangsungnya konflik melawan Persia; pada Pertempuran
Plataia, misalnya, mereka kemungkinan meliputi setengah dari pasukan Yunani. Tidak
disebutkan adanya penggunakan kavaleri oleh pihak Yunani dalam Perang
Yunani-Persia.
Peperangan laut
Pada
masa awal konflik, semua armada laut di daerah Mediterania timur memakai trireme, kapal perang yang
digerakkan oleh tiga baris dayung. Siasat perang laut yang paling umum pada
periode itu adalah menubrukkan haluan kapal ke kapal musuh, karena bagian depan
trireme dilengkapi dengan senjata pendobrak. Siasat lainnya adalah dengan memasukkan
prajurit ke kapal musuh. Armada laut yang lebih berpengalaman pada masa itu
juga mulai menggunakan manuver yang disebut diekplous. Tidak diketahui
secara jelas siasat macam apa ini, tapi kemungkinan strategi ini melibatkan
berlayar ke celah di antara kapal-kapal musuh dan kemudian menabrak kapal musuh
di bagian pinggirnya.
Armada
laut Persia disediakan terutama oleh bangsa Fenisia, bangsa Mesir kuno, bangsa Kilikia, dan bangsa Siprus. Daerah pesisir lainnya di Kekaisaran Persia
ikut mengirimkan kapal selama peperangan berlangsung.
Pemberontakan Ionia (499–493 SM)
Pemberontakan Ionia dan
pemberontakan terkait di Aiolis, Doris, Siprus,
dan Karia merupakan pemberontakan militer yang dilakukan oleh
beberapa daerah di Asia Kecil untuk menentang kekuasaan
Persia, dan berlangsung dari tahun 499 SM sampai 493 SM. Penyebab pemberontakan
ini terjadi karena kota-kota Yunani di Asia Kecil merasa tidak puas terhadap
para tiran yang ditunjuk oleh Persia untuk memerintah mereka. Para pemberontak
juga menentang tindakan individual yang dilakukan oleh dua tiran di Miletos, Histiaios dan Aristagoras. Pada tahun 499 SM, tiran Miletos
saat iru, Aristagoras, melancarkan ekspedisi gabungan bersama seorang satrap
Persia, Artaphernes, untuk menaklukkan Naxos, dengan tujuan
meningkatkan posisinya di Miletos (baik secara finansial maupun wibawa). Misi itu berakhir
dengan kegagalan, dan akibatnya Aristagoras dipecat dari jabatan tiran. Dia kemudian
memilih untuk menghasut kota-kota di Ionia untuk memberontak terhadap kaisar
Persia, Darius yang Agung.
Pada tahun 498 SM,
dengan bantuan dari Athena dan Eretria, kota-kota Ionia menyerang, menaklukkan,
dan membakar Kota Sardis. Namun, dalam perjalanan pulang mereka menuju Ionia,
mereka diikuti oleh pasukan Persia dan secara telak dikalahkan pada Pertempuran Ephesos.
Kampanye ini adalah satu-satunya tindakan ofensif yang dilakukan oleh orang
Ionia, yang selanjutnya malah menjadi tindakan defensif. Persia menanggapi pada
tahun 597 SM dengan serangan bercabang tiga yang diarahkan untuk menaklukkan
daerah-daerah di sekitar wilayah pemberontak, tapi pemberontakan menyebar ke
Karia, sehingga pasukan terbesar Persia, dipimpin oleh Darius, berpindah ke sana. Meskipun pada awalnya meraih
kesukssesan pada awal kampanye di Karia, pasukan ini kemudian disapu habis
dalam suatu penyergapan pada Pertempuran Pedasos. Hal
ini mengakibatkan terjadinya kebuntuan bagi kedua belah pihak selama sisa 496
dan 495 SM.
Pada tahun 494 SM
pasukan darat dan armada laut Persia dikumpulkan kembali, dan mereka menyerang
langsung menuju pusat pemberontakan di Miletos. Armada laut Ionia berusaha
mempertahankan Miletos di laut, tapi dikalahkan secara telak pada Pertempuran Lade, setelah orang-orang
Samos berkhianat dan balik mendukung Persia. Miletos lalu dikepung,
ditaklukkan, dan penduduknya dijadikan budak. Kekalahan ganda ini secara
efektif mengakhiri pemberontakan, dan pada akhirnya orang-orang Karia pun
menyerah kepada Persia. Pasukan Persia menghabiskan tahun 493 SM untuk membasmi
sisa-sisa pemberontakan di kota-kota di sepanjang pesisi Asia Kecil yang masih
berusaha menentang Persia, sebelum akhirnya menetapkan kesepakatan damai di
Ionia yang dianggap cukup adil.
Pemberontakan Ionia
menjadi konflik besar pertama antara Yunani dan Kekaisaran Persia Akhemeniyah
dan merupakan fase pertama dari Perang Yunani-Persia. Asia Kecil berhasil
dikuasai kembali oleh Persia, namun Darius bersumpah untuk menghukum Athena dan
Eretria atas bantuan mereka pada para pemberontak. Selain itu, Darius melihat
bahwa situasi politik di Yunani dapat membawa ancaman terhadap kestabilan kekaisaran,
maka dia pun berencana menaklukkan seluruh Yunani.
Invasi pertama ke Yunani (492–490 SM)
Setelah menaklukkan Ionia, Persia memulai merencanakan
gerakan mereka selanjutnya, yaitu memusnahkan ancaman dari Yunani terhadap
kekaisaran dan menghukum Athena serta Eretria. Hal ini berujung pada invasi pertama Persia ke Yunani, yang terdiri dari dua
kampanye utama
492 SM: Kampanye Mardonios
Kampanye
pertama, pada tahun 492 SM, dipimpin oleh menantu Darius, Mardonios, yang kembali menduduki Thrakia, yang menjadi bagian dari
Kekaisaran Persia sejak tahun 513 SM. Mardonios berhasil memaksa Makedonia untuk menjadi kerajaan
klien Persia. Sebelumnya Makedonia sudah menjadi sekutu Persia tapi sebagai
negara merdeka. Akan tetapi, perkembangan lebih lanjut dalam kampanye ini
terhalangi ketika armada laut Mardonus dihancurkan oleh badai di pesisir Gunung Athos. Mardonios sendiri
terluka dalam sebuah serangan ke perkemahannya oleh satu suku Thrakia. Setelah
itu, Mardonios bersama sisa-sisa pasukannya kembali ke Asia.
Setahun
kemudian, setelah menyusun rencana secara cermat, Darius mengirim utusan ke
semua negara kota di Yunani dan meminta mereka untuk menyerah pada Persia.
Hampir semua negara kota Yunani tunduk pada Darius, kecuali Athena dan Sparta. Kedua negara kota itu bahkan membunuh utusan Darius.
Karena Athena masih menentangnya, dan kini Sparta juga menyatakan perang
melawannya, maka Darius memerintahkan dilaksanakannya kampanye militer lagi
setahun kemudian.
490 SM: Kampanye Datis dan Artaphernes
Pada
tahun 490 SM, Datis dan Artaphernes (putra satrap Artaphernes) diberikan komando
untuk memimpin serangan invasi amfibi, dan mereka pun berlayar dari Kilikia. Dari Kilikia, pasukan
Persia pertama-tama berlayar menuju Pulau Rhodos, tempat Kronik Kuil Lindos mencatat bahwa Datis
mengepung Kota Lindos, tapi tidak berhasil. Armada Persia kemudian bergerak
ke Naxos, untuk menghukum orang-orang Naxos atas perlawanan mereka terhadap
ekspedisi Persia yang gagal satu dekade sebelumnya. Banyak warganya yang kabur
ke pegunungan, sedangkan penduduk yang tertangkap dijadikan budak. Pasukan
Persia lalu membakar kota dan kuil di Naxos. Armada Persia kemudian
menyeberangi Laut Aigea untuk menuju Eretria. Dalam perjalanannya, pasukan
Persia mengambil sandera dan pasukan dari tiap pulau yang mereka singgahi.
Pasukan
Persia berlayar ke Euboia, dan bergerak menuju target
utama mereka yang pertama, Eretria. Orang Eretria tidak berusaha untuk mencegah
pasukan Persia berlabuh dan berarak menuju kota mereka, Akibatnya pasukan
Persia dapat mengepung
Eretria. Selama enam hari, pasukan Persia menyerang dinding
pertahanan Eretria dan kerugian dialami oleh kedua belah pihak; Namun, pada
hari ketujuh, dua orang Eretria yang terkemuka membuka gerbang. Mereka
berkhianat dan menyerahkan kota kepada pasukan Persia. Kota itu dihancurkan,
dan kuil serta suaka suci dijarah dan dibakar. Selain itu, sesuai perintah
Darius, semua penduduk kota dijadikan budak.
Pertempuran Marathon
Selanjutnya
armada Persia bergerak ke selatan menuju Pesisir Attika. Mereka berlabuh di Pantai Marathon, sekitar 25 mil
(40 km) dari Kota Athena. Di bawah panduan Miltiades, seorang jenderal yang
punya banyak pengalaman berperang melawan orang Persia, pasukan Athena bergerak
untuk menghalangi dua jalur keluar dari daratan Marathon. Kebuntuan berlangsung
selama lima hari, sebelum akhirnya pasukan Athena (untuk alasan yang tidak
diketahui) memutuskan untuk menyerang pasukan Persia. Meskipun pasukan Persia
memiliki prajurit yang jauh lebih banyak, namun hoplites Yunani terbukti efektif
melawan infanteri ringan Persia. Pasukan Yunani memukul mundur kedua sayap
pasukan Persia sebelum kemudian megacak-acak bagian tengahnya. Sisa-sisa
pasukan Persia kabur ke kapal mereka dan meninggalkan pertempuran. Herodotos
mencatat bahwa sekitar 6.400 mayat prajurit Persia ditemukan di tempat
pertempuran, sedangkan pasukan Athena hanya kehilangan 192 pprajurit.
Segera
setelah pasukan Persia yang selamat bergerak ke laut, pasukan Athena dengan
cepat berjalan kembali ke kota Athena. Pasukan Athena tiba tepat waktu untuk
mencegah Artaphernes berlabuh di Kota Athena. Menyadari bahwa kesempatannya
sudah hilang, Artaphernes pun mengakhiri kampanye ini dan kembali ke Asia.
Pertempuran
Marathon merupakan titik balik pada Perang Yunani-Persia, dan menunjukkan bahwa
pasukan Persia dapat dikalahkan. Peristiwa itu juga menunjukkan keunggulan
hoplites Yunani, yang bersenjata lebih berat, dan memperlihatkan bahwa hoplites
sangat potensial jika digunakan secara tepat. Pertempuran Marathon barangkali
sekarang lebih terkenal sebagai asal usul untuk balapan Marathon.
Masa jeda (490–480 SM)
Persia
Setelah
gagal pada invasi pertamanya, Darius mulai membangun pasukan yang lebih besar
untuk benar-benar menaklukkan Yunani; namun pada tahun 486 SM Mesir melakukan
pemberontakan terhadap Persia sehingga ekspedisi ke Yunani harus ditunda.
Darius meninggal ketika sedang bersiap untuk bergerak ke Mesir, dan takhta
Persia beralih kepada putranya Xerxes I.
Xerxes menumpas pemberontakan Mesir, dan dengan cepat mempersiapkan kembali
pasukan untuk menyerang Yunani lagi. Karena ini adalah invasi berskala besar,
maka dibutuhkan perencanaan, pengumpulan perbekalan, dan persiapan prajurit
yang cukup lama. Xerxes memutuskan bahwa Hellespontos akan menjadi jalur
bagi pasukannya untuk menyeberang ke Eropa, dan kanal harus digali menyeberangi
tanah genting di Gunung
Athos (armada Persia pernah dihancurkan pada tahun 492 SM ketika
berusaha memutari garis pantai ini). Rencana Xerxes merupakan proyek luar biasa
yang belum pernah dilakukan siapapun pada masanya. Namun, kampanye harus
tertunda selama satu tahun karena terjadi pemberontakan lagi di Mesir dan Babilonia.
Persia
bersimpati kepada beberapa negara kota Yunani, termasuk Argos, yang berjanji akan memihak Persia begitu pasukan
Persia mencapai perbasatan mereka. Keluarga Aleuadai, yang memerintah kota Larissa di Thessalia, melihat invasi ini
sebagai sebuah kesempatan untuk memperluas kekuasaan mereka.[93] Sementara Thebes, meskipun tidak secara
terang-terangan bersekutu dengan Persia, diduga bersedia membantu pasukan
Persia begitu invasi tiba.
Pada
tahun 481 SM, setelah sekitar empat
tahun persiapan, Xerxes mulai mengumpulkan pasukannya untuk menyerang Eropa. Herodotos
memberikan daftar nama 46 bangsa yang prajuritnya menjadi bagian dalam pasukan
Xerxes. Pasukan Persia berkumpul di Asia Kecil pada musim panas dan musim gugur
tahun 481 SM. Pasukan dari kesatrapan timur berkumpul di Kritala, Kappadokia dan dipimpin oleh Xerxes ke Sardis. Di sana mereka
menghabiskan musim dingin. Pada awal musim semi, pasukan bergerak ke Abydos,
dan mereka bergabung dengan pasukan dari kesatrapan barat. Lalu pasukan yang
telah dikumpulkan oleh Xerxes itu berarak menuju Eropa, menyeberangi
Hellespontos melalui dua jembatan
ponton.
Jumlah Pasukan Persia
Jumlah
prajurit yang dikumpulkan oleh Xerxes pada invasi kedua ke Yunani telah menjadi
tema perdebatan yang tiada akhir. Sebagian besar sejarawan modern menolak
jumlah 2,5 juta prajurit yang ditulis oleh Herodotos serta para penulis kuno
lainnya, karena jumlah tersebut tidak realistis, selain itu pihak pemenang
sangat mungkin telah melakukan miskalkulasi dan membesar-besarkan jumlah
pasukan musuh. Topik ini banyak diperdebatkan, tapi kesepakatan para sejarawan
berkisar sekitar 200.000 prajurit.
Jumlah
armada laut Persia juga dipertentangkan, meski tidak sesering pasukan daratnya.
Para penulis kuno lainnya setuju dengan angka yang diberikan oleh Herodotos,
yaitu 1.207 kapal. Jumlah ini menurut standar kuno cukup konsisten, dan dapat
ditafsirkan bahwa jumlahnya sekitar 1.200 kapal. Di antara para sejarawan
modern, beberapa ada yang menerima jumlah ini, meskipun tetap berpendapat bahwa
jumlahnya lebih sedikit pada Pertempuran
Salamis. Karya-karya terkini lainnya mengenai Perang Yunani-Persia
menolak angka ini, dan melihat bahwa 1.207 merupakan peniruan dari jumlah kapal
armada gabungan Yunani dalam Iliad. Karya-karya
itu secara umum mengklaim bahwa Persia mengirimkan tidak lebih dari 600 kapal
perang menyeberangi Laut Aigea.
Yunani
Athena
Setahun
setelah peristiwa di Marathon, pahlawan Athena, Miltiades, terluka dalam suatu
pertempuran kecil. Mengambil kesempatan dari hal ini, keluarga Alkmaionidai yang berpengaruh,
menyusun rencana supaya dia dihukum. Miltiades diberikan denda yang besar atas
kejahatan 'menipu rakyat Athena', tapi dia meninggal seminggu kemudian karena
lukanya.
Politisi
Themistokles, yang dasar
kekuasaannya secara kuat tertanam di kalangan orang miskin, mengisi kekosongan
yang ditinggalkan oleh Miltiades, dan pada dekade berikutnya dia menjadi
politisi paling berpengaruh di Athena. Pada periode ini, Themistokles terus
berupaya supaya Athena mengembangkan kekuatan lautnya. Rakyat Athena sadar
selama masa itu bahwa Persia masih ingin menguasai Yunani, dan kebijakan laut
Themistokles kemungkinan dilihat dalam ancaman potensial dari Persia.
Aristides, lawan politik Themistokles, dan orang yang terkemuka dari zeugites
(kelas sosial atas atau kelas hoplites) dengan keras menentang kebijakan
Themistokles.
Pada
tahun 483 SM, lapisan perak yang besar ditemukan di pertambangan Athena di
Laurion. Themistokles mengusulkan supaya perak itu digunakan
untuk membangun armada kapal trireme baru. Supaya usulannya diterima,
Themistokles berbohong dan mengatakan bahwa Athena membutuhkan armada tambahan
untuk mendukung peperangan melawan Aigina. Plutarkhos
berpendapat bahwa Themistokles secara berahti-hati tidak menyebut-nyebut Persia
karena ancaman dari Persia masih terlalu jauh dari Athena untuk ditanggapi,
tapi Themistokles memang memaksudkan armada tambahan itu untuk menghadapi
Persia. Fine berpendapat bahwa banyak orang Athena yang mengakui bahwa armada
laut tambahan memang dibutuhkan untuk menahan Persia, yang persiapan kampanye
militernya belum diketahui. Usulan Themistokles dengan mudah disetujui,
meskipun mendapat tentangan keras dari Aristides. Lolosnya usulan itu
kemungkinan karena banyaknya orang Athena yang ingin memperoleh bayaran dengan
menjadi pendayung kapal. Tidak diketahui dari sumber kuno apakah 100 atau 200
kapal yang pada awalnya disetujui; baik Fine maupun Holland berpendapat bahwa
pada awalnya 100 kapal disetujui lalu jumlah ini bertambah sampai seperti yang
ada pada invasi kedua. Aristides terus-menerus menetang kebijakan Themistokles,
dan ketegangan di antara kedunya terus meningkat, jadi ostrakisme pada tahun 482 SM menjadi kontes langsung
antara Themistokles dan Aristides. Dalam apa yang Holland sebut sebagai, pada
dasarnya, referendum pertama di dunia, Aristides diostrakisasi, dan kebijakan
Themistokles disahkan. Dan memang, karena semakin menyadari persiapan Persia
untuk melakukan invasi kedua, rakyat Athena memilih untuk membuat kapal lebih
banyak daripada permintaan Themistokles. Dengan demikian, menjelang invasi
Persia, Themistokles telah menjadi politisi terkemuka di Athena.
Sparta
Raja
Sparta Demaratos dijatuhkan dari
takhtanya pada tahun 492 SM, dan digantikan oleh sepupunya Leotykhides. Setelah tahun 490 SM, Demaratos yang merasa
sakit hati kemudian memilih mengasingkan diri. Dia sampai di istana Darius di Susa. Sejak itu Demaratos menjadi penasihat Darius untuk
urusan Yunani. Ketika Xerxes naik takhta, Demaratos terus bertugas sebagai
pensihat. Dia bahkan ikut menemani Xerxes pada invasi kedua Persia. Pada akhir
buku 7 Herodotos, ada sebuah anekdot yang berkaitan dengan invasi kedua,
diceritakan Demaratos mengirimkan lembaran kayu berlapis lilin kosong ke Sparta.
Ketika lilinnya dihilangkan, sebuah pesan terlihat. Pesan tersebut diukir pada
kayu yang dilapisi lilin itu dan isinya adalah memperingatkan Sparta mengenai
rencana Xerxes. Akan tetapi, banyak sejarawan percaya bahwa bab ini dimasukkan
ke dalam tulisan Herodotos oleh penulis pada masa selanjutnya, kemungkinan
untuk mengisi kekosongan antara akhir buku 7 dan awal buku 8. Kebenaran
kisah tersebut dengan demikian tidak diketahui secara pasti.
Persekutuan Yunani
Pada
tahun 481 SM, Xerxes mengirim utusan ke seluruh Yunani untuk meminta tanah dan
air sebagai lambang penyerahan diri, tapi utusan-utusannya secara sengaja tidak
datang ke Athena dan Sparta. Dengan demikian dukungan mulai diberikan kepada
dua negara ini. Kongres negara kota diadakan di Korinthos pada akhir musim gugur
pada tahun 481 SM, dan aliansi konfederasi negara kota Yunani dibentuk.
Konfederasi ini memiliki kekuasaan untuk mengirim utusan untuk meminta bantuan
dan untuk menarik pasukan dari tiap negara anggotanya demi membentuk pasukan
gabungan. Herodotos tidak menyebut nama persekutuan itu tetapi hanya
menyebutnya "οἱ Ἕλληνες"
(bangsa Yunani) dan "orang Yunani yang bersekutu" (terjemahan Godley)
atau "orang Yunani yang bersatu" (terjemahan Rawlinson). Setelah itu,
mereka disebut sebagai 'Sekutu'. Sparta dan Athena berperan penting dalam
kongres tersebut tapi minat negara kota lainnya juga ikut menentukan dalam
mewujudkan strategi pertahanan. Hanya sedikit yang diketahui tentang pekerjaan
internal mengenai diskusi kongres dalam pertemuannya. Hanya 70 dari sekitar 700
negara kota Yunani yang mengirim perwakilan. Meskipun demikian, persatuan ini
sangat penting bagi dunia Yunani yang terpecah-pecah, khususnya karena banyak
negara kota Yunani yang pada saat itu masih saling berperang satu sama lain.
Invasi kedua ke Yunani (480–479 SM)
Awal 480 SM: Thrakia, Makedonia, dan Thessalia
Setelah
menyeberang ke Eropa pada bulan April 480 SM, pasukan Persia mulai memasuki
Yunani, dan memakan waktu tiga bulan untuk berjalan tanpa halangan dari
Hellespontos ke Therme. Mereka berhenti sejenak di Doriskos, di sana mereka bergabung dengan armada laut. Xerxes
mereorganisasi pasukan menjadi unit-unit taktis menggantikan formasi nasional
yang sebelumnya digunakan untuk berjalan dari Persia.
Persekutuan
Yunani kembali melakukan pertemuan pada musim semi tahun 480 SM dan setuju
untuk mempertahankan Lembah Tempe di perbatasan Thessalia dan menghalangi gerak
maju Xerxes. Akan tetapi, begitu tiba di sana, mereka diperingatkan oleh Alexandros
I dari Makedonia bahwa lembah tersebut dapat dilewatkan oleh pasukan
Persia dan bahwa pasukan Xerxes terlalu besar, sehingga pasukan Yunani pun
mundur. Tidak lama setelah itu, mereka mendapat berita bahwa Xerxes telah
menyeberangi Hellespontos. Pada titik ini, strategi kedua diusulkan oleh
Themistokles kepada persekutuan Yunani. Rute menuju Yunani selatan (Boiotia, Attika, dan Peloponnesos) membuat Xerxes harus
berjalan melalui celah sempit di Thermopylae. Celah tersebut dapat
dengan mudah ditutupi oleh hoplites Yunani, meskipun pasukan Persia jauh lebih
banyak. Selain itu, guna mencegah pasukan Persia lewat melalui jalur lainnya,
maka armada laut Athena dan sekutu akan menjaga Selat Artemision. Strategi ganda ini
diterima oleh persekutuan Yunani. Namun, kota-kota Peloponnesos membuat rencana
gerak-mundur untuk mempertahankan Tanah genting Korinthos jika
diperlukan, sementara wanita dan anak-anak Athena dievakuasi ke Kota Troezen di Peloponnesos.
Agustus 480 SM: Pertempuran Thermopylae dan Artemision
Perkiraaan waktu kedatangan Xerxes bertepatan dengan
waktu Olimpiade dan festival Karneia.
Bagi rakyat Sparta, perang tidak boleh dilakukan pada periode tersebut.
Meskipun waktunya tidak tepat, rakyat Sparta merasa bahwa ancaman Persia begitu
besar sehingga mereka mengirimkan raja mereka Leonidas I bersama pengwal
pribadinya (Hippeis) yang terdiri dari 300 prajurit. Prajurit muda dalam
pasukan itu digantikan oleh veteran yang sudah memiliki anak. Dengan demikian,
jikalau mereka mati pada pertempuran nanti, garis keturunan mereka tetap dapat
berlanjut. Leonidas dibantu oleh kontingen dari kota-kota sekutu di
Peloponnesos dan juga dari kota-kota sekutu yang disinggahi dalam perjalanan ke
Thermopylae. Pasukan Yunani tiba di celah itu, membangun kembali tembok yang
pernah dibangun oleh orang Phokis
di titik tersempit di celah itu, lalu menanti kedatangan pasukan Xerxes.
Ketika
pasukan Persia tiba di Thermopylae pada pertengahan Agustus, selama tiga hari
mereka menunggu pasukan Yunani untuk membubarkan diri. Ketika Xerxes sadar
bahwa pasukan Yunani memang berniat mempertahankan celah itu, dia kemudian
mengirimkan pasukannya. Namun, posisi pasukan Yunani sangat ideal untuk
peperangan hoplites. Kontingen Persia dipaksa
untuk menyerang phalanx
Yunani. Pasukan Yunani bertahan selama dua hari penuh menghadapi serangan
Persia, termasuk serangan dari pasukan elite Persia, Pasukan Abadi. Menjelang akhir
hari kedua, pasukan Yunani dikhianati oleh seorang penduduk lokal bernama Ephialtes,
yang memberitahu Xerxes tentang jalan gunung yang terletak di belakang pasukan
Yunani. Pengintai Yunani melihat bahwa pasukan Persia hendak mengepung pasukan
Yunani, maka dari itu Leonidas memerintahkan sebagian besar prajurit untuk
mundur, sedangkan sisanya, sekitar 2.000 orang, dengan dipimpin olehnya, akan terus
mempertahankan celah. Pada hari terakhir, sisa-sisa pasukan Yunani mencoba
membunuh sebanyak mungkin prajurit Persia namun pada akhirnya mereka semua
dibunuh atau ditangkap. Perlawanan terakhir pasukan Yunani di bawah pimpinan
Leonidas itu menjadi salah satu perlawanan terakhir paling terkenal dalam
sejarah.
Bersamaan
dengan Pertempuran di Thermopylae, armada laut Yunani yang terdiri dari 271
trireme, berusaha mempertahankan Selat Artemision melawan Persia,
sekaligus melindungi pasukan Yunani di Thermopylae. Di sini, armada laut Yunani
menahan Persia selama tiga hari. Pada petang hari ketiga, armada laut Yunani
menerima kabar tentang kekalahan Leonidas dan pasukannya di Thermopylae. Karena
armada laut Yunani sudah mengalami banyak kerusakan, dan karena Thermopylae
sudah tak perlu lagi dilindungi, maka armada laut Yunani akhirnya mundur dari
Artemision ke Pulau
Salamis.
September 480 SM: Pertempuran Salamis
Kekalahan Yunani di Thermopylae membuat Boiotia jatuh ke tangan
Xerxes; dan membuat Attika terbuka lebar untuk diserang. Sisa penduduk Athena
dievakuasi, dengan bantuan armada Yunani, ke Salamis. Pasukan Yunani di
Peloponnesos mulai bersiap untuk mempertahankan garis pertahanan di Tanah
Genting Korinthos, membangun dinding dan menghancurkan jalan dari Megara, membiarkan Kota Athena dimasuki
pasukan Persia. Dengan demikian Athena jatuh ke tangan Persia; sekelompok kecil
orang Athena berusaha melindungi Akropolis dan pada akhirnya
dikalahkan. Xerxes lalu memerintahkan supaya Athena dihancurkan dan Akropolis
dibakar.
Persia
kini menguasai sebagian besar Yunani, tapi Xerxes barangkali tidak menduga akan
mendapat perlawanan sekeras itu; prioritasnya kini adalah menyelesaikan perang
secepat mungkin. Jika Xerxes dapat memusnahkan angkatan laut Yunani, maka dia
akan berada pada posisi yang kuat untuk memaksa Yunani menyerah; Di pihak
Yunani, Themistokles berharap, dengan menghancurkan angkatan laut Persia, maka
penaklukan total oleh Persia dapat dicegah. Armada laut Yunani dengan demikian
tetap berada di lepas pantai Salamis hingga September, meskipun Persia akan
segera datang. Bahkan setelah Athena jatuh, sisa-sisa armada laut Yunani tetap
bertahan di Salamis, mencoba memancing armada Persia untuk bertempur. Sebagian
karena ditipu oleh Thmistokles, armada Persia memasuki Selat Salamis. Di selat
yang sempit itu, kapal Persia yang terlalu banyak justru menjadi rintangan,
karena kapal-kapal mereka menjadi sulit bermanuver dan tidak terorganisir.
Melihat kesempatan ini, armada laut Yunani menyerang dan meraih kemenangan
telak atas Persia. Mereka menenggelamkan atau menangkap setidaknya 200 kapal.
Dengan demikian, Peloponessos tetap aman.
Berdasarkan
Herodotos, setelah kekalahan itu Xerxes sempat berupaya membangun jalan
melintasi kanal untuk menyerang para pengungsi Athena di Salamis, tapi proyek
ini dengan segera dihentikan. Dengan hilangnya kekuatan laut Persia, Xerxes
merasa takut bahwa pasukan Yunani akan berlayar ke Hellepontos dan
menghancurkan jembatan pontonnya. Jika jembatan itu dihancurkan, maka pasukan
darat Persia akan terjebak di Yunani. Jenderalnya, Mardonios, bersedia tetap
tinggal di Yunani dan menyelesaikan sisa penaklukan dengan sekumpulan pasukan
yang dipilihnya sendiri, sementara Xerxes kembali ke Asia bersama sebagian
besar pasukannya. Mardonios melewati musim dingin di Boiotia dan Thessalia;
dengan demikian, rakyat Athena dapat kembali ke kota mereka, yang sudah
dibakar, pada musim dingin.
Juni 479 SM: Pertempuran Plataia dan Mykale
Seusai
musim dingin, muncul ketegangan di pihak Yunani. Khususnya, orang Athena, yang
tidak dilindungi oleh tanah genting, padahal armada laut Athena merupakan kunci
diamankannya Peloponessos. Merasa tidak puas, Athena menolak ikut serta dalam
armada laut Yunani pada musim semi. Mardonios bertahan di Thessalia,
karena dia tahu bahwa tak ada gunanya menyerang tanah genting. Di lain pihak,
pasukan Yunani juga tidak mau mengirim tentara keluar dari Peloponnesos,
sehingga terjadilah kebuntuan. Mardonios bergerak untuk memecah kebuntuan,
dengan menawarkan perdamaian kepada Athena, menggunakan Alexandros
I dari Makedonia sebagai penengah. Rakyat Athena memastikan bahwa
delegasi Sparta mendengar tawaran itu, lalu kemudian menolaknya. Dengan
demikian, Athena lagi-lagi harus dievakuasi, dan pasukan Persia bergerak ke selatan
lalu kembali menguasai Athena. Mardonios kini kembali menawarkan perdamaian
kepada para pengungsi Athena di Salamis. Athena, bersama Megara dan Plataia,
mengirim utusan ke Sparta untuk meminta bantuan, dan mengancam akan menerima
tawaran Persia jika Sparta tidak mau menolong. Sebagai tanggapannya, Sparta
mengirim sejumlah besar pasukan dari kota-kota Peloponnesos dan bergerak menuju
pasukan Persia
Ketika
Mardonius mengetahui bahwa pasukan persekutuan Yunani sudah bergerak, dia pun
mundur ke Boiotia, di dekat Plataia, dan berusaha memancing pasukan Yunani ke
daerah terbuka supaya dia dapat menggunakan kavalerinya. Pasukan Yunani, di
bawah komando Pausanias, bertahan di dataran tinggi di atas Plataia supaya
mereka tidak terjebak oleh strategi Persia. Setelah beberapa hari terjadi
kebuntuan, Pausanis memerintahkan pasukan Yunani untuk mundur ke posisi asalnya
pada malam hari. Gerakan mundur ini terjadi secara kacau, dan membuat pasukan
Athena, Sparta, serta Tegea terjebak di bukit tertutup, sementara
kontingen-kontingen lainnya tersebar terpisah-pisah di dekat Plataia. Melihat
keadaan ini, pasukan Persia merasa bahwa ini adalah saat yang tepat untuk
menyerang. Mardonios memerintahkan seluruh pasukannya untuk maju. Namun,
infanteri Persia terbukti tidak dapat menandingi hoplites Yunani yang
bersenjata berat, dan pasukan Sparta berhasil mendobrak barisan pengawal
Mardonios lalu membunuhnya. Setelah itu, pasukan Persia menjadi panik dan
kocar-kacir; 40.000 prajurit berhasil menyelamatkan diri melalui jalan ke
Thessalia, tapi sisanya kabur ke ke perkemahan Persia dan di sana mereka
dikepung lalu dibantai oleh pasukan Yunani. Peristiwa ini sekaligus memastikan
kemenangan Yunani.
Herodotos
menceritakan bahwa, pada sore hari dalam Pertempuran Plataia, rumor mengenai
kemenangan Yunani didengar oleh armada laut Yunani, yang ketika itu sedang
berada di lepas pantai Gunung Mykale di
Ionia. Semangat mereka langsung meningkat, dan armada laut Yunani maju untuk
melawan armada Persia di sana. Dalam Pertempuran
Mykale itu, yang berlangsung pada hari yang sama dengan Pertempuran
Plataia, pasukan Yunani meraih kemenangan dan menghancurkan sisa-sisa angkatan
laut Persia, sekaligus melumpuhkan kekuatan laut Xerxes, dan menandai
kebangkitan angkatan laut Yunani. Sementara para sejarawan modern meragukan
apakah peristiwa di Mykale benar-benar terjadi pada hari yang sama dengan
peristiwa di Plataia, namun Pertempuran Mykale hanya dapat terjadi setelah
armada laut Yunani menerima berita dari Plataia.
Serangan balik Yunani (479–478 SM)
Mykale dan Ionia
Peristiwa
di Mykale menjadi awal dari fase baru dalam konflik Yunani-Persia, yang mana
pihak Yunani mulai melakukan ofensif terhadap Persia. Kemenangan Yunani di
Mykale menyebabkan kota-kota Yunani di Asia kecil kembali memberontak. Orang
Samos dan orang Miletos telah secara aktif bertempur melawan Persia di Mykale,
dan secara terbuka menyatakan pemberontakan mereka, yang kemudian diikuti pula
oleh kota-kota lainnya.
Sestos
Tidak
lama setelah peristiwa di Mykale, pasukan Yunani berlayar ke Hellespontos untuk
menghancurkan jembatan ponton, tapi mereka mendapati bahwa jembatan itu
ternyata sudah tidak ada. Armada Peloponnesos lalu berlayar kembali ke Yunani,
tapi pasukan Athena tetap berada di sana untuk menyerang Khersonesos, yang masih dikuasai oleh Persia. Pasukan Persia
dan sekutu mereka berjaga di Sestos, kota terkuat di daerah itu. Di antara mereka adalah Oiobazos dari Kardia, yang memiliki tali dan berbagai perlengkapan lainnya
bekas dari jembatan ponton Persia. Gubernur Persia di sana, yaitu Artayktes, tidak pernah bersiap untuk menghadapi suatu
pengepungan, karena dia percaya bahwa pasukan Yunani tidak akan menyerang.
Dengan demikian, pasukan Athena dapat melakukan pengepungan terhadap Kota
Sestos. Pengepungan itu berlangsung selama beberapa bulan, dan menyebabkan
banyak ketegangan serta ketidakpuasan bahkan di kalangan pasukan Athena
sendiri, tapi pada akhirnya kota itu kehabisan makanan dan pasukan Persia yang
ada di sana melarikan diri pada malam hari melalui tempat yang penjagaannya
kurang. Dengan demikian, Athena dapat menguasai kota itu keesokan hari.
Sebagian
besar prajurit Athena dikirim untuk mengejar pasukan Persia yang kabur.
Kelompok Oiobazos ditangkap oleh satu suku Thrakia, dan Oiobazos sendiri
dikorbankan untuk dewa Plistoros. Sementara itu pasukan Athena berhasil menangkap
Artayktes, dan membunuh beberapa prajurit Persia yang ada bersamanya, tapi
pasukan Athena menawan sebagian besar dari mereka, termasuk Artayktes.
Artayktes disalibkan atas permintaan warga Elaios, sebuah kota yang pernah dijarah oleh Artayktes.
Setelah tak ada lagi urusan di Sestos, pasukan Athena pun berlayar pulang, dan
tidak lupa mereka membawa tali dari jembatan ponton Persia sebagai trofi
kemenangan atas Persia.
Siprus
Pada
tahun 478 SM, perjanjian persekutuan di Yunani masih berlangsung, dan mereka mengirim
sebuah armada yang terdiri dari 20 kapal dari Peloponnesos serta 30 kapal
Athena, dengan tujuan mendukung kota-kota sekutu yang jumlahnya tidak
diketahui. Armada itu dipimpin oleh Pausanias. Menurut Thukydides, armada ini
berlayar ke Siprus dan "menduduki
sebagian besar pulau tersebut".[170] Tidak diketahui secara
pasti apa maksud Thukydides. Sealey berpendapat bahwa ini pada dasarnya adalah
penyerangan untuk menjarah sebanyak mungkin harta dari garnisun Persia di
Siprus. Ada dugaan bahwa pasukan Yunani berniat untuk menguasai pulau tersebut,
dan tidak lama setelah itu, mereka berlayar ke Byzantion. Yang jelas, fakta
bahwa Liga Delos berulang kali melakukan kampanye militer di Siprus menunjukkan
bahwa di pulau itu tidak didirikan garnisun oleh Yunani pada tahun 478 SM, dan
jikapun ada garnisun Yunani, maka kemungkinan besar garnisun itu dengan cepat
diusir.
Byzantion
Armada
Yunani berlayar ke Byzantion,
yang kemudian mereka kepung, dan pada akhirnya mereka kuasai.[170] Kendali atas Sestos
dan Byzantion menjadikan pasukan Yunani memiliki kuasa atas selat antara Eropa
dan Asia (yang penah dilalui oleh Persia), dan memungkinkan mereka mengakses
jalur perdagangan di Laut
Hitam.
Akibat
dari pengepungan itu terbukti membawa masalah bagi Pausanias. Tidak diketahui
secara jelas apa yang terjadi; Thukydides memberi sedikit rincian, meskipun
penulis pada masa berikutnya menambahkan banyak tuduhan mengerikan. Melalui
arogansi dan tindakannya yang semena-mena (Thukydides menyebutnya
"kekejaman"), Pausanias berhasil mengucilkan banyak kontingen pasukan
Yunani, khusunya yang baru saja bebas dari kekuasaan Persia. Orang-orang Ionia
dan beberapa lainnya meminta Athena untuk mengambil alih kepemimpinan kampanye,
dan Athena menyetujui hal ini. Sparta, setelah mengetahui perilaku Pausanias,
segera memanggilnya dan mengadilinya atas tuduhan bekerja sama dengan musuh.
Meskipun Pausanias dibebaskan, tapi reputasinya sudah rusak dan dia tak lagi
diizinkan memimpin pasukan Yunani.
Pausanias
kembali ke Byzantion sebagai warga negara pada tahun 477 SM, dan menguasai kota
itu sampai dia diusir oleh orang Athena. Dia lalu menyeberangi Bosporus dan bermukim di Kolonai di Troad, sampai
kemudian dia lagi-lagi dituduh bekerja sama dengan Persia. Dia dipanggil lagi
ke Sparta dan kembali diadili. Setelah itu, dia membuat dirinya kelaparan
sampai mati. Waktu kejadiannya tidak jelas, tapi Pausanias mungkin menguasai
Byzantion sampai tahun 470 SM.
Peperangan Liga Delos (477–449 SM)
|
Liga Delos
Setelah
peristiwa Byzantion, Sparta diduga sangat ingin mengehentikan keterlibatan
mereka dalam perang. Sparta berpendapat bahwa dengan dibebaskannya Yunani
daratan dan kota-kota Yunani di Asia Kecil, maka tujuan perang sudah tercapai.
Selain itu, Sparta juga kemungkinan merasa bahwa tidak mungkin memberi keamanan
jangka panjang untuk kota-kota Yunani di Asia. Setelah peristiwa di Mykale,
Raja Sparta Leotykhides sudah mengusulkan untuk memindahkan seluruh orang
Yunani dari Asia Kecil ke Eropa sebagai satu-satunya cara yang permanen untuk
membebaskan mereka dari ancaman Persia. Xanthippos, komandan Athena di Mykale, secara keras menolak
usulan ini. Kota-kota Ionia pada awalnya merupakan koloni Athena, dan
menurutnya, orang Athenalah yang akan melindungi kota-kota Ionia. Pada saat
inilah, kepemimpinan pasukan Yunani mulai secara efektif beralih kepada Athena.
Dengan mundurnya Sparta dari Byzantion, kepemimpinan Athena atas pasukan Yunani
semakin terlihat jelas.
Persekutuan
negara kota Yunani yang longgar yang telah bertempur melawan invasi Xerxes, dulu
didominasi oleh Sparta bersama Liga Peloponnesosnya. Kini dengan
penarikan mundur Sparta dan sekutu-sekutunya, kongres negara kota kembali
diselengarakan di Pulau Delos yang suci untuk membentuk sebuah persekutuan baru untuk
melanjutkan perlawanan terhadap Persia. Persekutuan baru ini meliputi banyak
negara kota di Aigea dan secara formal didirikan sebagai 'Persekutuan Athena
Pertama', lebih dikenal sebagai Liga Delos. Menurut Thukydides,
tujuan resmi liga ini adalah untuk "membalas penderitaan dengan cara
menghancurkan wilayah kaisar [Persia]". Pada kenyataannya, tujuan ini
dibagi menjadi tiga usaha utama—mempersiapkan invasi pada masa depan, memberi
pembalasan kepada Persia, dan mengatur pembagian harta rampasan perang. Tiap
anggotanya boleh memilih untuk menyediakan pasukan bersenjata atau membayar
pajak, yang disimpan sebagai kas bersama; sebagian besar negara kota memilih
untuk membayar pajak.
Kampanye melawan Persia
Sepanjang
tahun 470-an SM, Liga Delos melakukan kampanye militer di Thrakia dan Aigea
untuk menumpas sisa-sisa garnisun Persia dari daerah itu, terutama di bawah
komando politisi Athena, Kimon. Pada awal dekade berikutnya, Kimon mulai melakukan
kampanye militer di Asia
Kecil, berupaya untuk menguatkan posisi Yunani di sana. Pada Pertempuran
Eurymedon di Pamphylia, pasukan Athena dan armada sekutunya meraih
kemenangan ganda yang sangat telak, mereka menghancurkan armada laut Persia dan
kemudian melabuhkan pasukan daratnya, yang juga berhasil mengalahkan pasukan
darat Persia. Setelah pertempuran ini, pihak Persia pada dasarnya bertindak
lebih pasif dan defensif, mereka berusaha tidak terlalu mengambil risiko dalam
pertempuran.
Menjelang
akhir tahun 460-an SM, Athena menutuskan untuk menjalankan keputusan yang
sangat ambisius, yaitu mendukung pemberontakan di kesatrapan Mesir
di Kekaisaran Persia. Meskipun pasukan Yunani pada awalnya meraih keberhasilan,
namun mereka tidak mampu menguasai garnisun Persia di Memphis, meskipun mereka telah
mengepungnya selama tiga tahun. Pasukan Persia lalu melancarkan serangan balik,
dan kali ini giliran pasukan Athena yang dikepung selama 18 bulan, sebelum
kemudian disapu habis. Kegagalan ini, ditambah dengan peperangan
yang sedang berlangsung melawan Sparta di Yunani, membuat Athena
terpaksa menghentikan perseteruannya dengan Persia. Akan tetapi, pada tahun 451
SM, sebuah perjanjian damai disepakati di Yunani, sehingga Kimon dapat memimpin
sebuah ekspedisi ke Siprus. Namun, ketika sedang mengepung Kota Kition, Kimon meninggal dan pasukan Athena terpaksa harus
mundur, memenangkan kemenangan ganda lainnya pada Pertempuran
Salamis-di-Siprus dengan tujuan menyelesaikan konflik ini. Kampanye
ini menandai akhir peperangan antara Liga Delos dan Persia, dan sekaligus
mengakhiri Perang Yunani-Persia.
Kesepakatan damai
Setelah
Pertempuran Salamis-di-Siprus, Thukydides tidak lagi menyebutkan konflik dengan
Persia, dia hanya menuliskan bahwa pasukan Yunani pulang. Diodoros, di lain
pihak, mengklaim bahwa setelah peristiwa di Salamis, sebuah perjanjian damai
("Perdamaian Kallias") disepakati oleh pihak Yunani dan Persia.
Diodoros barangkali mengikuti sejarah yang ditulis oleh Ephoros, yang diduga dipengaruhi
oleh gurunya. Isokrates—yang darinya dipercaya ada rujukan tertua mengenai
perdamaian tersebut, pada tahun 380 SM. Bahkan pada abad ke-4 SM, gagasan
mengenai perjanjian itu cukup kontroversial, dan dua penulis dari periode itu,
yakni Kallisthenes dan Theopompos, tampak menolak terjadinya perjanjian itu.
Ada
kemungkinan, sebelumnya pihak Athena sudah pernah berupaya bernegosiasi dengan
Persia. Plutarkhos berpendapat bahwa setelah peristiwa di Eurymedon, Artaxerxes
setuju untuk mengadakan kesepakatan damai dengan Yunani, bahkan perjanjian itu
dinamai dari nama utusan dari Athena, yaitu Kallias, yang terlibat dalam
perjanjian tersebut. Akan tetapi, seperti yang diakui oleh Plutarkhos, Kallisthenes
menolak bahwa perjanjian macam itu disepakati pada titik ini (sek. 466 SM).
Herodotos juga menyebutkan bahwa Athena diwakili oleh kallias, yang dikirim ke Susa untuk bernegosiasi dengan Artaxerxes. Utusan ini
meliputi beberapa perwakilan Argos dan dengan
demikian barangkali terjadi sekitar 461 SM (setelah Athena bersekutu dengan
Argos). Utusan ini mungkin telah berusaha untuk mencapai semacam kesepakatan
damai, dan bahkan diduga bahwa kegagalan dari negosiasi ini berujung pada
keputusan Athena untuk mendukung pemberontakan di Mesir. Dengan demikian,
sumber-sumber kuno pada umumnya saling berbeda pendapat mengenai apakah
benar-benar pernah terjadi kesepakatan damai. Dan jika memang terjadi, tanggal
pastinyaa juga masih diperdebatkan.
Para
sejarawan modern juga berbeda pendapat; misalnya, Fine menerima konsep
Perdamaian Kallias, sedangkan Sealey menolaknya. Holland menerima bahwa semacam
diskusi terjadi antara Yunani dan Persia tapi tidak pernah terjadi kesepakatan
damai. Fine berpendapat bahwa pendapat Kallisthenes, yang menyangkal bahwa
perjanjian damai dibuat setelah peristiwa Eurymedon, tidak menutupi kemungkinan
dilaksanakannya perjanjian damai pada waktu lainnya. Lebih jauh lagi, Fine
berpendapat bahwa Theopompos sebenarnya merujuk pada perjanjian damai yang
diduga telah dinegosiasikan dengan Persia pada tahun 432 SM. Jika pendapat ini
benar, maka akan menghilangkan satu halangan besar terhadap penerimaan
terjadinya perjanjian damai. Bukti lainnya yang mendukung adanya perjanjian
damai adalah penarikan mundur Athena yang tiba-tiba dari Siprus pada tahun 449
SM, yang menurut Fine cukup masuk akal jika dilakukan karena adanya perjanjian
damai. Di lain pihak, jika memang ada perjanjian damai, adalah sangat aneh
Thukydides tidak menyebutkannya. Dalam digresinya tentang pentekontaitia,
tujuannya adalah menjelaskan kebangkitan kekuasaan Athena. Dan dalam narasinya,
Thukydides tidak lupa menguraikan keterlibatan para sekutu dari Liga Delos
dalam perkembangan itu, jadi jika ada perjanjian damai, tentu akan menjadi
salah satu tahap penting dalam sejarah perkembangan Athena. Ada pula yang
berpendapat bahwa ada bagian-bagian dalam tulisan Thukydides yang merujuk pada
perjanjian damai. Namun hingga kini tidak ada kesepakatan di antara para
sejarawan mengenai perjanjian damai tersebut.
Jika
perjanjian itu benar-benar terjadi, isinya sangatlah memalukan bagi Persia,
Naskah kuno yang memberi rincian perjanjian itu cukup konsisten dalam
menjabarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian terssebut, antara lain:
- Semua kota Yunani di Asia merdeka dari kekuasaan Persia
- Satrap Persia (dan mungkin pasukan daratnya) tidak boleh melakukan perjalanan ke bagian barat dari Sungai Halys (menurut Isokrates) atau melakukan perjalanan lebih pendek dari sehari dengan mengguanakan kuda ke Laut Aigea (menurut Kallisthenes) atau melakukan perjalanan lebih pendek dari tiga hari dengan berjalan kaki ke ke Laut Aigea (menurut Ephorus dan Diodoros).
- Kapal perang Persia tidak boleh berlayar ke bagian barat Phaselis (di pesisir selatan Asia Kecil), atau ke bagian barat Tebing Kyanaia (kemungkinan di ujung selatan Bosporus, di pesisir utara Asia Kecil).
- Jika semua syarat di atas dipatuhi oleh Persia, maka Athena tidak akan mengirim pasukan ke tanah yang dikuasai oleh Persia.
Akibat dan konflik selanjutnya
Menjelang
akhir konflik Yunani-Persia, proses yang mana Liga Delos menjadi Kekaisaran
Athena sudah semakin terlihat. Meskipun Yunani sudah tak lagi berperang dengan
Persia, namun sekutu-sekutu Athena tetap diharuskan untuk mengirim kapal atau
membayar uang kepada Athena. Di Yunani, Perang
Peloponnesos Pertama antara Athena dan Sparta, yang berlangsung
sejak tahun 460 SM dengan beberapa kali jeda, akhirnya berakhir pada tahun 445
SM, dengan perjanjian gencatan senjata untuk tiga puluh tahun berikutnya.
Namun, perseturuan antara Sparta dan Athena tidak berakhir dan mereka kembali
berperang 14 tahun kemudian, bahkan sebelum gencatan senjata selesai, dan ini
menandai dimulainya Perang
Peloponnesos Kedua. Konflik yang menghancurkan ini, yang berlangsung
selama 27 tahun, pada akhirnya berujung pada musnahnya kekuasaan Athena dan
bubarnya Kekaisaran Athena. Ini juga menjadi awal dari hegemoni Sparta atas Yunani. Akan tetapi, bukan hanya Athena
yang menderita akibat perang ini, karena konflik ini secara signifikan telah
melemahkan seluruh Yunani.
Berulang
kali dikalahkan dalam pertempuran oleh Yunani, dan direpotkan oleh banyak
pemberontakan dalam negeri yang mengganggu kemampuan Persia melawan Yunani, akhirnya
setelah tahun 449 SM, Kaisar Artaxerxes I dan para penerusnya menggunakan cara yang
berbeda, yaitu politik adu domba. Persia tidak lagi secara langsung menyerang
Yunani, melainkan berusaha membuat Athena berperang melawan Sparta. Persia
secara rutin menyuap para politisi di Yunani untuk mencapai tujuan mereka.
Dengan cara ini, orang-orang Yunani sibuk berperang satu sama lain dan tidak
lagi menaruh perhatian untuk menyerang Persia. Tidak ada konflik terbuka antara
Yunani dan Persia sampai tahun 396 SM, ketika Raja Sparta Agesilaos menginvasi Asia Kecil, itu pun tidak lama. Seperti
ditulis oleh Plutarkhos, orang Yunani terlalu sibuk melihat hancurnya kekuatan
mereka sendiri dan tidak mampu menyerang "orang barbar".
Peperangan
Liga Delos telah membuat berpindahnya keseimbangan kekuatan antara Yunani dan
Persia, sehingga Yunani menjadi pihak yang lebih kuat. Tapi selama setengah
abad berikutnya, konflik di Yunani telah membuat keseimbangan kekuatan kembali
beralih pada Persia. Persia memasuki Perang Peloponnesos pada tahun 411 SM,
membentuk pakta pertahanan bersama dengan Sparta dan menggabungkan angkatan
laut mereka untuk melawan Athena. Sebagai balasan atas bantuannya, Persia
kembali memperoleh kendali atas Ionia. Pada tahun 404 SM, ketika Koresh Muda berusaha merebut takhta Persia, dia merekrut
13.000 tentara bayaran Yunani dari seluruh dunia Yunani, dan Sparta sendiri
mengirim 700–800 prajurit, percaya bahwa mereka mengikuti perjanjian dan tidak
menyadari tujuan utama pasukan itu. Setelah Koresh gagal, Persia kembali
mencoba untuk menguasai kota-kota Ionia, yang memberontak selama Persia sibuk
melawan Koresh. Kota-kota Ionia menolak menyerah dan meminta bantuan kepada
Sparta, dan Sparta memberi bantuan pada tahun 396–395 SM. Namun, Athena memihak
Persia, sehingga dimulai lagi konflik berskala besar di Yunani, yaitu Perang Korinthos. Menjelang akhir konflik ini, pada tahun 387
SM, Sparta meminta bantuan Persia untuk mendukung posisinya. Melalui "Perdamaian Kaisar", yang mengakhiri perang itu,
Kaisar Artaxerxes II berhasil memperoleh kembali kota-kota Yunani di
Asia Kecil dari pihak Sparta, sebagai balasan yang mana Persia mengancam akan
menyatakan perang kepada kota Yunani manapun yang tidak mau berdamai.
Perjanjian ini memalukan bagi Yunani, dan juga membuat Yunani kehilangan hampir
semua yang telah diraih pada seabad sebelumnya. Dengan perjanjian ini, Sparta
menyerahkan kota-kota Yunani di Asia Kecil kepada Persia supaya Sparta tetap
dapat menjaga hegemoninya di Yunani. Setelah perjanjian inilah, orang-orang
Yunani mulai menyebut-nyebut tentang Perdamaian Kallias (entah fiktif atau
bukan). Pada titik ini, Perdamaian Kallias menjadi kebalikan dari Perdamaian
Kaisar. Perdamaian Kallias disebut sebagai contoh yang menyenangkan pada
"masa lalu yang jaya" ketika Yunani berhasil membebaskan Aigea dari
kekuasaan Persia melalui Liga Delos. Konfrontasi terakhir antara dunia Yunani
melawan Kekaisaran Persia Akhemeniyah terjadi hanya 53 tahun kemudian, ketika
pasukan Aleksander
Agung menyeberang ke Asia, menandai dimulainya apa yang kelak akan
berakhir dengan penghancuran Persepolis dan kejatuhan Kekaisaran
Persia Akhemeniyah.
SUMBER:http://id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkicau